Menghadirkan Harmoni Toleransi untuk Mencegah Riak-riak Intoleransi di Indonesia (Bagian 2)

Kelompok teman multi etnis menumpuk tangan dalam kerumunan bersama. Persaudaraan manusia, harmoni dan konsep persatuan.

Bagian 1

Oleh Valensius Ngardi, Mahasiswa Pascasarjana Studi Antar Iman UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Menganalisis Kasus Intoleransi dan Fenomenologi Agama

Dalam konteks kasus (Dhavamony,1995) metode ini tepat untuk mendeskripsikan kasus-kasus intoleransi agama yang terjadi dalam masyarakat dengan menyajikan data-data secara akuntabel dengan menyajikan data kuantitatif maupun kualitatif dengan cara yang sistematis dan terstruktur. Maka dalam penerapan metode analisis deskriptif biasanya melibatkan langkah-langkah seperti pengumpulan data, penyajian data secara rinci, serta pembahasan tentang karakteristik dan pola yang muncul dari data tersebut. Metode ini memberikan gambaran mendetail tentang suatu fenomena tanpa menarik kesimpulan lebih lanjut.

Mendukung cara menelaah kasus di atas, oleh gagasan Jacques Waardenburg (Profesor Fenomenologi Agama Universitas Utrecht) mengatakan bahwa, tiga kebutuhan mendesak dalam mempelajari hubungan Muslim-Kristen, yaitu pertama, sejarah hubungan Muslim dan Kristen masa lalu, kedua, perkembangan Muslim dan Kristen pada masa sekarang dan implikasinya dalam hubungan Muslim dan Kristen, ketiga, sumber-sumber konflik antara masyarakat Muslim dan Kristen dan mencari cara untuk memecahkan konflik dan ketegangan.

Selain itu, untuk menganalisis proses dialog dalam penyelesaian masalah agama Kristen dan Islam begitu panjang. Joko Lelono (2022) dengan judul Jalan Bersama, Dialog bagi Gereja Katolik Hari Ini: Joko Lelono melihat bahwa Gereja Katolik pada abad ke-20 menemukan kembali dialog dengan agama Islam, dengan secara terperinci dari sejarah jalannya dialog sejak tahun 1964, 1965, 1979, 1990, 1991, 1995, 1999, 2009, 2013, 2015 dan 2020. Rentetan dengan merunutnya dialog dalam periode tertentu, menelisik tema-tema yang sesuai dengan kebutuhan, terutama masalah kekinian hingga menemukan, merawat dan memeluknya sebagai upaya bersama di dalam ziarah hidup bersama di muka bumi ini.

Pendekatan Berbasis Kekuatan

Untuk memaparkan kasus dalam tulisan ini, saya mengutip satu dari tiga model pendekatan dalam penanganan kasus intoleransi agama dengan pendekatan berbasis kekuatan. Panggabean (2013:4-18) menggambarkan bahwa dalam penanganan konflik sosial berbasis kekuatan terjadi ketika pihak-pihak yang berkonflik mengerahkan segala daya dan upaya yang mereka miliki ketika membela dan mengejar tujuan dan sasaran mereka. Ini adalah pendekatan self-help yang primordial dan dalam banyak hal primitif, mengabaikan tatanan kelembagaan yang ada (termasuk tatanan kelembagaan demokrasi) dan hak serta kepentingan pihak lawan (termasuk hak asasi mereka).

Penggunaan ancaman, intimidasi, protes, dan kekerasan fisik terhadap lawan adalah bagian dari pendekatan ini. Upaya lain adalah dengan membuat keputusan secara sepihak, termasuk melalui pengambilan suara ketika hal itu mendatangkan kemenangan karena jumlah mayoritas.

Dengan demikian, pendekatan ini mengabaikan hak dan kepentingan orang lain yang menjadi lawan atau musuh, dengan tujuan mencapai keinginan dan kepentingan sendiri. Pendekatan ini juga ditandai dengan suasana yang sangat bermusuhan, yang menyulitkan pihak-pihak yang bertikai melakukan kompromi dan kerja sama menyelesaikan masalah dan konflik mereka (Davies 2004; Furlong 2005).

