Menikah Muda, Masalah Dulu dan Sekarang

Gusti Nyoman Joisce Elione.

Ketahuilah, menikah muda bukanlah menjadi solusi yang tepat bagi anak Anda.

Oleh Gusti Nyoman Joisce Elione, Mahasiswa Program BK FKIP di UKSW Salatiga

Pernakah Anda mendengar tentang menikah muda? Apa yang Anda pikirkan? Mengapa bisa terjadi? Di masa kini, yang sudah modern dan canggih masih terjadi. Menarik untuk direnungkan, pertama apakah menikah muda itu efektif untuk anak usia sekolah? Kedua apakah menikah muda sudah menurun atau meningkat? Ketiga, apakah menikah muda menjadi alternatif penyelesaian dari masalah pola asuh orang tua yang tak kunjung usai?

Menikah muda adalah sesuatu yang sudah terjadi di daerah mana pun dan di seluruh dunia. Di suatu daerah mungkin lebih banyak dari daerah lain, dan dipengaruhi oleh berbagai faktor.

Menurut Lester a Kirkendall  (1971) tahun 1890 di Amerika rata-rata umur seseorang menikah adalah usia 26 tahun untuk pria dan 22 tahun untuk wanita. Dalam tahun 1950 setelah mengalami penurunan yang konstan, angka rata-rata berkisar pada 22,8 tahun untuk pria dan 20,3 tahun untuk wanita. Sejak itu umur rata-rata tetap stabil. Usia tersebut menunjukkan kecenderungan menikah muda. Dengan demikian meningkat pula jumlah anak remaja di tengah-tengah penduduk.

Fenomena menikah muda tidak dapat dipungkiri di zaman sekarang. Adanya media elektronik yang semakin modern, membantu individu untuk memiliki keinginan, terutama pada anak yang sudah memasuki masa pubertas. Sehingga, tidak diragukan lagi akan menjumpai beberapa masalah. Semakin anak memiliki keinginan, orang tua atau bagian yang terikat harus siap membantu dan mengarahkan masalah-masalah yang akan timbul dengan pemecahan masalah yang tepat.

Indonesia menjadi salah satu negara, yang telah menunjukan kepeduliaan kepada masyarakat khususnya remaja yang masih di bawah umur untuk mendapat perlindungan. Bentuk partisipasi pemerintah dalam pencegahan menikah muda yaitu adanya aturan yang wajib didapatkan sebagai bukti perlindungan terdapat pada UU (Pasal 50-54 No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Secara tak langsung tergambar dalam persyaratan perkawinan dengan menyebutkan “izin orang tua” bagi yang berusia di bawah 21 tahun. Keterangan menunjukkan bahwa tidak perlu izin orang tua jika usia sudah di atas 21 tahun.

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah dijelaskan secara jelas. Indonesia, ternyata juga memiliki sistem perkawinan yang belum diketahui banyak orang. Menurut Yaswirman (2013) sistem perkawinan sudah dilakukan sebagian besar penduduk Indonesia. Sistem perkawinan di Indonesia, antara lain: 1) Sistem Endogami: mengharuskan seseorang mencari jodoh di lingkungan kerabat, sosial, atau lingkungan pemukiman di Indonesia, 2) Sistem Eksogami: mengharuskan seseorang mencari jodoh di luar lingkungan sosial, kerabat, golongan sosial atau lingkungan pemukiman, 3) Sistem Eleutherogami: tidak mengenal larangan-larangan seperti dua sistem di atas. Larangan terjadi jika ada ikatan keluarga senasab dan hubungan keluarga ada ikatan keluarga (mushaharah).

Perkawinan di Indonesia

Dalam undang-undang tentang perkawinan itu bertabrakan dengan kampanye Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) dan Badan Penasihat Perkawinan dan Perceraian Kementerian Agama yang justru mengkampanyekan bahwa usia siap menikah ialah pada usia 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan BKKBN pada tahun 2014, 46% atau setara dengan 2,5 juta pernikahan yang terjadi di setiap tahun di Indonesia mempelai perempuannya berusia antara 15 sampai 19 tahun. Bahkan 5% di antaranya melibatkan mempelai perempuan yang berusia di bawah 15 tahun. Setahun sebelumnya BKKBN melakukan penelitian mengenai penyebaran kasus pernikahan dini. Fakta yang diperoleh menyatakan, bahwa kasus pernikahan dini dengan mempelai wanita berusia antara 15 sampai 19 tahun paling tinggi berada di wilayah Kalimantan Tengah dengan persentase 52,1% dari total pernikahan per tahunnya.

