Menghadirkan Harmoni Toleransi untuk Mencegah Riak-riak Intoleransi di Indonesia (Bagian 1)

Valensius Ngardi. Foto: Dokpri.

Masing-masing warga masih memahami toleransi hanya sebatas wacana dan gagasan belaka.

Oleh Valensius Ngardi, Mahasiswa Pascasarjana Studi Antar Iman UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Indonesia dikenal dengan sebutan negara pluralisme dan multikulturalisme. Keberagaman agama dan budaya menjadi kekuatan bagi bangsa Indonesia untuk tetap bertahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sampai saat ini. Walaupun demikian, masih ada kelompok tertentu melakukan tindakan intoleransi yang dapat mengganggu keharmonisan dalam relasi antar umat beragama di Indonesia.

Beragam cara untuk menyelesaikan riak-riak kasus intoleransi yang terjadi, namun jalan penyelesaiannya tidak mudah. Banyak aral melintang yang menghambat dalam menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi di Indonesia. Upaya untuk menemukan akar persoalan menjadi tantangan bersama sekaligus tanggung jawab sebagai warga beriman untuk tetap merawat, menjaga dan memelihara keberagaman yang ada.

Di sisi lain, masih ada warga yang sudah berusaha mengimplementasikan nilai-nilai yang sudah melekat dalam diri kita sebagai warga budaya Indonesia seperti: bersikap egaliter, toleransi dan humanis dengan lintas iman yang semestinya menghiasi keseharian hidup kita dengan sesama.

Selain itu ada pandangan lain bahwa, tata kelola keberagaman beragama di bawah naungan Pancasila dan UUD 1945, tidak menjamin hak-hak umat beragama diakui secara humanis dan bijaksana tentang keyakinan seseorang di ruang publik. Manakala hak minoritas sering kali diabaikan karena dipengaruhi berbagai kepentingan politik identitas, relasi kuasa dan hegemonik kepemimpinan.

Masing-masing warga masih memahami toleransi hanya sebatas wacana dan gagasan belaka. Dalam ruang-ruang dialog, implementasi budaya toleransi menjadi sebuah diskusi yang alot, meskipun di daerah tertentu masih bisa hidup berdampingan satu sama lain dalam bingkai keyakinan yang berbeda. Politik identitas semakin menguat ketika hubungan antar komunitas beragama sarat dengan pemetaan kelompok berdasarkan identitas ras, suku dan agama.

Tulisan sederhana ini hanyalah sebuah refleksi yang bertujuan untuk menghadirkan harmoni toleransi sebagai kontrol sosial untuk mencegah riak-riak persoalan intolerasi di Indonesia sebagai refleksi penulis atas kasus yang bersentuhan dengan agama lewat berbagai pendekatan.

Tiga pendekatan: kekuatan, hak, & kepentingan, menurut Samsu Rizal Panggabean (2011) menjadi landasan kuat dalam menemukan ruang kebersamaan dan perbedaan agama di Indonesia. Untuk kasus dalam tulisan sederhana ini, saya mengambil pendekatan kekuatan.

Hal ini juga didukung oleh Bhiku Parekh (2008) tentang teori toleransi agama dalam konteks multikulturalisme. Selain itu dalam studi fenomenologi agama didukung oleh pandangan Jacques Waardenburg (2022) tentang tiga kebutuhan mendesak dalam mempelajari hubungan Muslim-Kristen menjadi frame mendasar dengan mengurai persoalan-persoalan konflik agama yang terjadi di Indonesia saat ini.

Klik dan baca juga:  Kritis Terhadap Pendidikan

Membangun Kesadaran Ingatan Koletif

Masih ingat di benak kita kasus pada bulan Mei 2024, beredar luas berita di berbagai platform media sosial seperti Twitter, Instagram, TikTok, dan saluran YouTube insiden pembubaran sejumlah mahasiswa Katolik di kawasan Setu, Tangerang Selatan. Kejadian ketika mereka sedang mengadakan peribadatan doa rosario di salah satu kediaman mahasiswa Katolik di daerah tersebut.

Peribadatan yang sedang berlangsung tersebut tiba-tiba diserbu oleh sekelompok warga pada malam hari tanggal 5 Mei 2024. Video amatir yang merekam kejadian ini kemudian menjadi viral di media sosial. Lebih lanjut diketahui bahwa empat orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini dan akan menjalani proses peradilan sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Memprihatinkan adalah fakta bahwa pembubaran ibadah doa rosario tersebut dilakukan oleh ketua RT sendiri.

