Kita terjebak untuk mengglorifikasi identitas kita masing-masing sebagai terhebat. Inilah permasalahan terbesar dalam menimbulkan diskriminasi sosial.
Oleh Valensius Ngardi
Suatu hari, kami bersama dengan salah satu calon mahasiswa baru dari Flores, kelahiran Merauke mencari kos yang berdekatan dengan kampusnya. Menariknya, Ibu Kos menerima kami dan langsung membicarakan harga perbulan kos tersebut, hingga menyerahkan kunci kamar saat itu juga. Namun, selang beberapa menit tiba-tiba si pemilik kos minta kuncinya untuk diserahkan kembali. Setelah itu dia tidak keluar dari rumahnya. Kami kaget dan bingung atas peristiwa ini. Kejadian ini salah satu dari beragam pengalaman mencari kos di Kota Yogyakarta. Tentu saja, saya mengalami culture shock dengan peristiwa ini.
Di Kota Yogyakarta, menawarkan beragam kos yang menarik. Harganya relatif golongan menengah, dan tidak semua warga Yogyakarta menolak mahasiswa Indonesia Timur. Maka muncul pertanyaan yang tersirat. Ada apa dengan kami warga Indonesia Timur? Gagasan sederhana ini adalah sebuah refleksi sederhana dari pengalaman nyata, tentang fenomena penolakan warga terhadap mahasiswa Indonesia Timur (baca: Papua, NTT) dalam mencari indekos/kos di Kota Yogyakarta.
Penolakan ini tentu saja menimbulkan perasaan tertekan dan terkejut ketika berhadapan dengan lingkungan dan budaya baru. Belum lagi disemat sebagai warga pendatang yang belum tentu diterima secara utuh sebagai sesama warga negara Indonesia di negeri tercinta ini. Muncul pertanyaan apakah semua warga Yogyakarta berpandangan yang sama tentang warga Indonesia Timur?
Sudah banyak kajian ilmiah (baca: skripsi, jurnal, tesis, dsb) memperbincangkan masalah ini. Dalam ranah akademik tentu saja bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah ketika menganalisis fenomena sosial yang terjadi sebagai ruang untuk bisa dikaji lebih dalam lagi -keterkaitan penolakan mahasiswa Indonesia Timur di kota ini. Kita melacak tulisan dan hasil penelitian berikut ini.
Pertama, Putri, A. S., Kiranantika, A. (Jurnal, 2020) Putri mendeskripsikan bahwa hubungan yang tercipta antara mahasiswa dari Timur Indonesia dengan masyarakat lokal Yogyakarta cenderung tidak berjalan dengan harmonis. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan kebudayaan antar-keduanya. Namun, meskipun hubungan dan interaksi yang tercipta cenderung tidak harmonis, masih ada masyarakat yang dapat bersosialisasi dengan baik dengan pendatang, yaitu di daerah Gendeng, Kota Yogyakarta. Hubungan yang harmonis tersebut disebabkan oleh kemampuan dua masyarakat yang berbeda kebudayaan tersebut untuk beradaptasi.
Mayoritas mahasiswa dari Indonesia Timur seperti NTT dan Papua memilih untuk hidup berkelompok disebabkan oleh beberapa faktor baik internal maupun eksternal. Dalam temuan Putri menyimpulkan bahwa interaksi antara masyarakat lokal dengan mahasiswa pendatang dari Timur berpengaruh terhadap kehidupan mereka yang rukun dan harmoni. Perbedaan budaya yang ada dalam keduanya tidak akan menimbulkan konflik sejauh terdapat rasa toleransi antar-keduanya.
Mayoritas mahasiswa dari Timur Indonesia yang memilih untuk hidup berkelompok disebabkan oleh adanya apatisme dan cultural shock serta adanya stereotipe dari masyarakat lokal. Stereotipe tersebut muncul sebagai akibat dari kuatnya framing yang dilakukan baik oleh lingkungan maupun media yang kemudian mempengaruhi pola pikir masyarakat.
Kedua, Harimurti, Albertus (Tesis, 2017) Harimurti melihat bagaimana pihak keamanan dengan mudahnya menyerang beberapa personel dari NTT tanpa prosedur yang benar dan menimbulkan kematian secara sadis dan tidak manusiawi. Peristiwa ini berawal dari konflik kepentingan dalam merebut lahan parkir antara beberapa anak NTT dan aparat keamanan.
