China melakukannya dengan tindakan konkret. Jin Ping menyerukan semua kekuatan domestiknya untuk memasifkan semua produk manufaktur dan mesin-mesin mungil yang dibutuhkan manusia kontekstual sesuai selera pasar negara-negara peripheral, dan, menguasainya.
Oleh Pius Rengka
Sebagai catatan awal, Saskia Sansen (2003), menulis sebuah review ekonomi politik yang sangat menarik perihal fenomena globalisasi dan denasionalisasi. Globalisasi sejenis terminologi hegemonik, sedangkan denasionalisasi semacam antitesis ideologis ketika menguatnya kecenderungan lokalistik multipolar isu.
Di satu pihak, globalisasi sebagai proses mendunianya segala jenis isme dan komoditas (termasuk sejak lama agama), di sisi lain globalisasi telah mengantar semua jenis barang perdagangan ke gerbang dunia, seperti hadirnya World Trade Organisation (WTO), adanya pasar finansial global, dan kosmopolitanisme baru.
Tetapi, seiring dengan dinamika dan fenomena global itu, ternyata kecenderungan global tidak benar-benar sunyi dari riuh sebaliknya. Semacam fenomena paradoks, tetapi bukan murni paradoks, tetapi sebuah gejala dinamika belaka. Tampak seperti beriringan dengan globalisasi itu ialah menguatnya denasionalisasi yang melibatkan hampir semua kawasan di dunia, apalagi di kawasan tepi selatan Pasifik (baca juga John Naisbit and Patricia Aburdene, 1986). Artinya, tidak semua hal yang beroperasi secara global nihil kecenderungan lokal.
Sebagai misal, kerinduan komunitas Melanesia di kawasan tepi selatan Pasifik, bukan saja sejenis culturally based movement, melainkan juga perihal historical base perspective yang kemudian bermetamorfosa menjadi political movement and economic movement di kawasan itu, termasuk provinsi Nusa Tenggara Timur, tempat di mana populasi komunitas Melanesia terbesar di kawasan itu.
Ketika awalnya, atau nyaris hampir satu setengah abad lebih, ekonomi dunia dikendalikan oleh negara-negara berdaya adidaya, atau superpower yang dikomandani AS dan sekutunya, baik di barat maupun di Asia Timur dan tepi selatan Pasifik, karena itu seluruh kekuatan sosial politik dan ekonomi tak hanya berpusat di Kawasan Atlantik, tetapi juga menentukan jalannya roda perubahan dunia. Tetapi, kini kecenderungan ekonomi dunia tidak lagi berporos Atlantic mainstream, melainkan mekar mengalir ke Kawasan Pasifik (juga selatan) dengan pemain utamanya adalah China.
Kenichi Ohmae (1995) menyebutkan, dunia kian terjebak ke dalam pilar-pilar lokal ketika munculnya regionalisasi ekonomi dan lokalitas kesempatan politik. Di dalam The End of Nation State, The Rise of Regional Economics, Ohmae menekankan bahwa satu-satunya yang tidak punya warga negara hanyalah uang. Uang tidak perlu warga negara. Karena itu, mereka yang memiliki uang tak terbatas, akan mudah muhibah dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu negara ke negara lain.
Bukan saja secara fisik mereka berpindah dari satu tempat ke negara lain, tetapi duitnya pun dapat berpindah setiap waktu dari satu kawasan negara ke negara lain atau dari satu kepentingan ke kepentingan lain sambil mengkalkulasi rona politik negara tempat di mana uangnya berputar.
Dalam gejalanya, misalnya, sarapan pagi di Manggarai, makan siang di Denpasar, makan malam di Jakarta, atau kemudian bergegas ke Singapura, lalu ke Dubai menemui sekutu bisnis di kota petrodollar itu.
Atau dalam bukunya The Rise Of The Region State (1992), dikatakan negara bangsa itu telah disfungsional. Negara bangsa itu telah menjadi sesuatu yang tidak natural atau tidak wajar. Jadi, batas negara itu tidak lebih dari batas administratif belaka, sedangkan sisanya adalah dunia tanpa batas (borderless), atau negara tanpa batas.
Suzanne Berger (2000) menyebutkan, dampak perubahan ekonomi internasional pada politik domestik dan masyarakat tampak dalam dua dekade terakhir. Telah terjadi peningkatan dramatis dalam aliran modal portofolio, investasi asing langsung, dan perdagangan valuta asing lintas batas pada saat yang sama dengan penurunan hambatan perdagangan barang dan jasa. Perubahan-perubahan ini menimbulkan banyak pertanyaan baru tentang dampak perdagangan dan mobilitas modal terhadap otonomi negara-bangsa dan kekuatan relatif dalam masyarakat dari berbagai kelompok.