Penanganan berbasis kekuatan ini dapat dibedakan kepada dua bentuk utama, yaitu kepatuhan kepada otoritas dan pertukaran instrumental (Davies 2004). Bentuk pertama adalah penanganan konflik sosial yang bertumpu pada kepatuhan terhadap otoritas, berpusat pada tokoh atau pemimpin yang kuat dan penuh sumber daya, seperti kepala keluarga, kepala suku, pimpinan ordo atau tarekat, raja, kaisar, diktator, dan lain-lain (Davies 2004, 122).

Klik dan baca juga:  Luntang-Lantung Nasib Yahya Waloni

Penanganan konflik di organisasi modern juga ada yang bertumpu pada kepatuhan terhadap pimpinan, seperti kelompok penjahat terorganisasi, militer, kelompok pemberontak, dan organisasi bisnis tertentu. Penghormatan, kepatuhan, dan ketundukan kepada otoritas dapat digunakan sebagai alat mencegah dan menangani konflik, sepanjang pihak-pihak yang berkonflik tunduk dan patuh kepada pimpinannya.

Bentuk yang kedua tidak bertolak dari ketundukan kepada pemimpin dan otoritas, tetapi pada pertukaran dan kompetisi instrumental yang dimiliki pihak-pihak yang bertikai, khususnya dalam konflik yang sifatnya horizontal. Instrumen ini bisa berbentuk ancaman, imbalan, hukuman, intimidasi, stigmatisasi, atau apa saja dalam rangka mengejar dan mencapai tujuan sendiri. Akses dan kesempatan pihak lawan mencapai tujuan mereka (membangun tempat ibadah, meraih jabatan, dan lain-lain) dihalang-halangi dan dipersulit, bila perlu dengan melanggar norma dan aturan hukum. Yang dilakukan masing-masing pihak yang bertikai adalah mencapai tujuan mereka dan mengambil apa saja yang mereka inginkan, selama hal itu dapat mereka lakukan berdasarkan sumber daya yang mereka miliki.

Dalam konteks relasi kekuasaan yang terus berubah dan bervariasi dari tempat yang satu ke tempat lain, pendekatan ini dapat menggiring pihak-pihak yang bertikai kepada pertarungan kekuasaan dan rangkaian aksi balas dendam yang berlarut-larut. Pihak yang di suatu tempat memiliki sumber daya yang lebih besar (misalnya kelompok mayoritas) dapat mengesampingkan dan memarginalkan kelompok yang sumber dayanya tidak atau kurang memadai untuk mengejar kepentingan mereka (misalnya kelompok minoritas).

Berbagai kelompok masyarakat, termasuk yang berasal dari latar belakang agama dan aliran yang berbeda, hidup dalam sistem yang berbasis kekuatan, situasi terbelakang dan primitif yang digambarkan Thomas Hobbes sebagai “baku perang” atau “the war of each against all” (Davies 2004, 123).

Kelemahan pendekatan kekuatan sudah tersirat dalam uraian di atas, yang dapat ditekankan melalui beberapa ciri di bawah ini (Mitchell & Banks 1996; Furlong 2005, 114). Pertama, opresif dan represif, karenanya mendorong perlawanan dari pihak yang berkonflik. Dalam konteks demokrasi, penerapannya juga menjadi sangat sulit dan penuh dengan risiko pelanggaran. Kedua, diperlukan kekuatan yang lebih besar untuk mencapai hasil yang sama –kalau dalam konflik sebelumnya misalnya diperlukan seratus pasukan, maka dalam konflik berikutnya diperlukan kekuatan yang lebih besar.

Ketiga, bersifat win-lose, yang satu menang karena lebih kuat, dan yang satu lagi kalah karena lebih lemah; atau bahkan lose-lose –seperti dalam situasi arang habis besi binasa, tak ada yang menang. Keempat, merusak hubungan pihak-pihak yang bertikai, karena masing-masing merasa terancam dan diserang, sehingga mendorong mereka semakin kukuh pada pendirian masing-masing, yang akan mempersulit kompromi dan pemecahan masalah.

Kelima, pihak yang dikalahkan tidak rela dan tidak puas dengan hasilnya, sehingga menjadi sumber kemarahan dan keinginan membalas dendam supaya hasil yang lebih setimpal dan setara dapat diperoleh. Keenam, mengarah kepada eskalasi. Penggunaan taktik berkonflik yang konfrontatif dan agresif mengundang reaksi pengerahan kekuatan yang lebih konfrontatif dan agresif. Konflik keagamaan terperosok kepada agresi yang dihadapi dengan agresi yang lebih besar.

