Mencari yang Layak dan Sepantasnya Pimpin Kota Kupang

whatsapp image 2022 04 18 at 22.02.04
Pius Rengka. Foto/Gabriel Mahal.

Siapakah gerangan yang pantas dan layak pimpin Kota Kupang? Mari kita bicara.

Oleh Pius Rengka

Agustus 2022 mendatang, duet kepemimpinan politik Jefri Riwu Kore-Herman Man (Firmanmu), selesailah sudah. Banyak orang mencatat, mengingat, mengalami, betapa “rapuhnya” relasi politik di antara keduanya, meski kadang relasi pribadi di antara keduanya tampak kadang hangat kadang dingin. Itu sih lumrah saja.

Begitu pun relasi politik Jefri Riwu Kore dengan DPRD Kota Kupang. Terkuak kesan relasi politik mereka rapuh sekali. Relasi politik Walikota dengan DPRD, tak hanya rapuh, tetapi juga dramatis penuh dinamika konflik.

Saya mengerti fenomena ini sebagai bagian dari dinamika relasi kepemimpinan politik yang dikepung oleh kekuatan struktural dan konfigurasi kekuatan sosial politik lainnya. Dengan kata lain, Jefri Riwu Kore tidak boleh hanya dilihat melalui lensa konteks dirinya sebagai pribadi, tetapi Jefri patut dirajut dalam relasinya dengan aneka benang jenis kepentingan di luar dirinya. Dia tidak sendiri, dan mungkin belum sendirian.

Kesan divided government selama kepemimpinan Jefri Riwu Kore pun, tampak amat terang. Kepentingan eksekutif dan legislatif tak hanya tak terkonsolidasikan dengan mulus, tetapi komunikasi politiknya pun ditengarai buruk sekali untuk tidak dikatakan naif bukan main. Akibatnya, public policy tidak hanya membuahkan keterbelahan politik karena dialog politik macet di legislatif, tetapi juga public policy merupakan pantulan dari retaknya hubungan di antara mereka.

Maka, berita dinamika gagal sidang, tunda sidang dan sejenisnya seperti menjadi berita lumrah di rezim Jefri Riwu Kore-Herman Man. Yang terbuka ke permukaan ialah buruknya relasinya dengan Ketua DPRD Kota Kupang Yeskiel Loudoe. Beberapa kali mereka macet komunikasi. Begitu pun beberapa fraksi di luar Demokrat. Sepertinya mereka terbimbing dalam selimut konflik berkepanjangan, yang, konon katanya, karena perihal alokasi anggaran pembangunan yang dipaksa-paksakan.

Sekadar pengingat wawasan, politik itu anggaran atau anggaran itu representasi politik. Karena itu postur anggaran APBD kota adalah gambaran atau pantulan langsung dari imajinasi politik dua lembaga ini, eksekutif dan legislatif. Tetapi, soal-soal itu kian menipis terkikis kini, bukan karena soal telah diselesaikan, tetapi karena hakim agung waktu telah segera datang menjemput menjelang Agustus 2022.

Relasi politik Jefri Riwu Kore dengan DPRD Kota Kupang, adalah relasi politik yang diwarnai diskursus politik asimetris. Bahkan relasi politik Walikota dan DPRD Kota Kupang sering dinodai saling tuding berkepanjangan, hingga konflik relasi di antara mereka kemudian diselesaikan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat. Tampaklah sangat terang, resolusi konflik di antara mereka sendiri menyimpan onak politik tak berkesudahan, entah sampai kapan.

Belakangan, perihal pergantian beberapa pejabat penting di birokrasi Kota Kupang ditengarai telah dinodai gosip tak amat sedap, lantaran, konon katanya, Jefri Riwu Kore, agak gagal paham administrasi kepemerintahan. Konon, katanya, Jefri mulai sangat sulit menawarkan anggur ketulusan. Akibatnya, reaksi kalangan elit birokrasi disambut positif oleh petinggi pegawai negeri di Jakarta. Lalu, timbul pertanyaan, haruskah Jefri bertindak begitu ataukah ada jalan lain yang lebih sanggup menjaga relasi politik di antaranya?