Tanda-tanda pertama penataan kembali di dalam dan di antara partai-partai politik kiri dan kanan atas isu-isu kemerdekaan nasional dan keterbukaan perdagangan menunjukkan medan baru yang kaya untuk penyelidikan politik. Stephen M. Walt (2008) Alliances in a Unipolar World menyebutkan, unipolaritas adalah kondisi baru dalam politik dunia. Pengaruhnya terhadap aliansi internasional belum mendapat perhatian teoretis yang berkelanjutan.
Menelusuri dampaknya diperlukan pembedaan yang cermat antara ciri-ciri struktural murni yang umum pada sistem unipolar mana pun dan karakteristik unik unipole saat ini (Amerika Serikat) atau kebijakan yang diambil oleh para pemimpin AS tertentu. Secara umum, unipole akan menikmati kebebasan bertindak yang lebih besar dan tidak terlalu bergantung pada dukungan sekutu, memungkinkannya untuk lebih mudah mengandalkan “koalisi yang bersedia” ad hoc.
Kekuatan yang lebih kecil akan khawatir tentang konsentrasi kekuatan yang dipegang oleh unipole, tetapi mereka juga akan menghadapi hambatan yang lebih besar untuk tindakan bersama untuk menahannya. Penyeimbangan keras terhadap unipole tidak akan mungkin—kecuali unipole memulai upaya besar untuk berkembang—tetapi kekuatan yang lebih rendah akan terlibat dalam penyeimbangan lunak untuk menahan pengaruh yang terakhir.
Kekuatan menengah mungkin mengejar aliansi dengan negara lain untuk mengurangi ketergantungan pada unipole, tetapi negara yang lebih lemah cenderung bersekutu dengan unipole untuk menggunakan kekuatannya melawan tantangan keamanan lokal. Bandwagoning akan tetap jarang bahkan di bawah unipolaritas, tetapi perselisihan tentang pembagian beban dan kepemimpinan aliansi akan terus berlanjut.
Negara-negara yang lebih lemah akan lebih menyukai pengaturan multilateral yang meningkatkan pengaruh mereka sendiri, sementara negara-negara unipole akan lebih memilih koalisi bilateral atau ad hoc yang bersedia mendominasi dengan lebih mudah.
Sementara itu, dalam tulisan bersama G. John Ikenberry, Michael Mastanduno and William C. Wohlforth dalam Unipolarity, State Behavior, and Systemic Consequences (2008) menyebutkan Amerika Serikat muncul dari tahun 1990-an sebagai kekuatan global yang tak tertandingi untuk menjadi negara “unipolar”. Ketidakseimbangan yang luar biasa ini telah memicu perdebatan global. Pemerintah dan masyarakat di seluruh dunia sedang berjuang untuk memahami bagaimana sistem unipolar yang berpusat di Amerika beroperasi—dan untuk menanggapinya. Bagaimana sifat dominasi pada distribusi unipolar?
China menjawab tidak dengan diplomasi narasi. China melakukannya dengan tindakan konkret. Jin Ping menyerukan semua kekuatan domestiknya untuk memasifkan semua produk manufaktur dan mesin-mesin mungil yang dibutuhkan manusia kontekstual sesuai selera pasar negara-negara peripheral, dan, menguasainya.
Kemudian produk China menyerbu pasaran global, menghajar pasar dengan permainan harga. Produk handal negara-negara tukang pamer pada masa satu setengah abad silam akhirnya kehilangan pamor. Limbung dalam persaingan, gamang dalam cakrawala perubahan cepat dunia. Tambahan lagi badai Covid-19 lalu ditafsir sebagai bagian dari babak drama persaingan global.
Satu-satunya langkah yang mungkin dilakukan negara mantan superadidaya ialah menciptakan konflik di sejumlah remote state area. Caranya? Mempertajam isu agama untuk memobilisasi gerakan konflik masif, terutama di negara-negara sangat mudah retak, seperti Indonesia, Afghanistan dan negara-negara bekas taklukan Uni Soviet.
Tetapi langkah ini kemudian menarik makin kuat gerakan denasionalisasi, terutama pada negara-negara multietnik, dan ragam agama. Pengelompokan ini tidak hanya didorong oleh faktor luar (internasional) tetapi juga ditekan oleh kian kuat kekuatan politik fragmentatif. Maka, denasionalisasi sudah semacam kecenderungan baru sebagaimana dilihat oleh Saskia Sansen di awal tulisan ini. Mari kita pertimbangkan.
Sekian!