Menakar Budaya Literasi pada Satuan Pendidikan

Img 20210330 Wa0001[1]
Fr. M. Yohanes Berchmans, Bhk, M.Pd

Oleh: Fr. M. Yohanes Berchmans, Bhk, M.Pd, Kepala SMPK Frateran Ndao

“Cara terbaik untuk menanamkan budaya literasi yang kuat pada seseorang adalah dengan menjadikannya sebagai seorang penulis. Karena setiap penulis, secara otomatis akan melewati tahapan membaca, berpikir, dan tentu saja menulis serta berkreasi” – Lenang Manggala

“Cara terbaik untuk meningkatkan kualitas karakter, kompetensi dan kesejahteraan hidup seseorang adalah dengan menanamkan budaya literasi (membaca-berpikir-menulis-berkreasi)”Lenang Manggala

“Makin aku banyak membaca, makin aku banyak berpikir; makin aku banyak belajar, makin aku sadar bahwa aku tak mengetahui apa pun” – Voltaire

“Kalau engkau ingin menjadi penulis, ada dua hal yang harus kau lakukan, banyak membaca dan menulis. Setahuku, tidak ada jalan lain selain dua hal ini. Dan tidak ada jalan pintas”Stephen King

Berbicara tentang budaya literasi, tidak terlepas dari kebiasaan membaca, membaca dan terus membaca, atau bisa juga disebut dengan hobby membaca, dan itu biasa dimulai sejak usia dini. Itu artinya menanamkan dan menumbuhkan kebiasaan membaca dalam diri seseorang, harusnya dimulai dari keluarga sebagai sekolah pertama dan utama atau sekolah mini bagi seorang anak atau peserta didik.

Secara etimologis istilah ‘literasi’ berasal dari bahasa Latin “literatus”, yang artinya adalah orang yang belajar. Dalam hal ini, literasi sangat berhubungan dengan proses membaca dan menulis. Seperti ada ungkapan tulislah apa yang anda baca, dan bacalah apa yang anda tulis.

Pertanyaannya, adalah bagaimana jikalau kedua orang tua anak atau peserta didik itu tidak bisa baca dan tulis atau tidak berpendidikan? Ada beberapa solusi, bagi orang tua yang tidak berpendidikan yakni pertama: mengikuti pendidikan kesetaraan, yakni pendidikkan non formal yang mencakup progran paket A, B dan C, dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan, keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepibadian profesional, yang diselenggarakan melalui Sanggar Kegatan Belajar (SKB) ataupun Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), atau satuan sejeninya. Kedua: melalui tutor sebaya dan mengandaikan ada perpustakaan atau taman baca di desa, kelurahan dan kampung.

Apalagi pemerintah mencanangkan program gerakan nasioanal orang tua membaca buku (Gernas Baku), maka mau tidak mau orang tua tidak boleh buta aksara, sehingga dia bisa membimbing, mendampingi putra putrinya, melalui Gernas Baku tadi.

Demikianlah membaca merupakan sebuah aktivitas berupa melafalkan atau mengeja sebuah tulisan. Atau melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis, bisa dengan melisankan atau hanya dalam hati.

Hal ini sesuai dengan yang tertuang dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang menyatakan bahwa membaca adalah mengeja atau melafalkan apa yang tertulis. Atau definisi lain membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata atau bahasa tulis (Henry Guntur Tarigan, 2008:7).

Di eja lebih jauh, membaca dapat diibaratkan membuka jendela dunia, karena dengan membaca akan menambah imu dan wawasan kita. Membaca juga akan membentuk pola pikir baru dan akan meningkatkan kemampuan seseorang dalam menemukan berbagai keunikan dan hal baru yang berguna bagi kehidupan. Semakin banyak membaca akan membentuk pribadi yang berilmu, berkarakter, dan bijak dalam melangkah serta mengambil keputusan. Namun, ada fakta dan fenomena yang terjadi di masyarakat bangsa dan negara kita.

Klik dan baca juga:  SMP Serayon Ruteng Raya Launching Perpustakaan Digital

Hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2018 menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan ke-74 dari 79 negara. Menurut survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018, sebanyak 70% anak-anak Indonesia berada dibawah level kompetensi minimum dalam membaca.