Kemudian di urutan selanjutnya antara lain Jawa Barat dengan 50,2%, Kalimantan Selatan 48,4%, Bangka Belitung 47,9%, dan Sulawesi Tengah 46,3%. Sedangkan provinsi dengan mempelai perempuan di bawah 15 tahun terbanyak ialah Provinsi Kalimantan Selatan dengan persentase 9%, disusul Jawa Barat 7,5%, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah masing-masing 7%, dan Banten 6,5%.

Pada riset United Nations Childrens Fund (UNICEF) mencatat, satu dari enam anak perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun. Angkanya 340.000 anak per tahun. Adapun yang di bawah usia 15 tahun mencapai 50.000 anak per tahun. Maka tak heran apabila United National Development Economic and Social Affair (UNDESA), menempatkan Indonesia pada peringkat ke-37 dunia dan peringkat ke-2 se-ASEAN sebagai salah satu negara dengan angka pernikahan usia dini yang tinggi.

Klik dan baca juga:  Tuhan Ada di Sini di dalam Jiwa Ini

Kematangan psikologis memang berkembang seiring dengan bertambahnya usia, namun seperti apa dan seberapa cepat perkembangannya, itulah yang tidak bisa dipastikan karena tergantung oleh banyak faktor (Kompas, 9 September 2016).

Tidak dapat dipungkiri juga, Menurut Moh Scohib (2010) sesungguhnya masalah menikah muda terjadi juga pastinya di latar belakangi oleh beberapa faktor, antara lain:

  1. Ketakutan orang tua jangan-jangan anak putrinya tidak akan menemukan jodohnya, dan karenannya ingin cepat-cepat mengawinkannya jika ada peminang datang.
  2. Keinginan orang tua untuk mempertemukan dua keluarga melewati perkawinan.
  3. Keinginan orang tua untuk lekas mempunyai cucu atau keinginan agar anaknya lekas menjadi “tenang” atau “mapan”.
  4. Keinginan anak sendiri yang ingin cepat kawin karena “terpaksa” sebagai akibat pergaulan bebas, atau karena ikut-ikutan teman.
  5. Kebudayaan yaitu karena masyarakat tertentu menghendaki anak-anaknya, terutama anak putri cepat-cepat menikah.

Dari beberapa faktor di atas, pastinya masih ditemukan faktor-faktor dari diri anak itu sendiri. Menurut Desmita (2014) ada beberapa faktor anak muda dalam mengambil keputusan yang cukup mengejutkan padahal usianya masih sangat muda yaitu:

  1. Mode vs kesopanan: Pada zaman tradisional hampir setiap mall kita melihat pakaian anak perempuan bergambar buah ceri kecil dengan slogan-slogan yang lucu khas anak kecil. Pada zaman modern pembuat pakaian tidak mempertimbangkan anak-anak. Mereka berusaha mendapatkan uang dan mereka tahu seks dapat mempunyai nilai jual.
  2. Hormon-hormon yang bekerja: Pada saat anak memasuki masa pubertas, hormon-hormon bekerja. Peran orang tua dalam menasihati dan menghadapi masalah yang timbul harus siap.
  3. Kebiasaan-kebiasaan baru: Terjadinya penambahan baru yang dimulai dari sekolah. Hal ini sebagai orang tua harus berhati-hati dan menjaga anak-anak.
  4. Suasana hati yang berubah-ubah: Pastikan anak-anak Anda mengerti bahwa suasana hati dan perasaan yang tidak terkontrol adalah sesuatu yang normal.
  5. Privasi, pornografi, dan internet: Pada saat ini perhatian besar harus diberikan orang tua terhadap anak. Khususnya pada perkembangan teknologi yang memudahkan akses internet dan menjadi godaan besar pada perkembangan keingintahuan anak yang cukup besar. Orang tua harus lebih memberikan perhatian yang tinggi.

