Peristiwa itu ditafsir sebagai ekses dari kekuasaan elite yang tidak dapat dikontrol. Bahkan tidak mau dikontrol. Gejalanya sangat jelas. Penegakan hukum amburadul. Politik bahkan mengatasi aturan hukum. Kepentingan faksi politik meluas hingga urusan placement staf.
Oleh Pius Rengka, Warga Kota Kupang tinggal di Jl. Antarnusa, Liliba
Media online di NTT sepekan belakangan diwarnai berita “busuk” seputar rekrutmen 11 calon siswa taruna Akpol. Sepuluh siswa diduga bukan asli NTT. Satu lainnya asli NTT.
Diduga ada aktor intelektual yang mengatur permainan di balik peristiwa ini. Tetapi kasus serupa bukanlah kasus pertama yang terjadi di daerah ini.
Di NTT, penempatan guru agama banyak dipasok dari daerah lain. Dan, tenaga guru yang dipasok beragama lain pula yang lain dari yang dibutuhkan sekolah-sekolah negeri setempat.
Memang benarlah adanya, jika ini NTT adalah provinsi serba uji coba. Juga mungkin, provinsi ini adalah tempat pembuangan limbah pejabat yang kurang becus atau yang tidak laku di daerah lain atau di pemerintah pusat.
Kembali ke soal sekolah polisi tadi. Demi lolos butuh, para siswa dari tempat nun jauh datang ke NTT. Mereka memanfaatkan kuota lolos butuh daerah ini. Mereka memiliki akses informasi karena informasi tentang kompetisi ini terbuka luas. Mereka pun (mungkin) memiliki akses dengan jenjang jejaring jaringan para orang penting. Bahkan mungkin, jenjang jejaring para setan di lingkaran setan.
Sementara para calon siswa taruna Akpol asli NTT lainnya, yang tinggal di NTT, ber-KTP NTT, makan minum di NTT, kelahiran NTT, lugu saja mengikuti jalur jujur lalu gugur. Kita tidak harus menyesal. Tetapi, melalui kejadian ini, kita justru patut bersyukur karena ternyata toh kita masih sanggup bersikap jujur tatkala di tempat lain telah sangat biasa hidup dalam suasana antimoral dan dungu spiritualitas kudus.
Namun, kita tentu saja, tidak boleh selalu berburuk sangka. Sepuluh calon siswa yang dikirim ke Markas Besar Polri itu, sangat mungkin berinisiatif sendiri. Mereka tes di NTT karena mereka tahu tersedia 11 kursi kuota untuk NTT. Jadi, mereka datang ke NTT untuk menguji keberuntungan dan bahkan menjahit spekulasi.
Sedangkan untuk urusan kelengkapan administrasi, semisal syarat KTP dan lain-lain, bukanlah sesuatu yang rumit amat. Gampang saja. Urusan itu simpel, sesimpel kentut di celana pakaian dinas aparatus negara.
Bukankah birokrasi pemerintahan di Indonesia ini kesohor gampang “diatur”. Yang penting sepakat aturan main dan boleh main-main aturan tak tertulis di bawah tangan dengan sejumlah “buah” tangan. Tetapi, seiring meluapnya warta berita tentang peristiwa ini, dua versi pendapat netizen mengalir hingga jauh.
Versi pertama, berpendapat bahwa para siswa NTT yang gugur karena “digugurkan”. Meski (mungkin) mereka pintar dan lolos butuh kuota, tetapi mereka toh harus digugurkan karena mereka tidak memiliki jaringan orang dalam dan bahkan mungkin tidak sanggup membayar sejumlah uang yang diminta oleh komplotan peminta-minta atau para pedagang wewenang (rent seekers).
