Menghadirkan Harmoni Toleransi untuk Mencegah Riak-riak Intoleransi di Indonesia (Bagian 3)

Anak-anak muda menyatukan tangan. Teman dengan tumpukan tangan menunjukkan persatuan.

Bagian 2

Oleh Valensius Ngardi, Mahasiswa Pascasarjana Studi Antar Iman UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Belajar Memahami Pluralisme dan Toleransi

Pluralisme merujuk pada pengakuan dan penerimaan terhadap keberagaman budaya, agama, etnisitas, dan nilai-nilai dalam suatu masyarakat. Konsep ini menekankan bahwa masyarakat terdiri dari berbagai kelompok dengan latar belakang yang berbeda-beda, dan semua kelompok tersebut memiliki hak yang sama untuk diakui serta dihargai (Zainal Abidin Bagir dan AA GN Ari Dwipayana, dkk, 2011).

Dalam konteks sosial dan politik, pluralisme juga mengacu pada upaya untuk menciptakan kerja sama antara berbagai kelompok dalam masyarakat tanpa memaksakan satu pandangan atau nilai tertentu kepada kelompok lainnya. Hal ini sering kali melibatkan dialog antarbudaya, toleransi terhadap perbedaan-perbedaan, serta kesepakatan bersama tentang bagaimana mengelola keberagaman tersebut secara adil dan damai.

Menurut penulis, pluralisme sering kali dilihat sebagai alternatif bagi pendekatan monolitik atau homogenitas yang cenderung menekankan dominasi satu kelompok tertentu atas yang lain. Dengan demikian, pluralisme mendukung inklusivitas sosial dan politik sehingga setiap individu maupun kelompok merasa dihargai dalam kontribusi mereka terhadap masyarakat.

Dengan demikian, konsep pluralisme mendukung ide bahwa keberagaman merupakan sumber kekayaan budaya suatu masyarakat dan dapat menjadi landasan bagi pembangunan kesejahteraan bersama. Pluralisme sering kali dilihat sebagai alternatif bagi pendekatan monolitik atau homogenitas yang cenderung menekankan dominasi satu kelompok tertentu atas yang lain. Dengan demikian, pluralisme mendukung inklusivitas sosial dan politik sehingga setiap individu maupun kelompok merasa dihargai dalam kontribusi mereka terhadap masyarakat.

Saya meminjam gagasan Diana L. Eck dalam (Joko Lelono, 2022: 53-54), yang dikutip dari buku On Common Ground: Word Religius in America, menjelaskan tentang konsep pluralisme dalam empat poin.

Pertama, pluralisme bukan sekadar keanekaragaman, melainkan kehendak untuk terlibat dalam keanekaragaman. Melihat pluralisme sekadar sebagai keanekaragaman bisa menciptakan ghetto (kelompok-kelompok yang terpisah satu dengan yang lain). Dalam arti ini, keragaman tanpa perjumpaan dan hubungan yang nyata hanya akan menghasilkan ketegangan yang meningkat dalam masyarakat.

Kedua, pluralisme bukan sekadar toleransi, melainkan upaya saling memahami satu sama lain melintasi perbedaan. Toleransi memang penting sebagai langkah awal untuk menerima keberadaan yang lain, tetapi tidak mengharuskan seorang Kristen, Muslim, Hindu, Yahudi, maupun sekularis untuk mengenal satu sama lain. Toleransi hanya memberi fondasi yang tipis dalam realitas perbedaan antaragama. Di sana tidak ada upaya untuk menghilangkan ketidaktahuan satu sama lain sehingga sering kali berbagai prasangka, stereotipe bisa menjadi akar konflik.

Ketiga, pluralisme bukanlah relativisme, melainkan sebuah perjumpaan penuh komitmen. Dengannya, orang tidak diharuskan untuk meninggalkan identitas dan komitmen kepada agama atau budayanya. Dengan cara ini, kita sadar bahwa pluralisme adalah upaya untuk tetap memegang perbedaan kita, bukan sebagai bentuk isolasi diri melainkan dalam kesadaran akan pihak-pihak lain yang hidup dan berelasi dengan kita.