Permasalahan Menikah Muda

Menikah muda menjadi hal yang sering dijumpai dan menjadi bahan perbicangan di mana-mana pada setiap individu. Menikah muda memang menjadi impian sebagian orang, antara lain agar nanti orang tua bisa menjadi “teman” bagi anak-anaknya ketika beranjak dewasa. Sebagian yang lain beralasan, sudah puas pacaran sehingga siap mengikat hubungan ke arah yang lebih serius
(Kompas, 4 Juli 2009).

Namun, harus diketahui pula menikah muda pada setiap individu juga terdapat alasan-alasan yang mempengaruhi. Menurut Ihromi (2004) terdapat alasan menikah muda pada anak, diantaranya:

  1. Keterpikatan fisik: Penampilan fisik bukan merupakan hal yang utama bagi mereka yang merasa terpikat, namun tidak dapat dipungkiri bahwa menjadi salah satu hal yang menggugah seseorang untuk melakukan pendekatan dengan orang lain. Mulai dari paras, bentuk tubuh, tatapan mata, nada bicara sampai pada gerakan tubuh dan cara berpakaian seseorang dapat digolongkan ke dalam aspek fisik yang dapat memikat orang lain.
  2. Kebutuhan biologis: Manusia memiliki sejumlah kebutuhan biologis tertentu dengan seperti makan, minum, bernapas dan seks. Pada umumnya kebutuhan biologis seseorang selalu mencari jalan untuk dapat dipenuhi. Dalam situasi, aspek fisik sesungguhnya memberikan pengaruh besar yang merupakan manifestasi dari dorongan psikologis yang dialami oleh seseorang seperti berhubungan seksual.
  3. Alasan sosial: Memiliki dimensi yang cukup luas. Dorongan ekonomi, teman-teman, dan berbagai aspek sosial lainnya.

Menurut Debbie Clayton (2012) yang sering dijadikan alasan seseorang untuk menikah muda, di antaranya: a) aspek kultural, b) tingkat kelas sosial, c) desakan ekonomi, d) pengaruh teman, e) alasan psikologis, — di antaranya masalah kepribadian, kebutuhan (merasa butuh), tekanan, dan reduksi ketegangan.

Klik dan baca juga:  Mengurai Problema Pendidikan Kita

Menurut Connie Neumann (2009) setiap individu memiliki lingkungan yang baginya sangat membantu dalam mengembangkan kepribadiannya. Walaupun terkadang akan tempat individu bercerita kelak baik itu positif atau negatif. Bahwa individu tersebut memiliki berbagai pengalaman dalam perjalanan hidup.  Perlu orang tua ketahui, bahwa perkembangan anak diawali dalam keluarga dan lingkungan di mana individu tinggal. Tempat tinggal memberikan dorongan yang signifikan bagi dunia sosial anak.

Menurut Monty Satiadarma (2001) adapun dampak negatif yang ditimbulkan dari adanya pernikahan muda, di antaranya: 1) eksploitasi anak, 2) hilangnya kesempatan untuk mendapat pendidikan, 3) rentan terhadap kanker serviks, 4) mudah terjadi perceraian, 5) pemaksaan akan kematangan dan kedewasaan cara berpikir anak, 6) hilangnya masa muda, 7) bunuh diri, dan 8) terjadi penyimpangan sosial.

Menurut Monty Satiadarma (2001) ada beberapa dampak dari adanya kegagalan dalam pernikahan muda, antara lain:

  1. Kecewa: muncul oleh pasangan yang pada dasarnya bersumber dari ketidakselarasan harapan dan kenyataan. Masalah yang demikian pada dasarnya adalah persepsi mereka sebelumnya tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Janji pasangan yang mereka terima sebelumnya ternyata tidak dipenuhi.
  2. Marah: individu yang tidak mampu mengatasi kecewanya. Merasa frustasi dan rasa frustasi atas ketidakberdayaannya menimbulkan amarah di dalam dirinya.
  3. Sakit hati: di samping rasa kecewa dan marah, individu mengalami rasa sakit hati yang cukup mendalam, seperti: merasa dirinya tidak lagi dibutuhkan.
  4. Ketidakpercayaan: kondisi seperti ini, biasanya diawali dengan komunikasi kurang atau kurangnya perhatian.
  5. Kebencian: kemarahan memicu timbulnya kebencian yang ditampilkan dalam perilaku menarik diri atau menjauhi diri, dengan sikap bermusuhan.