Versi kedua menyebutkan anak-anak NTT itu gugur karena mereka memang tidak pantas dan tidak memenuhi syarat lolos alias bodoh dan tidak sehat jasmani rohani. Asumsinya, semua jenis tes dilaksanakan jujur, terbuka, lurus, objektif tanpa koneksi dengan kekuasaan para setan atau tanpa uang mahar kebodohan untuk para bandit bajingan.
Namun, tampaknya, mayoritas netizen menyimpulkan begini. Provinsi NTT selalu menjadi tempat di mana ajang praktik penindasan struktural yang paling nyata dipraktikkan dalam sejarah pembangunan di Indonesia. NTT menjadi hypemart ekses praktik ketidakadilan sosial paling banal di tanah air. Tersebab serial peristiwa buruk atas nasib NTT itu, lalu sejenis anasir inisiatif tersembul lembut untuk menghidupkan bara api gerakan pembebasan NTT dari Indonesia yang kotor.
Secara sertamerta di sebuah akun Facebook saya berkomentar begini:
Memang di zaman ini ketika hampir semua lembaga demokrasi tidak berfungsi baik, aktor politik tidak bermoral cukup, malu tidak diperlukan bahkan tidak berguna. Para pemalu dianggap makhluk masa lampau bahkan makhluk antik. Hari ini, serakah itu telah berubah menjadi komoditas. Tamak menjadi kebutuhan hidup. Sensitivitas sosial menjadi kuno dan seterusnya pangkat dibeli menjadi model. Sehingga yang tersisa melekat di tubuh hanyalah kemaluan.
Tersiar dugaan dan desas-desus ada orang “kuat” yang mengatur dan menitip peristiwa ini menjadi mungkin terjadi di NTT. Memang belum diketahui pasti siapakah gerangan para penitip itu. Entahkah para penitip itu adalah setan yang hidup di lingkaran jaringan para setan, ataukah para penjahat kambuhan atau orang “kuat” karena pongah di kursi kekuasaannya dan setia dalam lingkungan busuk praktik dagang wewenang.
Hingga tulisan ini dibuat, Senin, 8 Juli 2024, identitas para penitip belum diketahui jelas. Karena itu, permintaan anggota Komisi III DPR RI, Dr. Benny K. Harman, masuk akal ketika dikatakannya agar segera mengaudit proses perekrutan calon siswa taruna Akpol asal NTT. Audit proses mesti dilangsungkan terbuka agar rakyat NTT dapat terlibat dalam proses perekrutan dan keaslian penduduk NTT para casis itu.
Saya berpikir begini. Jangan-jangan semua siswa calon taruna Akpol itu yang bernama beraroma agak ke-Batak-Batak-an itu sesungguhnya adalah orang Manggarai, Flores. Mengapa? Karena hanya orang Manggarai sajalah yang menamai anak-anaknya tanpa ikatan lilitan sekat suku. Dari segi itu, orang Manggarai terkesan sangat liberal bahkan universal view.
Anak-anak orang Manggarai dapat saja diberi nama Bom Atom hingga Peluru Nyasar. Anak gadis orang Manggarai diberi nama Titiek Sandhora, meski wajahnya agak seperlunya. Pemuda dekil bernama John Kennedy meski di kelas selalu ranking terakhir. Bahkan nama Diego Maradona, meski pemilik nama tak sedikit pun sanggup menendang bola, pun jika bola datang bergulir ke kakinya, justru kakinya menghindar bola. Bahkan semua jenis nama hari dalam seminggu, dapatlah menjadi nama anak orang Manggarai, dari Senin hingga Minggu.
Misalnya, Pius Senin, Thomas Selasa, Kabut Rabu, dan seterusnya. Atau nama arah mata angin, seperti Selatan, Barat Daya dst. Siapa tahu, ada di antara mereka yang lulus tes taruna Akpol itu diberi nama Silalahi, Simbolon dan mungkin juga yang tidak lolos butuh bernama Sisontoloyo, juga Situmenang atau Kentut Pagisore. Kita mungkin menduga bahwa mereka ini orang non NTT, padahal sesungguhnya mereka semuanya adalah orang asli Manggarai, Flores, NTT. Karena itulah usulan Pak Benny K. Harman untuk audit proses rekrutmen patut didukung serius agar meniadakan salah duga atau salah kira.