Keempat, pluralisme berdasarkan dialog. Di dalamnya ada proses dialog dan pertemuan, saling memberi dan menerima, saling menerima kritikan. Di dalam dialog, terjadi pembicaraan dan upaya saling mendengarkan. Proses ini memungkinkan orang saling mengenal persamaan dan perbedaan. Kita tahu bahwa dalam dialog, tidak akan ditemukan kata sepakat seutuhnya dengan yang lain.

Klik dan baca juga:  Moderasi Beragama: Mengulik Kekerasan Simbol Agama

Dari keempat gagasan di atas, menjadi materi yang sangat kuat bagi penulis untuk mengkaji kembali persoalan dialog selama ini. Manakala di dunia yang sedang dilanda konflik sosial dan agama bahwasanya di antara berbagai realitas pluralitas yang ada, saat ini dunia sedang bergulat yang tidak hanya masalah agama tetapi bisa juga sikap power peradaban masyarakat tertentu menjadi sebuah akar persoalan.

Misalnya konflik antara Rusia dan Ukraina, dan yang sekarang adalah masalah Israel dan Palestina. Ketika masalah ini dilihat satu aspek saja maka saat ini dunia kita sedang bergulat dan bergumul dengan permasalahan yang mudah diciptakan yakni karena perbedaan keyakinan atau agama. Konflik antarkomunitas agama, atau bahkan kelompok dalam satu agama yang sama mengisi ruang untuk menakar sejauh mana implementasi mutu agama dan iman seseorang dapat diimplementasikan dalam kehidupan yang nyata.

Bagaimana Memahami Toleransi?

Toleransi umat beragama merujuk pada pengakuan, penghargaan, dan sikap saling menghormati terhadap keyakinan dan praktik agama yang berbeda-beda dalam suatu masyarakat. Konsep ini menekankan pentingnya menjaga hubungan harmonis antara pemeluk agama yang berbeda tanpa melakukan diskriminasi atau kekerasan atas dasar perbedaan tersebut.

Toleransi umat beragama melibatkan sikap terbuka dan inklusif terhadap keanekaragaman keyakinan religius, memungkinkan setiap individu untuk percaya dan menjalankan agamanya sesuai dengan hati nurani mereka sendiri. Ini juga mencakup penghormatan terhadap hak asasi manusia, termasuk kebebasan beragama dan hak untuk tidak memiliki agama.

Pada tingkat pribadi, toleransi umat beragama melibatkan sikap saling menghargai, mendengarkan dengan baik pandangan orang lain, serta menerima bahwa orang lain memiliki hak untuk memilih keyakinannya sendiri. Hal ini juga melibatkan upaya untuk memahami perspektif orang lain tanpa menghakimi atau mencoba mengubah mereka.

Pada tingkat sosial dan politik, toleransi umat beragama diterjemahkan menjadi perlindungan hukum yang adil bagi semua warga negara tanpa memandang latar belakang agamanya. Ini termasuk penegakan hukum terhadap tindakan diskriminasi atau intoleransi atas dasar agama serta pembentukan undang-undang yang melindungi kebebasan beragama bagi semua individu.

Toleransi umat beragama merupakan faktor penting dalam menjaga stabilitas sosial dan perdamaian antarkelompok dalam masyarakat multikultural. Dengan adanya toleransi, konflik antarumat beragama dapat diminimalisir sehingga kerja sama antar-kelompok tersebut dapat berkembang demi kesejahteraan bersama.

Riak-riak Intoleransi Dikontrol Sosial

Salah satu diskursus publik tentang toleransi yang sangat kuat di Indonesia adalah pembagian demarkasi yang hitam-putih mengenai toleransi. Batas-batas demarkasi tersebut dianggap tegas dan fixed. Yaitu, pada satu sisi kebolehan bertoleransi dalam ruang sosial dan di sisi lain larangan bertoleransi dalam ruang iman–akidah atau ibadah (Suhadi, 2014: 165).

Dalam bahasa yang lebih lugas sering disampaikan dengan ungkapan bolehnya bertoleransi dalam bidang sosial, sementara dilarang bertoleransi dalam bidang agama. Diskursus seperti itu kuat di kalangan masyarakat Muslim –salah satu penanda puncaknya adalah fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2005 tentang larangan doa bersama. Meskipun demikian pola ungkapan sejenis juga dengan mudah kita temukan dalam komunitas Kristiani.