Dalam temuannya, bahwa sejak peristiwa pembantai (2003), sebagian warga Yogyakarta menolak mahasiswa Indonesia Timur untuk tinggal di kos miliknya. Framing muncul adalah kata preman. Topik premanisme dan fantasi kepahlawan dalam masyarakat seakan-akan melekat kepada mahasiswa NTT yang didukung dengan sudut pandang yang berbeda dari warga Yogyakarta. Apakah preman itu sungguh karena gestur yang diperlihat oleh mata kita atau perbuatannya? Menyikapi hal tersebut, topik ini mampu menyadarkan kita semua, bahwa masih ada harapan dengan kekuatan pemerintah dalam memberantas premanisme dan fantasi kepahlawan sehingga Indonesia tetap menjadi negara yang aman dan damai.
Kenyataan bahwa fantasi kepahlawanan bisa menyebabkan runtuhnya kekuatan Indonesia sebagai negara yang memiliki toleransi tinggi menjadi ketakutan bagi siapa saja yang tidak siap menerima keberagaman yang ada.
Ketiga, Fransiskus Awe (2019). Dalam hasil risetnya bahwa konflik mahasiswa Nusa Tenggara Timur dan warga Tambakbayan Babarsari, menimbulkan trauma bagi warga Yogyakarta. Biasan tentang mahasiswa NTT, semakin kuat sebagai pemabuk, pengacau dll. Namun ada aspek lain bahwa para warga juga kehilangan rejeki ketika warung dan kos mereka tidak ada penghuninya.
Ketiga riset di atas, semakin kita paham bahwa sebagian warga Yogyakarta, menolak mahasiswa Indonesia Timur, karena ada sejarah masa lalu yang belum diselesaikan secara tuntas sampai saat ini. Maka stereotipe dan diskriminasi ras terhadap warga pendatang sampai kapan pun seakan-seakan sudah terbentuk dalam diri pemilik lahan atau tempat tinggal di kota yang terkenal dengan kota pelajar dan budaya. Apakah Yogyakarta sedang tidak baik-baik sajakah?
Menciptakan Mind Imagine Fear
Ketika manusia terpolarisasi dalam pikirannya tentang orang lain yang bukan bagian dari dirinya, maka ada sebuah bayangan ketakutan (imaginer fear) yang sudah dibentuk dari peristiwa-peristiwa masa lalu dalam dirinya. Cara berpikir demikian melahirkan sebuah produk baru yaitu stereotipe. Lebih ekstremnya lagi melahirkan diskriminasi ras dan stigma, yang bisa membunuh karakter seseorang dalam hidup bersama. Stereotipe yang berlebihan tentang orang lain di luar dirinya, dapat mengganggu dalam membangun relasi dengan sesama, bahkan bisa menciptakan konflik atau permusuhan yang terselubung namun nyata. Dari sinilah melahirkan liyan cultural yang bisa melekat atau disematkan kepada orang yang ditolak atau tidak diterima sebagai bagian dari warga masyarakat.
Dalam kajian budaya dan filsafat (Simone de Beauvoir, 2004) menggambarkan kata liyan atau “yang lain” (the other) dalam fenomenologi digunakan dalam mengidentifikasi dan membedakan diri dengan yang lain dalam pengakuan mereka untuk menjadi ada. Oleh karena itu, liyan berbeda dan berlawanan dengan diri. Meskipun liyan terpisah dari diri, liyan merupakan realitas ada yang juga mengukuhkan keberadaan diri. Pengalaman ada bersama yang lain ini, membawa konsekuensi bahwa diri juga ada bagi yang lain. Dan risikonya dia berjuang untuk menerima secara utuh sebagai teman, sahabat bahkan keluarga jika pendekatan personalnya semakin kuat dan mendalam.
Melahirkan Diskriminasi Ras
Ketika orang lain tidak dianggap bagian dari dirinya, tentu saja merasa terasing dalam hidup bersama. Hidup bersama tetapi belum tentu merasa bersama. Hal ini oleh Muder Theresia Kalkuta dalam refleksinya mengungkapkan bahwa, penderitaan yang paling mengerikan dalam hidup bersama adalah ketika tolak oleh orang lain, yang tidak merasa sebagai ciptaan dari citra/gambaran Allah yang sama.