Kasus yang disebut di atas merupakan salah satu representasi masalah intoleransi agama di Indonesia yang seringkali menjadi kontroversi dalam menjaga hubungan antar-umat beragama, terutama antara komunitas Islam dan Katolik. Masalah tersebut dapat bersifat paten (lihat secara nyata), maupun laten (tidak tampak secara langsung) dalam tingkat lokal maupun nasional. Bahkan menggiring opini dengan framing bahwa kasus intoleransi di Indonesia sering kali diciptakan oleh kelompok tertentu untuk mengganggu keharmonisan sosial baik di tingkat lokal maupun nasional.

Bagaimana tanggapan atau respon para pemangku di negara ini atas kasus tersebut? Bagaimanakah upaya untuk mengelola keberagaman di Indonesia untuk menciptakan oase harmoni dalam hidup antar umat beragama, tanpa memproduksi imajinasi ketakutan (imajined fear) stereotipe, liyan kultural bagi sesama, prasangka, diskriminasi, bahkan fobia terhadap agama orang lain? Berbagai pertanyaan ini menjadi pekerjaan dan refleksi kita bersama untuk berjuang dalam upaya menghadirkan harmoni toleransi sebagai kontrol sosial untuk mencegah riak-riak persoalan intoleransi di Indonesia secara proposional dan signifikan.

Keberadaan setiap kasus seperti di atas, mengindikasikan adanya kerentanan dalam relasi antaragama di Indonesia. Dan perlunya upaya untuk meningkatkan pemahaman, toleransi, serta penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan beragama. Kejadian tersebut menunjukkan bahwa masih ada sekian masyarakat belum sepenuhnya memahami konsep pluralisme agama dan cenderung melakukan tindakan intoleransi sebagai respons terhadap perbedaan keyakinan.

Untuk mengatasi masalah intoleransi agama ini, tidak bisa hanya mengharapkan lembaga tertentu saja. Kedudukan kolasi dari semua pihak terkait, termasuk pemerintah, tokoh agama, lembaga pendidikan, serta masyarakat umum menjadi kekuatan untuk bermusyawarah dalam mengelola bersama kasus-kasus intoleransi dengan berbagai pendekatan metode yang menjawab atas persoalan yang terjadi.

Klik dan baca juga:  Menghadirkan Harmoni Toleransi untuk Mencegah Riak-riak Intoleransi di Indonesia (Bagian 3)

Pendidikan tentang toleransi agama dan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia harus ditingkatkan baik melalui sistem pendidikan formal maupun informal. Selain itu, perlu adanya penegakan hukum yang tegas bagi pelaku intoleransi agar dapat menciptakan iklim harmoni dan saling menghormati di antara umat beragama.

Dalam konteks ilmiah pun sangat penting pembahasan kasus-kasus seperti ini agar dapat memberi wawasan mendalam tentang realitas sosial-religius di Indonesia dengan fokus pada isu-isu kebebasan beragama dan perlunya dialog saling menghormati untuk mencapai kesepahaman bersama dalam membangun kerukunan antarumat beragam. Dengan kata lain bagaimana setiap agama hadir dalam ruang publik diberi kebebasan untuk berekspresi imannya tanpa harus mendapat teror dari sesama (Gustia A.B. Menoh, 2015).

Kejadian yang selalu mengganggu relasi antarumat beragama di Indonesia, memiliki dampak yang cukup serius dan menimbulkan keprihatinan dalam hal kebebasan beragama dan toleransi antarumat beragama. Kasus seperti ini mencerminkan perlunya pemahaman yang lebih baik tentang hak-hak asasi manusia, termasuk hak atas kebebasan beragama atau keyakinan.

Beberapa contoh kasus lainnya yang mengusik mata batin iman umat beragama. Misalnya: masih ternyiang di telinga umat Paroki St. Paulus Pringgolayan saat ini, adalah kasus yang cukup menggelisahkan perasaan sesama warga di Kota Gede Bantul, Yogyakarta. Di mana, sekelompok oknum memotong sebuah nisan “Salib” di makam umum atas nama Albertus Slamet Sugihardi.