Solusi

Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan sudah tentu harus melakukan perbaikan pada perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah harus mengambil peran dengan merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.  Komitmen Indonesia untuk ikut menghapus praktik menikah muda pada 2030, seperti yang telah disepakati dalam Sustainable Development Goals.

Tentu saja dalam menghadapi masalah rumah tangga seseorang akan stres, marah, sedih, kecewa dan lain-lain. Menurut Tillar (2012) masalah tersebut dapat dicegah dengan adanya cara yang dapat mengatasi permasalahan dalam berumah tangga, antara lain:

Pertama, niat dan tekad: langkah paling dasar untuk memulihkan perkawinan. Dengan adanya niat dan tekad dari kedua belah pihak untuk memperbaiki hubungan. Niat adalah suatu keinginan, tetapi apabila tanpa dilandasi oleh tekad atau dorongan yang kuat agar terlaksana. Maka, segala upaya yang dilakukan akan pupus di tengah jalan.

Kedua, kesediaan untuk berubah: individu harus memiliki kesediaan untuk berubah dalam pengertian mengubah gaya hidup serta kebiasaan-kebiasaannya, antara lain: kebiasaan pulang kerja larut malam harus diubah menjadi pulang kerja pada saat yang wajar sesuai dengan jam kerja yang ditentukan, kebiasaan mampir pulang kerja harus dihentikan, lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Mengubah kebiasaan sama halnya dengan mengubah ritme atau irama hidup. Ia membutuhkan proses adaptasi yang adakalanya mudah, adakalanya pula sulit. Jadi, individu yang bersangkutan harus bersedia melakukan perubahan-perubahan pada dirinya. Karena, apabila ia sendiri enggan mengubahnya, perubahan gaya hidup pun akan sulit diharapkan.

Ketiga, membina komunikasi: komunikasi merupakan aspek yang sangat penting di dalam hubungan antarmanusia. Komunikasi adalah jembatan hubungan antarmanusia. Komunikasi bersifat verbal dan non-verbal. Komunikasi verbal mencakup hal-hal yang terkait dengan ucapan serta kata-kata. Sedangkan komunikasi non-verbal mencakup bahasa tubuh dan bahasa simbolik.

Keempat, menghidupkan keindahan masa lalu: istilah menghidupkan keindahan masa lalu seolah-olah didasari anggapan bahwa masa lalu sudah mati. Namun, menghidupkan keindahan masa lalu akan membantu pasangan mengingat kebersamaan yang membuat berpikir ulang untuk saling melepaskan.

Kelima, berbagi: berbagi di sini tidak hanya dalam hal psikologis seperti berbagi komunikasi, berbagi dalam hubungan emosional. Melainkan, membantu yang bersangkutan untuk lebih mengendalikan diri, ia sendiri harus bersedia, memiliki niat dan tekad untuk mengendalikan diri, dan bilamana perlu memperoleh bantuan hal atau orang lain untuk mengendalikan dirinya.

Bukan hanya dari diri sendiri atau saat berumah tangga. Namun, menikah muda dapat dicegah dengan adanya keluarga yang memberikan perhatian. Menurut Gregory Feist (2014) orang tua yang memiliki anak memasuki masa pubertas harus waspada dan segera melakukan tindakan yang tepat. Berikut ada beberapa cara dari keluarga untuk menolong anak-anak dalam mengembangkan kepribadiannya, pengertian dan hormat terhadap seksualitas mereka sendiri maupun orang lain, antara lain: memperlihatkan segala dimensi perkawinan, pendidikan seks pada usia dini, mencari aktivitas, dan memiliki sahabat dekat.