Pemerintah serta semua pihak terkait harus bekerja sama untuk mendorong kesadaran akan pentingnya pluralisme agama menjaga kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat Indonesia. Hal ini sangat penting untuk memastikan setiap individu dapat melaksanakan keyakinannya dengan bebas tanpa takut adanya penindasan atau diskriminasi dari pihak lain.

Klik dan baca juga:  Sungguhkah Allahku Lemah?

Kejadian seperti ini juga menyoroti perlunya pendidikan tentang toleransi agama serta penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dalam sistem pendidikan formal maupun informal kita. Hanya melalui pemahaman dan penghargaan bersama terhadap perbedaan keyakinanlah dapat menciptakan oase kedamaian di tengah masyarakat plural dan multikultur.

Kontrol sosial untuk mencegah riak-riak persoalan intoleransi di Indonesia, seperti kasus pembubaran mahasiswa Katolik saat ibadah Rosario di Tangerang Selatan, Jakarta, dapat dilakukan melalui upaya memperkuat harmoni dan toleransi antaragama. Hal ini dapat dicapai melalui dialog antarumat beragama, pendidikan tentang toleransi, penegakan hukum yang adil dan tegas terhadap tindakan intoleransi, serta peran media massa dalam menyebarkan informasi yang mendukung kerukunan antarumat beragama. Dengan demikian, upaya tersebut diharapkan dapat mengurangi potensi konflik agama dan memperkuat kesatuan dalam keragaman di Indonesia.

Strategi pencegahan konflik agama di Indonesia meliputi memperkuat harmoni dan toleransi antaragama melalui dialog antarumat beragama, pendidikan tentang toleransi, penegakan hukum yang adil dan tegas terhadap tindakan intoleransi, serta peran media massa dalam menyebarkan informasi yang mendukung kerukunan antarumat beragama. Dengan penerapan strategi ini, diharapkan dapat mengurangi potensi konflik agama dan memperkuat kesatuan dalam keragaman di Indonesia.

Fenomena konflik sosial yang kerap kali muncul, menjadi pertaruhan bagi tokoh-tokoh yang berpengaruh di dalamnya. Peran tokoh agama sangat diuji kemampuannya untuk melihat secara jernih dengan nalar kritis bagaimana setiap persoalan di masyarakat yang sangat rentan dengan bahaya laten, menciptakan ruang dialog bersama. Ruang dialog ini, sebagai salah satu cara untuk meretas sifat-sifat superior dalam hidup bersama.

Hal ini terkait dengan relasi manusia dengan keberagaman hidup untuk bisa berjalan bersama, tanpa harus menunjukan sifat-sifat keegoisan dan kesombongan satu sama lain atau superioritas sosial. Dengan demikian, jalan bersama melalui dialog kehidupan merupakan sebuah ruang atau tempat teduh bagi manusia untuk menemukan hal-hal yang sungguh penting dalam kenyataan hidup.

Kita tahu bahwa konflik dan ketegangan agama yang pada mulanya berawal dari persoalan individu dan hanya melibatkan segelintir orang, tidak jarang berkembang menjadi semakin kompleks dan penuh problem. Selama ini, upaya penyelesaian konflik selalu dilakukan oleh pemerintah dan aparat keamanan dengan cara membuat perjanjian damai di antara kelompok etnik yang bertikai. Dalam perjanjian damai tersebut, kelompok etnik yang bertikai berkomitmen untuk tidak lagi saling mengganggu satu sama lain (bdk. Ngardi, 2018: 60).

Kontrol sosial dalam konflik agama di masyarakat merujuk pada upaya yang dilakukan oleh individu, kelompok, atau lembaga untuk mengelola dan mengendalikan konflik yang terjadi akibat perbedaan agama. Kontrol sosial ini bertujuan untuk mencegah eskalasi konflik menjadi kekerasan atau kekacauan yang lebih besar. Salah satu bentuk kontrol sosial dalam konflik agama adalah dialog antarumat beragama. Dialog ini dapat dilakukan melalui pertemuan-pertemuan antara pemimpin agama, tokoh masyarakat, atau anggota komunitas beragama yang memiliki pandangan dan keyakinan yang berbeda. Melalui dialog ini, pihak-pihak yang terlibat dapat saling mendengarkan, memahami perspektif masing-masing, serta mencari solusi damai untuk perbedaan mereka.