Pada masa Orde Baru, dan di masyarakat yang otoriter dan totaliter, pendekatan berbasis kekuasaan menjadi dominan dalam mengelola dan menangani konflik. Seperti kita ketahui, Orde Baru menggunakan kebijakan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) yang ditopang dengan ancaman dan penggunaan represi, sensor yang ketat, dan instrumen kekuatan dan kekuasaan lainnya.

Klik dan baca juga:  Pojok Literasi Peserta Didik SMPK Frateran Ndao Sebagai Sebuah Inovasi dan Kado di HUT Ke-73

Pemegang otoritas hanya menuntut kepatuhan dan ketundukan dari pihak-pihak yang berkonflik. Konsultasi tidak diperlukan. Kalau tidak patuh, maka kekerasan akan digunakan. Konflik antaragama, konflik sektarian konflik lahan, konflik industri, demonstrasi inang-inang pedagang, demonstrasi mahasiswa, dan jenis-jenis konflik lain didekati dengan cara yang sama: mengerahkan kekuatan aparat polisi dan militer (yang merupakan unsur angkatan bersenjata). Kapolres cukup bertanya kepada petugas intel ada berapa peserta demonstran, kemudian mengirim kekuatan pemukul sebanyak tiga kali jumlah peserta demonstran; dan persoalan dianggap selesai.

Dalam konteks reformasi di negara kita, aparat pada umumnya menahan diri sehingga tidak menggunakan kekuatan, termasuk kekuatan bersenjata, dalam menyelesaikan konflik agama di masyarakat. Polisi biasanya berdalih takut melanggar HAM, ingin menghindari kekacauan yang lebih luas, atau ingin menggunakan pendekatan persuasif. Akan tetapi, ada akibat yang sangat buruk bagi profesi polisi: polisi menjadi aparat yang tidak bisa menjalankan fungsi deterens dan penegak hukum ketika dihadapkan kepada penanganan konflik keagamaan.

Peran Tokoh Agama di Indonesia

Dalam pengalaman di Indonesia, para tokoh agama, dan adanya norma kepatuhan berperan dalam menangani konflik keagamaan, lebih-lebih ketika ketokohan dan kepemimpinan tersebut bersifat positif dalam arti pro-perdamaian dan saling pengertian antarumat beragama. Para pemimpin agama, misalnya, menasihati pengikut mereka supaya tidak terprovokasi dan terlibat kekerasan keagamaan. Mereka juga menegur, memarahi, atau menyediakan sanksi internal bagi pengikut mereka yang melanggar dan tidak patuh.

Mekanisme semacam ini disebut dengan “pemolisian internal” atau “pemolisian di dalam kelompok” (Fearon & Laitin 1996), yang menyebabkan warga atau pengikut di dalam kelompok tersebut tidak terlibat konflik dengan warga dari kelompok lain – dalam hal ini kelompok keagamaan. Jika kelompok dan komunitas keagamaan menerapkan internal policing atau in-group policing, kekerasan dapat dihindari dan kerja sama antaragama dapat berlangsung. Pemerintah dan polisi sering memanfaatkan kekuatan dan peran tokoh-tokoh agama dalam rangka menangani konflik sosial keagamaan.

Pemerintah daerah dan polisi melibatkan tokoh agama ketika menangani dan menanggulangi konflik keagamaan. Kadang-kadang, polisi dan pemerintah daerah seperti gubernur secara resmi membentuk “polisi kehormatan” yang terdiri dari tokoh agama dan tokoh masyarakat, yang dapat bertemu dengan polisi dan pemerintah supaya kekerasan dapat dihindari atau diatasi.

Polisi kehormatan ini berfungsi, misalnya, di Bali sejak peristiwa Bom Bali, dan sekarang anggota polisi kehormatan ini sudah lebih dari seratus tokoh. Forum dan lembaga serupa ada di tempat lain, dengan nama dan status yang berbeda-beda. Tetapi, masalah besar akan timbul jika tokoh agama terlibat dalam konflik, mendukung konflik, atau berpartisipasi dalam kekerasan. Kekerasan komunal yang terjadi di Maluku, Maluku Tengah, dan Poso, Sulawesi Tengah, tidak hanya melibatkan massa dari komunitas Muslim dan Kristen, tetapi pemimpin-pemimpin mereka juga. Dalam konflik sektarian seperti Sunni-Syiah di Sampang dan konflik anti-Ahmadiyah di beberapa tempat di Indonesia, tokoh-tokoh agama juga terlibat.