Divided government adalah terminologi politik. Fenomena divided government untuk menamakan satu bentuk relasi kuasa kepemimpinan politik Jefri Riwu Kore dengan kekuatan struktural politik dan lingkungan sosial lainnya di Kota Kupang yang selalu ditengarai kurang sehat walafiat. Tetapi, sungguh mati, sebaliknya, di lapisan bawah terutama di kalangan penerima manfaat operasi bedah rumah, Jefri Riwu Kore tak ayal lagi tetap saja mempesona. Jefri dipandang bagai nabi siang yang datang di tengah terik penderitaan rumah tak layak huni.

Jefri dinarasikan, terutama oleh para suporter, sebagai peziarah humanisme. Dia datang ke tengah lilitan derita manusia riil. Dia menyapa wajah gundah gulana. Rumah mereka dibedah, diikuti seremonial surgawi dengan sejumlah ornamen glorifikasi dan amplifikasi luas tersiar siang maupun malam.

Tes terbaik dari dampak pemerintahan yang terbagi pada kemacetan legislatif adalah dengan memeriksa secara serius, regulasi yang berpotensi penting yang gagal dikompromikan dalam kondisi pemerintahan yang terbagi dan bersatu. Untuk melakukannya diperlukan analisis terpisah dari regulasi yang ditentang dan didukung pemerintah.

Pemerintah yang terbagi diasosiasikan dengan rezim penentang dan dengan lebih banyak kebijakan yang ditentang jika tidak disahkan. Regulasi penting lebih mungkin gagal untuk disahkan di bawah pemerintahan terpecah. Namun, tampaknya, tidak ada hubungan antara pemerintah yang terbagi dan jumlah legislasi signifikan yang didukung atau disahkan pemerintah (Edwards III, G.C., Barrett, A. and Peake, J., 1997).

Malah dicibir

Beberapa perubahan rona fisik di Kota Kupang tidak disambut dengan gegap gempita oleh kalangan luas, malah dicibir sebagai gertak pembangunan tanpa roh ketulusan. Lampu dan jalan yang kian membaik, tidak dirayakan sebagai perubahan bermakna. Reaksi serupa itu jelas saja mengundang konflik gagasan dan terkesan kurang objektif. Saya kira, reaksi begitu pun sama tidak sehatnya dengan dukungan yang serba membabi buta.

Sebagaimana telah biasa, kelompok pendukung radikal Jefri Riwu Kore rapat barisan, pasang muka gusar dan, tentu saja, sangat geram. Karenanya, mereka akan terus melakukan serial glorifikasi dan amplifikasi keunggulan Jefri Riwu Kore berikut bukti-bukti yang ditayangkan siang malam.

Namun, seiring dengan itu, serangan kelompok serba tolak pun tak kalah sengit. Mereka mencatat banyak hal antara lain perihal Jefri Riwu Kore gagal kurung sampah dan mengatur sampah, intrik politik pemilihan Kabupaten Sabu Raijua atas nama identitas ganda, disetor di media sosial dengan pelan-pelan, tetapi sistematis. Juga tak lupa kelompok ini menunjuk sedikit-sedikit indikasi distribusi proyek yang ditengarai kurang sehat relasi.

Kelompok ini, rupanya diisi oleh para aktor yang tahu kapan info dituangkan di cawan ruang publik, kapan pula disimpan rapi di laci taktik. Dua kelompok inilah kini yang sedang berkecamuk di media sosial, saling cari, saling awas, saling sindir dan aneka jenis saling lain yang belum saatnya bersalin rupa. Sebagai penonton, saya sendiri berusaha tetap awas melihat lalu lintas tarung kata-kata di media sosial.

Bagi saya, sangatlah normal blocking politik seperti itu. Artinya, fenomena sejenis ini sama sekali tidak baru di tanah air dan juga terutama di NTT. Memang ada saja kelompok orang yang belum sanggup move on dari pengalaman sejarah, baik untuk pendukung maupun yang tidak, tetapi juga ada di antaranya yang sanggup melihat dunia ke masa depan sambil tidak lupa merajut benang kusut sejarah di Kota Kupang.