Klik dan baca juga:  Pembangunan Jalan Menuju Pembebasan Rakyat dari Penjara Jalan

Menurut Moh Shochib (2010) peran orang tua juga tidak sampai pada saat sudah menikahkan anaknya. Terutama pada orang tua yang sudah menikahkan anaknya, padahal si anak masih muda. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa kita sebagai individu hidup dalam lingkungan masyarakat yang memiliki lingkungan tak jauh dari tetangga dan adat istiadat yang masih berlaku.

Orang tua harus mengetahui asas hukum adat perkawinan yang harus dipertahankan hingga saat ini, sesuai dengan masyarakat adil dan makmur mencakup, yaitu:

  1. a) asas gotong royong: terdapat dalam hukum adat tradisional, disebut juga asas keluarga, asas kemasyarakatan atau asas komunal.
  2. b) asas fungsi sosial dan milik masyarakat: sebagai warga masyarakat tidak sekedar mengejar kepentingan pribadi, tetapi juga mengerjakan kegiatan-kegiatan untuk kemaslahatan umum.
  3. c) asas musyawarah dan persetujuan sebagai unsur demokrasi: kekuasaan yang dijalankan oleh para kepala adat.

Dengan adanya Pasal 288 KUHP telah menyebutkan bahwa barang siapa dalam pernikahan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahui atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya dikawini, apabila mengakibatkan luka-luka berat diancam paling lama empat tahun, jika mengakibatkan luka-luka berat diancam pidana penjara paling lama delapan tahun dan jika mengakibatkan mati diancam pidana paling lama dua belas tahun.

Peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dengan sangat jelas menentang keberadaan pernikahan di bawah umur. Jadi tidak ada alasan lagi bagi pihak-pihak tertentu untuk melegalkan tindakan mereka yang berkaitan dengan pernikahan di bawah umur. Pemerintah harus berkomitmen serius dalam menegakkan hukum yang berlaku terkait pernikahan di bawah umur sehingga pihak-pihak yang ingin melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur berpikir dua kali sebelum melakukannya.

Selain itu pemerintah harus semakin giat mensosialisasikan UU terkait pernikahan di bawah umur beserta sanksi-sanksinya bila melakukan pelanggaran dan menjelaskan risiko-risiko terburuk yang bisa terjadi akibat pernikahan anak di bawah umur adalah sesuatu yang salah dan harus dihindari.

Jadi, upaya pencegahan pernikahan di bawah umur dirasa akan semakin maksimal bila anggota masyarakat turut serta berperan aktif dalam upaya pencegahan pernikahan anak di bawah umur. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat merupakan langkah terbaik yang diharapkan untuk mencegah atau meminimalisir pernikahan anak di bawah umur. Kontrol sosial masyarakat sangat diharapkan untuk hal ini, sehingga ke depannya anak-anak negeri ini tidak lagi menjadi korban pernikahan usia muda, tetapi memiliki masa depan yang cerah untuk meraih cita-citanya.

Penutup

Perlu dipahami setiap individu khususnya orang tua, tenaga pendidik dan pihak-pihak yang terkait dalam mendukungnya perkembangan anak. Bahwa, kita sebagai tenaga pendidik khususnya, harus mampu mengarahkan masa depan lewat bangku sekolah. Kita perlu membuat rancangan, dalam hal bidang-bidang layanan ataupun program-program sekolah yang mampu mendukung kerja sama orang tua mendukung prestasi dan keinginan anak yang memiliki tekad, semangat serta motivasi yang tinggi dalam bidang pendidikan. Apakah harus? Bagaimana kalau tidak?

Ketahuilah, menikah muda bukanlah menjadi solusi yang tepat bagi anak Anda. Melainkan menikah muda akan menjadi beban tambahan bagi hidup Anda khususnya orang tua yang paham betul tentang kerasnya ekonomi yang mengalami peningkatan cukup luar biasa ini. Siapkan, anak Anda menghadapi dunia yang bersaing dalam bidang pendidikan untuk kemajuan dirinya. Ingatlah, bahwa menikah muda bukan solusi dalam mengakhiri beban hidup, melainkan awal dari beban hidup yang menyulitkan bagi kehidupan ke depannya.