Oleh karena itulah, maka pemerintah melalui Kemendikbud meluncurkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS), “Bahasa Penumbuh Budi Pekerti”. Peluncuran Gerakan Literasi Sekolah itu, dimulai sejak 19 Agustus 2015, yang dikembangkan berdasarkan Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.

Mendikbud mengatakan, Permendikbud tersebut adalah sebuah upaya untuk menumbuhkan budi pekerti peserta didik, dan bukan menanam, sebab sesungguhnya Tuhan telah menganugerahkan seluruh potensi, seluruh nilai kemanusiaan, nilai spiritual, nilai sosial, nilai nasionalis kepada setiap manusia sejak dalam kandungan.

Oleh karena itu, tugas para orang tua, para guru adalah menumbuhkan budi pekerti, melalui keteladanan dan kegiatan pembiasaan, melalui sikap dan perilaku positif di sekolah yang dimulai sejak dari hari pertama sekolah, masa orientasi pengenalan lingkungan sekolah peserta didik baru, untuk jenjang sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan, sampai dengan kelulusan sekolah.

Hal ini ditegaskan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Implementasi Penumbuhan Budi Pekerti (PBP) didasari pertimbangan bahwa masih terabaikannya pelaksanaan nilai-nilai dasar kemanusiaan yang berakar dari Pancasila yang masih terbatas pada pemahaman nilai dalam tataran konseptual, dan belum sampai mewujud menjadi nilai aktual dengan cara yang menyenangkan di lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat.

Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, mengganti atau mencabut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 21 Tahun 2015 tentang Gerakan Pembudayaan Karakter di Sekolah. Oleh karena itulah, sekali lagi Gerakan Literasi Sekolah (GLS) telah digulirkan mulai Maret 2016 oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud dengan melakukan sosialisasi dan koordinasi ke dinas pendidikan provinsi dan/atau dinas pendidikan kota/kabupaten.

Dan untuk memperkuat hal itu, maka dikeluarkanlah Perpres Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Penguatan Pendidikan Karakter yang selanjutnya disingkat PPK adalah gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga dengan pelibatan dan kerja sama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM).

Kemudian melalui Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah, yang merupakan penjabaran dari Perpres Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter dan konsekuensi kalau mengimplementasikan Permendikbud diatas, adalah harus memiliki ketersediaan berbagai sumber daya.

Klik dan baca juga:  Pelajar di Kupang Panjat Tembok 2 Meter Akibat Jalan Menuju Sekolah Ditutup

Jika demikian, maka KBM tidak lagi 6 hari, melainkan 5 hari atau full day school (FDS), yakni 8 jam sehari atau 40 jam seminggu, namun esensinya bukan pada FDS nya, melainkan pada kegiatan penumbuhan budi pekerti atau karakter. Secara etimologis, kata karakter (Inggris: character) berasal dari bahasa Yunani yaitu charassein yang berarti “to engrave” (Ryan dan Bohlin, 1999:5). Kata “to engrave” bisa diterjemahkan mengukir, melukis, memahat, atau menggoreskan (Echols dan Shadily, 1987:214).

Sedangkan dari bahasa latinnya character, yang antara lain berarti watak, tabiat, sifat-sifat, kejiwaan, budi pekerti, kepribadian dan akhlak. Watak adalah sifat seseorang yang dapat dibentuk dan berubah walaupun mengandung unsur bawaan yang setiap orang berbeda-beda. Tabiat adalah sifat dalam diri manusia yang ada tanpa dikehendaki dan diupayakan. Dan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “karakter” diartikan dengan tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain.

Dengan demikian, orang yang berkarakter berarti orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak. Dengan makna seperti ini berarti karakter identik dengan kepribadian atau akhlak.

Kepribadian merupakan ciri atau karakteristik atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan sejak lahir (Koesoema, 2007:80).

Secara terminologis, makna karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona. Menurutnya karakter adalah “A reliable inner disposition to respond to situations in a morallay good way”. Selanjutnya Lickona menambahkan, “Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior” (Lickona, 1991:51).