Namun, kita melihat, para netizen tak henti-hentinya mengutuk peristiwa perekrutan casis taruna Akpol ini. Mereka berselancar di media sosial dengan narasi satire, menyindir. Katanya, NTT bukan lagi singkatan dari Nusa Tenggara Timur, melainkan Nusa Tolong Titip atau Numpang Titip Taruna atau Numpang Titip Tahan. Tetapi, saya menambahkan NTT berubah menjadi Nonton Tukang Tipu bermain-main. Berikut adalah 11 calon siswa taruna Akpol yang bakal dikirim ke Mabes Polri.
- Yudhina Nasywa Olivia
- Arvid Theodore Situmeang
- Reynold Arjuna Hutabarian
- Mario Christian Bernalo Tafui
- Bintang Lijaya
- Ketut Arya Adhityanatha
- Brian Lee Sebastian Manurung
- Timothy Abishai Silitonga
- Mochammad Rizq Sanika Marzuki
- Madison Juan Raphael Kana Silalahi
- Lucky Nuralamsyah
Terhadap peristiwa itu, amarah rakyat kian meluas. Peristiwa itu ditafsir sebagai ekses dari kekuasaan elite yang tidak dapat dikontrol. Bahkan tidak mau dikontrol. Gejalanya sangat jelas. Penegakan hukum amburadul. Politik bahkan mengatasi aturan hukum. Kepentingan faksi politik meluas hingga urusan placement staf.
Akibatnya, rakyat frustrasi. Sebagian kecil warga negara mendambakan diberlakukannya praktik hukum seperti di Tiongkok dan Korea Utara. Para tukang tipu sebaiknya dihukum tari telanjang di jalan raya.
Lalu, bagaimana seharusnya kita tafsir peristiwa ini dari perspektif politik? Bagaimana pula fenomena ini dilihat dari perubahan politik di tanah air menjelang pelantikan Prabowo-Gibran?
Demonstrasi pro demokrasi
Demonstrasi atau unjuk rasa kini bersalin rupa. Jika pada era Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi atau Orde Terbaru, demonstrasi tampak melalui protes rakyat turun ke jalan, kini demonstrasi berwujud pekikan narasi sinikal di jalur Facebook dan aneka jenis media sosial lainnya.
Demonstrasi sesungguhnya adalah tanda bahwa demokrasi sedang mampet, macet. Atau demonstrasi narasi di media sosial timbul karena sistem politik kita sedang terkena polio, lumpuh.
Sebaliknya, jika sistem politik fungsional, sistem politik bekerja dengan baik, maka demonstrasi gagasan dan narasi sinikal tidak muncul masif di arena sosial. Jika sistem politik bekerja dengan baik, maka distribusi keadilan merata ke semua arah wilayah dan bahkan persona.
Di negara-negara di mana sistem politiknya sudah lebih operasional, di mana partai politiknya dipilih oleh rakyat, bertanggung jawab kepada rakyat, bukan bertanggung jawab kepada birokrat dan atau teknokrat, atau oligarki, meski masih ada demonstrasi, tetapi demokrasinya fungsional mengontrol kelakuan aparatur negara.
Dalam tataran teori demokrasi, ada dua aras atau ada dua lapisan demokrasi. Demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan (baca: David Held, 1987, 1989; Anthony Giddens, 1993; Andrew Haeywood, 1992 dan bandingkan dengan Jürgen Habermas dalam Thomas Dietz, 1987).