Sangatlah normal pula menjelang rampungnya urusan resmi Jefri Riwu Kore-Herman Man sebagai Walikota dan Wakil Walikota, gosip dan kasak-kusuk figur yang pantas dan layak mekar bagai jamur di musim hujan.

Sangatlah normal pula jika banyak kalangan mulai bertanya, siapakah orang yang layak dan sepantasnya untuk memimpin Kota Kupang? Orang sejenis manakah yang sanggup mengatasi problem dan dinamika ikutan Kota Kupang seturut hukum perubahan linear dan loncatan eksponensial?

Deretan nama-nama yang disebut, perlahan dibuka oleh para pendukung dan partai politik. Untuk pendukung Jefri Riwu Kore, mereka segera bergegas mengoleksi KTP agar Jefri Riwu Kore nantinya dicalonkan melalui jalur perseorang, manakala tak ada partai politik yang melirik. Meski Partai Demokrat menepikan Jefri Riwu Kore dari partai berlambang Mercy itu untuk sejenak, tetapi toh peluang Jefri dicalonkan Partai Demokrat masih terbuka lebar. Apalagi Jefri Riwu Kore, diakui banyak barisan yang siap sedia memenangkannya di politik elektoral Kota Kupang.

Baca juga: Kota Kupang dan Dambaan Para Warga

Partai politik, seperti Hanura, sudah sejak dini menyebut Christian Mboeik dan dr. Herman Man sebagai figur yang patut dihitung. Golkar ditengarai bakal mengusung ulang Jonas Salean, Ketua Golkar Kota dan anggota DPRD provinsi. Jonas Salean, tokoh politik yang tak pernah sepi dari pergunjingan di kota. Sedangkan Nasdem dan PDIP belum menyebutkan satu pun nama, meski percikan api keinginan berkelindan di udara politik Kota Kupang.

Ciri khas Kota Kupang

Seorang sahabat, tak perlu kusebut namanya siapa, adalah alumnus arsitektur ITB. Dia orang Jawa Tengah, tinggal di Salatiga. Dia pun dosen luar biasa di UKSW. Tetapi, dia juga seorang pelukis abstrak yang handal. Lama nian dia berkeliling dunia. Empat tahun tinggal di Belanda, Nedherland.

Dia pun berkeliling Benua Eropa, Asia, Afrika dan Amerika hingga menembus ke pelukan belantara kota-kota besar di kawasan Amerika Latin. Dia mengunjungi beberapa kota di seluruh dunia, melukis, menggambar dan bekerja mencari duit. Banyaklah sudah karyanya menyebar di berbagai tempat, tempat di mana yang dikunjunginya.

Tatkala dia berkunjung ke Kota Kupang, dua bulan silam, saya mengajaknya pesiar ke beberapa tempat yang sudah berubah. Dengan agak sedikit “angkuh” saya mengatakan, Kota Kupang telah berubah banyak.

Kami punya Walikota seorang doktor ekonomi, mantan anggota DPR RI dua periode. Dia adalah satu dari sedikit kepala daerah kaya raya. Reaksi sahabat saya, seperlunya saja. Mengangguk. Entahkah dia mengangguk sebagai tanda setuju dengan apa kata saya ataukah dia mengangguk sebagai tanda bahwa dia telah mendengar ucapan saya tanpa gas.

Dia kuantar melihat patung depan Hypermart. Kata saya, patung ini dikelilingi air. Nantinya ditengarai air bermain meloncat naik turun warna warni sambil bersiul-siul. Sahabatku tidak bereaksi. Dia, lihat saja. Dia, melihat trotoar kota, juga melihat bangunan tepi pantai depan Hotel Aston. Dia mengangguk-angguk tatkala melihat postur bangunan yang dibiayai pemerintah pusat itu.

Dia berujar pendek. “Ini bangunan boleh juga, bagus. Representasi lokal.” Setelah kami berkeliling, lelah, lalu kami ke Café Ja’o, meruput secangkir kopi Flores yang ditemani ubi rebus Nuabosi, Ende.