Menurut Lickona, karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan. Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian pemikiran (cognitives), perasaan (affectives), dan perilaku (behaviors) yang sudah menjadi kebiasaan (habits).

Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa karakter identik dengan akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhan-nya, dengan dirinya, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungannya yang terwujud dalam pikiran, perasaan, dan perkataan serta perilaku sehari-hari, berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Dari konsep karakter ini muncul konsep pendidikan karakter (character education). Terminologi pendidikan karakter mulai dikenal sejak tahun 1900-an. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku yang berjudul ‘The Return of Character Education dan kemudian disusul bukunya, Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility (1991).

Melalui buku-buku tersebut, dia menyadarkan dunia barat akan pentingnya pendidikan karakter. Pendidikan karakter menurut Lickona mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good) (Lickona, 1991:51).

Klik dan baca juga:  Senat Mahasiswa FKIP Unwira Gelar LKTM Demi Membangun Etos Kepemimpinan

Pendidikan karakter tidak sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada anak atau peserta didik, tetapi lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukan hal baik. Pendidikan karakter ini membawa misi yang sama dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral, melalui literasi.

Artinya melalui kegiatan literasi entah di keluarga, entah di sekolah dan atau di masyarakat, sesungguhnya bisa membentuk karakter seorang anak atau peserta didik.

Oleh karena itu, salah satu kegiatan pada satuan pendidikan yang berbasis PPK (Penguatan Pendidikan Karakter) adalah kegiatan selama 15 menit setiap hari dengan membaca buku non pelajaran, sebelum waktu belajar dimulai, yang dinamakan kegiatan ‘literasi’.

Kegiatan ini dilaksanakan untuk menumbuhkan minat baca peserta didik, serta meningkatkan keterampilan membaca agar pengetahuan dapat dikuasai secara lebih baik. Namun, tentunya tidak hanya peserta didik, tetapi seluruh civitas academica pada satuan pendidikan harus bisa membudayakan budaya ‘literasi’, yang diwujudkan lewat membaca dan buahnya lewat menulis, entah lewat mading disekolah, buletin sekolah, majalah seklah dan atau koran entah cetak atau media online.

Untuk itu, gunakan perpustakaan, atau taman baca atau gadget atau gawai guna mencari bacaan apa saja. Jangan sampai perpustakaan atau taman bacaan hanya sekedar pajangan. Oleh karena itu, kegiatan literasi harus menjadi gerakan bersama pada satuan pendidikan, dan bukan hanya gerakan satu atau dua orang saja.

Untuk itulah pemerintah melalui Kemendikbud membuat gebrakan dengan empat pokok kebijakan, dan salah satunya adalah menggantikan UN (Ujian Nasional) dengan AN (Assesment Nasional), melalui AKM (Assesmen Kompetensi Minimun), survei karakter dan survei lingkungan belajar.

AKM, terdiri literasi dan numerasi. Dan AKM bagian dari yang tak terpisahkan dari merdeka belajar dan guru penggerak, dan sekolah penggerak. Jadi, agar literasi terwujud dengan baik, maka guru penggerak dan sekolah penggerak harus bersama sama bergerak dan bergerak bersama sama untuk mewujudkan ‘literasi’ di sekolah yang merupakan orang yang belajar yang diperkuat oleh kata sekolah yang berasal dari bahasa Latin: skhole, scola, scholae atau skhola yang memiliki artiwaktu luang atau waktu senggang, di mana ketika itu sekolah adalah kegiatan di waktu luang bagi anak-anak atau peserta didik di tengah-tengah kegiatan utama mereka, yaitu bermain dan menghabiskan waktu untuk menikmati masa anak-anak dan remaja.

Kegiatan dalam waktu luang itu adalah mempelajari cara berhitung (numerasi), cara membaca (literasi), huruf dan mengenal tentang moral (budi pekerti) dan estetika (seni).

Akhirnya, untuk menakar budaya ‘literasi’ pada satuan pendidikan, dapat dilihat dari cara hidup, cara bersikap, cara berperilaku, cara bertutur kata dan cara bertindak warga sekolah, baik dilingkungan sekolah maupun di luar sekolah yang cerdas dan berkarakter yang mencerminkan sebagai pribadi yang membudayakan budaya literasi.