Selain itu, kontrol sosial juga dapat dilakukan melalui pendidikan dan penyebaran informasi tentang toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan agama. Pendidikan akan memberikan pemahaman lebih mendalam tentang keyakinan umat beragama lainnya sehingga memperkuat rasa saling menghargai dan pengertian antarindividu atau kelompok. Upaya penguatan hukum juga merupakan bagian dari kontrol sosial dalam konteks konflik agama. Undang-undang nasional maupun internasional harus melindungi kebebasan beragama setiap individu tanpa diskriminasi serta memberlakukan sanksi bagi tindakan intoleransi atau kekerasan atas dasar perbedaan agama.

Klik dan baca juga:  Antara Demo dan Manikeisme Jalanan

Selain itu, media massa juga memiliki peranan penting dalam kontrol sosial karena mereka memiliki kemampuan untuk menyebarkan informasi secara luas kepada masyarakat. Dalam hal ini, media harus bertanggung jawab dan tidak memprovokasi sentimen negatif antarkelompok beragama sehingga tetap menjaga kerukunan di tengah-tengah masyarakat.

Ketika semua faktor di atas diterapkan dengan baik sebagai bentuk kontrol sosial dalam konflik agama di masyarakat, maka diyakini bahwa tingkat toleransi akan meningkat seiring dengan semakin minimnya potensi terjadinya konflik atas dasar perbedaan agama, yang tidak hanya melihat realitas pluralitas saja. Akan tetapi, manusia harus mau menerima secara realitas dan logika, bahwa memang perbedaan dan keberagaman itu adalah indah dan harmonis apabila dibentuk oleh wacana dan praktik yang nyata dalam hidup berdampingan satu sama lain secara humanis dan elegan.

Masalah kemudian muncul, ketika orang tidak siap menerima perbedaan sebagai sesuatu mutiara indah dari Sang Pencipta kehidupan ini. Hal ini bisa jadi mengenai hal-hal yang tidak perlu diperdebatkan dalam dialog kehidupan, bila hal-hal yang berbau pluralisme masih menjadi perdebatan sengit satu sama lain. Untuk itu kita pahami secara betul bagaimana sebenarnya makna, visi dan misi pluralitas menjadi bingkai masyarakat Indonesia yang notabene salah satu negara yang unik dan khas dengan negara lain di dunia dalam hal toleransi beragama.

Tanggung jawab atas kasus intoleransi di Indonesia dapat dibagi kepada beberapa pihak, antara lain:

Pertama, pemerintah. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menerapkan kebijakan yang mendukung harmoni dan toleransi antaragama. Hal ini meliputi penegakan hukum terhadap pelaku intoleransi, pemantauan terhadap kelompok-kelompok radikal atau ekstremis, serta memberikan perlindungan dan keamanan bagi semua warga negara tanpa memandang agama atau keyakinan mereka.

Kedua, masyarakat. Masyarakat juga memiliki tanggung jawab dalam menjaga kerukunan antaragama. Dengan menghormati perbedaan agama dan saling menghargai keyakinan orang lain, masyarakat dapat mencegah konflik agama dan menciptakan lingkungan yang inklusif dan harmonis.

Ketiga, lembaga pendidikan. Institusi pendidikan juga memiliki peran penting dalam pencegahan konflik agama dengan memperkuat pendidikan tentang toleransi, keragaman budaya, serta pengenalan nilai-nilai kemanusiaan universal kepada generasi muda.

Keempat, media massa. Media massa memiliki tanggung jawab dalam menyebarkan informasi yang akurat dan berimbang tentang isu-isu agama. Keempat pihak ini dapat saling bersinergi untuk menghadirkan harmoni toleransi sebagai kontrol sosial untuk mencegah riak-riak intoleransi di Indonesia.