Pemilik Café Ja’o, Ir. Aleks Sena, kuajak ngobrol bersama sahabat saya itu. Ceritera cukup banyak, tentang banyak hal. Mulai dari kisah selera kopi, sampai ke konstruksi bangunan di kota-kota. Ir. Aleks Sena, terpesona. “Kapan lagi orang ini datang ke sini?” tanya Aleks Sena serta merta. Entahlah, jawab saya.

Sekali waktu kepada saya sahabat saya bertanya. “Apa ciri khas Kota Kupang?.” Mendengar pertanyaan itu, saya tak menyahut. Diam, diam dan diam. Lalu, dia bertanya lagi, apa yang membedakan Kota Kupang dengan kota-kota lain di Indonesia?

Demi “keangkuhan” saya agak sedikit tetap terjaga, saya hanya menjawab: “Ini kota penuh rumah makan se’i babi.” Kali ini, dialah yang diam. Sahabat saya tidak banyak bicara. Kemudian diambilnya laptop kecil dari ranselnya, laptop dibuka sambil menunjukkan kepada saya sejumlah gambar tentang kota-kota di dunia dengan ciri khas masing-masing.

Dengan begitu saya kemudian sadar bahwa ciri khas yang dimaksudkannya ialah bentuk fisik kota, bangunan kota dan sejumlah bangunan yang dibangun berbasis bahan lokal. Lalu katanya lagi, ini Kota Kupang kaya batu. Saya suka. Mengapa bangunan trotoar tidak dibangun dengan bahan lokal, ditata rapi seturut kekhasan kota ini. Seterusnya dan seterusnya, dia berceritera tentang kekhasan dan ciri khas pembangunan kota. Obrolan kami kemudian disambung hingga larut malam di kediaman adik ipar saya, Ambros Nai, di Liliba.

Selepas diskusi panjang lebar itu, saya kemudian berpikir, siapa gerangan pemimpin kota yang cocok dengan konteks lokal Kota Kupang?

Kota Kupang, dibayangkan menjadi kota khas NTT. Postur bangunan arsitektural NTT. Pohon-pohon berciri khas Pulau Timor, kayu cendana nan wangi, pohon tuak melambai-lambai diusik angin laut Sawu, dan seterusnya.

Sebuah kota, akhirnya dianggap khas ketika postur kota sanggup melukiskan realitas konteks kultural para penghuninya. Saya membayangkan, dari Bandara El Tari hingga Pelabuhan Tenau dan Bolok, berderet sangat panjang pohon cendana.

Baca juga: Dilema Politisi dan Perilaku Suporter Dungu

Musik di ruang tunggu Bandara El Tari dan pelabuhan disaput musik gendang khas NTT dengan teriakan petani pulang ladang dan nelayan Rote penakluk samudra. Pagar jalan-jalan diwarnai aneka rupa kain tenun ikat NTT.

Nama-nama jalan pun merepresentasi lokasi destinasi pariwisata dan tokoh-tokoh bersejarah NTT. Burung-burung yang pernah muhibah menjauh, kini kembali rindu bertengger beterbangan di langit biru Kota Kupang. Lembayung senja pun sepertinya menyembah pinggul pelupuk tanjung Pulau Semau.

Bagi saya, Kota Kupang bagai seorang gadis molek perawan mekar yang dipangku rebutan tiga lelaki dewasa pulang berkelana. Maka Kota Kupang, tak hanya menyajikan segala sesuatu yang ada di tubuh manusia.

Mata melihat pohon pohon cendana. Telinga mendengar gelombang melodi merdu musik NTT. Aroma cendana semerbak mewangi. Bangunan kokoh diperciki batu karang berwarna-warni. Dan, di sana sini rumah se’i babi tumbuh mekar seiring ciri khas serba NTT. Karena, hanya dengan itulah saja, orang kemudian berkata: “Saya telah tiba di Kota Kupang NTT”.

Dengan demikian, ke arah itulah pula panah kata-kata saya mengarah, melesat dari busur bukit padang sabana, sambil melihat lelaki kekar liat berambut ikal. Lalu, kita santun bertanya, siapakah gerangan yang pantas dan layak pimpin Kota Kupang? Mari kita bicara.