Berbicara diskriminasi ras bukan hal baru di abad 21 ini. Sejak zaman prasejarah, pengalaman diskriminasi merupakan masalah biasa yang dialami oleh manusia dalam hidup bersama di masyarakat. Dalam kajian postmoderen, persoalan diskriminasi mungkin tidak menarik lagi untuk diperdebatkan, apa lagi diskriminasi ras terlalu sensitif dan naif untuk dibahas di ruang akademik maupun publik. Akan tetapi, ketika masalah tersebut dibahas dalam ranah kajian budaya, maka kita dapat menemukan ruang dan akar persoalan mengapa diskriminasi selalu muncul di tengah masyarakat saat ini?
Diskursus sosial diskriminasi sangat erat dengan relasi kuasa, konstruksi sosial, kelas sosial, resistensi, hegemoni dan politik identitas dalam hidup bersama, jika digali dalam konteks masyarakat pluralisme dan multikultural. Hal ini bisa menelusuri identitas seseorang bukan hanya ras (warna kulit) saja tetapi orang lain bisa menguliti identitas agama dan budaya di tanah perantauan.
Permainan Identitas
Saya sendiri menyadari bahwa terkadang saya tidak siap mengoreksi identitas saya sebagai orang Manggarai, Flores NTT di mana orang lain ingin mengetahui identitas saya sendiri. Saya merasa terganggu ketika orang lain melihat orang NTT hanya dilihat satu aspek saja misalnya dari segi fisik (hitam, rambut keriting). Apakah demikian? Abainya kita, karena tidak fair dalam mengonstruksi sejarah identitas kita masing-masing.
Kita terjebak untuk mengglorifikasi identitas kita masing-masing sebagai terhebat. Inilah permasalahan terbesar dalam menimbulkan diskriminasi sosial. Karena kehilangan satu dimensi analisis yang justru dekat dengan kita. Kita tidak berani menganalisis identitas kita sendiri. Dan kita mengabaikan kecacatan, ketidaksempurnaan itu, justru kita menjadi tidak adil, tidak fair dan justru menjadikan kita rasis secara tak sadar.
Kontruksi sosial dalam masyarakat secara nyata sudah menciptakan kelas sosial. Misalnya kelas sosial pertama (atas) adalah penduduk asli dan pendatang adalah kelas sosial dua (bawah). Bagaimana keduanya agar tidak terjadi perbedaan antara keduanya sehingga tidak terjadi liyan kultural? Adakah ruang negosiasi untuk dibicarakan secara akal sehat?
Melawan liyan kultural di masyarakat yang dibentuk dalam diri seseorang, dalam hal ini fenomena mahasiswa di tanah rantau, dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pendekatan sosial yang kreatif dan cerdas dapat membebaskan kita dari praktik diskriminasi ras. Misalnya saya sendiri ikut ambil bagian dalam kegiatan lingkungan gereja dan RT. Meskipun kita kuliah di universitas yang terbuka bagi suku, etnis dan agama, maka untuk semakin mengenal Indonesia setidaknya mengenal banyak teman dari daerah lain lewat pengembangan bakat olah raga dan seni (misalnya ikut futsal, grup band, basket, kelompok menulis) di luar jam kuliah.
Ketika relasi ini intens, diharapkan jangan tinggal satu kos dari daerah yang sama. Cara seperti ini salah satu cara untuk membebaskan diri seseorang dari lingkaran praktik diskriminasi ras dan sebagai strategi untuk pemenuhan hak-hak atas kelayakan hidup tanpa diskriminatif secara rasial dalam hidup bersama (bdk. Scott, 1990).
Semoga stereotipe yang melekat pada mahasiswa Indonesia Timur, yang didukung oleh berbagai kajian ilmiah segera berakhir. Kita tidak mau lagi menjadi orang asing di Indonesia yang dipayung oleh negara Pancasila dan demokrasi. Indonesia bukan negara bayang atau imajinasi (imagined community) bagi kita (Benedict Anderson, 1983).
Fenomena yang cukup memprihatinkan ini, sekali lagi memberi ruang bagi siapa saja yang mau tinggal di kota besar (Jakarta, Malang, Surabaya, dsb) tetap cerdas dan humanis untuk menjadi bagian dari NKRI ini. Kita tidak boleh melupakan dimensi identitas kita yang terbelah oleh karena persoalan ras yang sengaja dikonstruksi oleh masyarakat tentang diri kita yang apa adanya.
Valensius Ngardi adalah Mahasiswa Pascasarjana Studi Antar Iman UIN Sunan Kalijaga