Almarhum adalah bagian dari warga RT 53 RW 13, Purbayan, Kotagede Yogyakarta. Peristiwa ini terjadi tanggal 17 Desember 2018. Banyak orang kecewa karena mencoreng nilai persaudaraan dan humanis antarwarga budaya Yogyakarta (Bdk. tulisan Mohammad Iqbal Ahnaf dan Hairus Salim (2017) Krisis Keistimewaan Kekerasan terhadap Minoritas di Yogyakarta).

Fenomena sosial yang menggiring opini diskriminasi sosial dan agama ini, cukup menohok perasaan antarumat beragama saat itu. Berita ini pun cepat viral di media massa. Rupa-rupanya peristiwa chaos ini, semakin memancing emosi sesama umat dan menjadi hangat di kalangan warga ketika fenomena yang sangat sensentif ini diangkat ke ruang publik dengan mengecam arogansi oknum yang tidak manusiawi dan tidak bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya tanpa alasan yang mendasar dan elegan.

Kasus berikutnya, lagi-lagi penodaan simbol, terjadi penutupan Patung Bunda Maria yang terletak di Rumah Doa Sasana Adhi Rasa St. Yakobus, Kulon Progo, Yogyakarta 23 Maret 2023. Patung ini ditutup menggunakan kain terpal berwarna biru, atas dasar suruhan sekelompok orang yang tidak senang dengan pemandangan patung tersebut di mata mereka.

Masih banyak contoh kasus yang memicu persoalan agama di Indonesia di abad 21 ini. Menjadi pekerjaan rumah bersama yang sarat dengan rasa ketidaknyamanan dan kegelisahan oleh karena bertumpuknya persoalan yang tak pernah berakhir dari ruang hidup bersama di Indonesia. Namun bicara dinamika hubungan antaragama tetap menjadi perhatian menarik ketika dikaji dalam ruang akademik maupun lembaga masyarakat –semuanya bertujuan pada visi misi perdamaian dan keharmonisan dalam perjalanan hidup umat manusia.

Klik dan baca juga:  Menghadirkan Harmoni Toleransi untuk Mencegah Riak-riak Intoleransi di Indonesia (Bagian 2)

Kasus demi kasus terjadi menjadi bahan refleksi penulis bagaimana relasi antarumat beragama di Indonesia dewasa ini dapat dikatakan kompleks. Meskipun Indonesia memiliki tradisi pluralisme yang kuat, namun masih terdapat beberapa hambatan yang menghalangi terciptanya hubungan harmonis antarumat beragama.

Beberapa hal yang menjadi faktor penghambat dalam relasi antar umat beragama di Indonesia adalah sebagai berikut:

Pertama, munculnya kelompok radikalisme dan ekstremisme. Adanya kelompok-kelompok radikal atau ekstremis dengan ideologi yang intoleran dan merusak kerukunan antar umat beragama merupakan salah satu faktor utama penghambat dalam relasi antarumat beragama di Indonesia.

Kedua, adanya ketimpangan sosial-ekonomi. Munculnya ketimpangan sosial-ekonomi juga dapat mempengaruhi hubungan antarumat beragama. Ketidakadilan dalam pemerataan sumber daya dan peluang ekonomi dapat menciptakan ketegangan sosial yang kemudian bisa memicu konflik agama.

Ketiga, diskriminasi. Terjadinya diskriminasi terhadap minoritas agama juga menjadi hambatan dalam menciptakan relasi harmonis. Tindakan diskriminatif seperti pembatasan kebebasan agama, penganiayaan, atau perlakuan tidak adil lainnya dapat merusak kerukunan dan saling menghormati (Mohammad Iqbal Ahnaf, dkk, 2015).

Keempat, politik identitas. Penggunaan politik identitas oleh sebagian pihak untuk kepentingan politik tertentu juga bisa memperburuk relasi interreligius di Indonesia. Isu-isu sensitif seputar agama sering dimainkan sebagai cara untuk mendapatkan dukungan politik dari basis pemilih tertentu, tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya pada stabilitas sosial.

Dan akhirnya kurangnya pendidikan tentang toleransi dan keberagaman agama membuat kita tidak pernah bertemu untuk saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Masing-masing mempunyai dalil dan hasrat kebenaran keyakinan yang semestinya setiap orang mempunyai hak yang sama dalam menginterprestasikan agamanya di ruang publik salah satunya lewat dialog interreligius (E. Armada Ryanto, 2010).

Menganalisis Kasus Intoleransi dan Fenomenologi Agama

Bersambung, bagian 2…