Menghadapi Masa Depan Melalui Kepemimpinan Strategis

Pemangkasan anggaran secara besar-besaran, terutama di daerah-daerah timur Indonesia, menghadirkan tantangan tersendiri bagi pemerintah daerah dalam memenuhi ekspektasi publik.

Pius Rengka

Oleh Pius Rengka

Presiden Prabowo Subianto melantik para kepala daerah dari seluruh Indonesia di Istana Negara, Jakarta, pada Kamis, 20 Februari 2025. Pelantikan ini menandai babak baru dalam dinamika pemerintahan daerah di bawah kepemimpinannya.

Sebelum momentum ini, Prabowo telah menginisiasi pemangkasan anggaran secara signifikan dengan alasan efisiensi serta menegaskan komitmennya untuk membangun pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktik korupsi di seluruh level birokrasi.

Dalam visi kepemimpinannya, Prabowo bercita-cita menjadikan Indonesia sebagai kekuatan baru di kawasan Pasifik, mampu bersaing dengan negara-negara maju seperti Tiongkok, Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang. Singapura dan Brunei Darussalam, meskipun memiliki pendapatan per kapita tertinggi di ASEAN, tidak dapat disandingkan dalam hal kekayaan sumber daya alam dengan Indonesia.

Oleh karena itu, Prabowo menekankan pentingnya menghilangkan kebiasaan korupsi yang telah lama menjadi penghambat pembangunan nasional. Ia berulang kali menegaskan bahwa korupsi yang dilakukan dengan motif memperkaya diri secara instan tanpa kerja keras adalah penyakit kronis yang harus diberantas hingga ke akarnya. Para aparat penegak hukum pun tidak boleh menjadi contoh paling buruk dalam urusan ini. Rakyat membutuhkan aparat penegak hukum yang bersih, jujur tetapi profesional. Praktek-praktek busuk dan jahat yang selama ini dipertontonkan melalui berbagai media sangat banal, jelas bukan dimaksudkan presiden Prabowo.

Klik dan baca juga:  Biarkan Daniel Mananta Menantang

Namun, seiring dengan janji dan seruan perubahan yang menjanjikan, realitas politik menunjukkan bahwa pemerintahan Prabowo melakukan perombakan elit dan konsolidasi kekuatan politik. Pemangkasan anggaran secara besar-besaran, terutama di daerah-daerah timur Indonesia, menghadirkan tantangan tersendiri bagi pemerintah daerah dalam memenuhi ekspektasi publik. Padahal, dalam kampanye politiknya, para pemimpin daerah telah mengusung agenda perubahan bermakna dan berjanji akan melampaui pencapaian pemimpin sebelumnya. Mereka tentu saja tidak mau janji yang pernah diucapkannya di masa kempanye itu kemudian membusuk di ruang ingatan publik, lalu terkubur dalam gelombang waktu yang berlalu.

Tentu saja sudahlah amat lumrah, setiap kepemimpinan baru membawa harapan baru. Namun, masyarakat sesungguhnya hanya meminta hal yang sederhana: penyelesaian masalah akut yang telah berlangsung bertahun-tahun. Di Nusa Tenggara Timur, tingkat kemiskinan masih bertahan dalam waktu lama akibat faktor struktural dan historis yang menciptakan ketimpangan sosial dan ekonomi. Kebijakan publik yang diharapkan menjadi solusi sering kali tidak berkelanjutan, sehingga upaya penanggulangan kemiskinan masih jauh dari optimal.

Di sisi lain, pembangunan infrastruktur di NTT belum sepenuhnya mencapai tingkat konektivitas yang memadai. Akses terhadap jalan, listrik, dan air bersih masih terbatas, terutama di daerah-daerah terpencil yang terhambat oleh tantangan geografis. Pemerataan pembangunan menjadi isu krusial yang menuntut strategi kebijakan publik yang lebih tajam dan solutif. Pemimpin daerah harus mampu merancang kebijakan yang menyelesaikan problem rakyat secara bertahap dan berkelanjutan.

Klik dan baca juga:  Natal: Kisah Kata Sempurna yang Membumi

NTT sejatinya memiliki beragam potensi unggulan, mulai dari sektor pertanian dan peternakan hingga pariwisata yang khas dan unik. Namun, realisasi potensi ini sering kali terkendala oleh kualitas birokrasi dan kepemimpinan politik yang belum sepenuhnya profesional. Juga belum sinkron sebagai ekses dari penerpan sistem pemilihan langsung.

Masalah korupsi di NTT yang sempat mereda kini tampaknya kembali mencuat, menandakan bahwa pengawasan dan penegakan hukum masih perlu diperkuat. Inefisiensi birokrasi di daerah harus dipangkas agar pemerintahan yang bersih, transparan, dan responsif dapat terwujud.

Struktur birokrasi harus terbebas dari praktik nepotisme dan politik balas jasa yang sering kali menghambat kinerja aparatur negara. Reformasi birokrasi harus diarahkan pada pembangunan budaya pelayanan publik yang profesional, berbasis integritas, serta kompetensi yang memadai.

Di samping tantangan birokrasi, NTT juga menghadapi ancaman yang bersifat permanen, seperti kekeringan, abrasi, dan bencana ekologis. Perubahan iklim semakin memperparah situasi ini, menuntut kebijakan yang lebih adaptif dan berbasis mitigasi jangka panjang.

Klik dan baca juga:  Kupang Kota Sampah?

Harapan dan rekomendasi

Mencermati kompleksitas permasalahan di atas, masuk akal jika ditanya, kepemimpinan politik macam manakah yang sungguh diperlukan NTT? Melalui beberapa pengalaman pribadi saya berani mengatakan, kepemimpinan yang diperlukan adalah kepemimpinan adaptif dan strategis.

Kepemimpinan strategis memiliki ciri utama berupa kolaborasi, sinergi dengan berbagai elemen, serta inovasi kebijakan yang berbasis pada kearifan lokal. Selain itu, kepemimpinan ini harus mampu memastikan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan, sehingga manfaat pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Lebih dari sekadar janji politik, para pemimpin yang baru dilantik memiliki tanggung jawab besar untuk membuktikan komitmen mereka dalam menyelesaikan persoalan mendasar yang dihadapi rakyat. Dengan semangat kerja keras, integritas yang kokoh, dan keberanian dalam mengambil keputusan strategis, masa depan pembangunan yang lebih baik di NTT bukanlah sekadar harapan, melainkan sebuah keniscayaan. Selamat bekerja dan sukses para pemimpin!