Dalam hal ini, pengaruh tokoh agama menjadi bagian dari konflik dan kekerasan. Pemerintah dan polisi, dengan tingkat keberhasilan yang berbeda-beda, harus berhadapan dengan tokoh agama dalam rangka menghentikan kekerasan dan memulai proses rekonsiliasi di kalangan pihak-pihak yang bertikai. Kita masih sering menemukan penggunaan kekuatan dan bahkan kekerasan dalam konflik yang melibatkan kelompok-kelompok antaragama dan intra-agama (Ali-Fauzi, Alam, Panggabean 2009; Asfinawati et al. 2008; Setara Institute 2011; Sihombing et al. 2012; Wahid Institute 2009).

Klik dan baca juga:  Semoga Timnas Indonesia Bertuah di Tangan Shin Tae-yong

Konflik Ahmadiyah di Cikeusik, Sunni-Syiah di Sampang, dan Tengku Ayub Syahkubat di Bireun bahkan telah menelan jatuhnya korban jiwa – perkembangan yang perlu mendapat perhatian serius karena konflik sektarian telah memasuki level kekerasan baru yang menelan jiwa, bukan hanya kerusakan harta benda berupa rumah, tempat ibadah, kendaraan, prasarana publik, dan lain-lain. Konflik tempat ibadah juga melibatkan aksi kekerasan seperti perusakan, pembakaran, pengusiran, intimidasi, stigmatisasi, dan penggunaan kekuatan lainnya.

Beberapa ciri penggunaan pendekatan kekuatan yang diterapkan di atas, seperti adu kuat, rusaknya jalinan sosial di masyarakat, menang kalah, dan jatuhnya korban warga negara menjadi ujung dari pendekatan ini. Pada saat yang sama, masalah tidak selesai, yang mengungsi tak kunjung pulang – termasuk warga Ahmadiyah yang sudah mengungsi sejak 2006 dalam konflik Ahmadiyah di Lombok, dan rekonsiliasi antar kelompok berbeda keyakinan dan praktik keagamaan tak kunjung diupayakan.

Pendekatan Teori Bhiku Parekh

Bhiku Parekh adalah seorang filsuf dan politikus yang terkenal dengan kontribusinya dalam penelitian tentang multikulturalisme dan toleransi. Menurut Parekh, multikulturalisme adalah suatu pendekatan yang mengakui dan menghargai keberagaman budaya, agama, bahasa, dan nilai-nilai dalam suatu masyarakat.

Menurut teori Parekh tentang multikulturalisme, ada empat prinsip dasar yang harus dipenuhi untuk mencapai masyarakat multikultural yang harmonis:

(1) Kesetaraan: prinsip ini menekankan perlunya pengakuan kesetaraan setiap kelompok budaya atau agama dalam masyarakat. Tidak ada kelompok yang lebih dominan atau memiliki hak istimewa dibandingkan dengan kelompok lainnya.

(2) Kebebasan budaya: prinsip ini menegaskan hak setiap individu atau kelompok untuk menjaga identitas budaya mereka sendiri tanpa diskriminasi atau penindasan dari pihak lain.

(3) Dialog antarbudaya: prinsip ini melibatkan dialog antara berbagai kelompok budaya dalam masyarakat untuk saling memahami dan mencari solusi atas perbedaan-perbedaan mereka dengan cara damai dan konstruktif.

(4) Toleransi: prinsip toleransi berarti menghormati hak-hak individu maupun kelompok untuk memiliki keyakinan atau nilai-nilai tertentu tanpa memaksakan pandangan mereka kepada orang lain.

Dalam teori Parekh tentang toleransi, dia juga menekankan pentingnya pemahaman bahwa toleransi bukan hanya sekadar “mengizinkan” keberagaman tetapi juga melibatkan aktivitas saling belajar dari perbedaan tersebut serta kerja sama antar-kelompok untuk menciptakan kedamaian sosial.

Secara keseluruhan, Bhiku Parekh memandang pentingnya pendekatan multikulturalisme dalam membangun masyarakat inklusif di mana semua individu maupun kelompok merasa dihargai dan diterima secara adil tanpa harus meninggalkan identitas budaya mereka sendiri.

 

Bersambung, bagian 3…