Demokrasi perwakilan adalah bagaimana rakyat yang begitu banyak memberikan mandat kepada sejumlah kecil wakil dan kemudian sejumlah kecil wakil itulah yang menjalankan proses pengambilan keputusan. Itulah yang selama ini dianggap demokrasi. Dalam literatur disebut demokrasi elitis, karena elite, sekumpulan kecil orang yang ada di DPR/D, bersama eksekutif mengambil keputusan atas nama jutaan rakyat.
Namun, di negara-negara di mana demokrasi sudah cukup berumur, tampak bahwa walaupun ada parlemen yang cukup peka terhadap aspirasi rakyat, tetap juga terjadi demonstrasi-demonstrasi. Mengapa? Demokrasi langsung (direct democracy) atau demokrasi populis juga diakui.
Jika demokrasi langsung tetap diakui, maka hak rakyat untuk memboikot semua jenis produk kebijakan yang tidak berpihak pada keadilan sosial. Karenanya, demokrasi langsung adalah alat untuk mengoreksi demokrasi perwakilan, sehingga dia menjadi satu sisi lain dari satu keping mata uang yang sama. Seterusnya demokrasi pasti tidak membiarkan para setan membentuk lingkaran setan.
Betapa pun baiknya demokrasi perwakilan, tetapi demokrasi langsung juga dihargai. Maka demonstrasi yang ditampakkan dalam wacana di media sosial tidak hanya dilihat sebagai bagian dari protes sosial, atau pantulan dari frustrasi warga negara, tetapi juga sejenis tanda ambruknya tatanan demokrasi kita di tanah air.
Gejala rekrutmen calon siswa taruna Akpol hanyalah sejenis letupan kecil dari problem besar di negeri ini. Fenomena pemanfaatan kuota calon siswa asal NTT, hanyalah gejala permukaan dari problem struktural yang lebih mengerikan yaitu kesemena-menaan elite yang makin banal. Gejala itu pun memantulkan pesan sangat kuat betapa bisnis wewenang di negeri ini telah menjadi niscaya.
Demokrasi langsung sebagaimana tampak di media sosial, lebih dekat dengan aspirasi filosof Jerman, Jürgen Habermas, yang menekankan bahwa suatu masyarakat itu demokratis bilamana sebanyak mungkin rakyat dapat ikut terlibat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut nasib atau hajat hidup mereka.
Maka kasus penitipan (jika itu benar) yang dilakukan entah oleh setan siapa terhadap 10 calon siswa taruna Akpol yang diduga kuat bukan kelahiran asli NTT adalah wujud paling banal dari kesemena-menaan elite, bahkan sejenis filial praktik paling dangkal dari sistem negara komunis.
Sementara itu, jargon Negara Kesatuan Republik Indonesia, patutlah dicurigai karena dalam praktiknya jargon “kesatuan” bukan representasi distribusi keadilan sosial dalam seluruh dimensinya, melainkan sejenis metode paling subtil dari para penjahat negara agar praktik nepotisme, kolusi dan korupsi serta seluruh akibat yang ditimbulkannya boleh terus dilangsungkan tanpa refleksi kritis bermakna.
Dengan kata lain jargon negara “kesatuan” Republik Indonesia itu sesungguhnya palsu adanya, karena nihil praktik distribusi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Itu berarti siapa pun pelaku yang tidak melindungi praktik sila kelima, dialah sesungguhnya pelaku kejahatan Pancasila itu sendiri.
Maka, tugas Presiden Prabowo-Gibran untuk membenah dan membersihkan semua aparatus negara yang busuk, karena merekalah sesungguhnya jaringan kanker yang paling mematikan dalam kehidupan negara demokrasi. Karena itu, saran saya simpel. Jika Prabowo-Gibran ingin dikenang sepanjang sejarah negeri ini, maka Anda membersihkan negeri ini dari aneka kejadian busuk dan buruk. Pertama-tama dan utama, Bapak berdua membersihkan seluruh jenis kelakuan busuk dan buruk aparatur penegak hukum itu sendiri. Di situlah penyakitnya.
Begitulah.