Menyongsong Undang-Undang Kepariwisataan yang Progresif

Bahkan bentuk-bentuk pariwisata yang dianggap "baru" atau "alternatif", seperti ekowisata dan wisata berbasis komunitas, tidak luput dari kritik. Meskipun dianggap lebih ramah lingkungan dan sosial, bentuk-bentuk pariwisata ini sering kali terjebak dalam logika pasar yang sama dengan pariwisata massal.

IMG 20250423 WA0003
Yesaya Sandang, Ph.D

Oleh Yesaya Sandang, Ph.D
Dosen Fakultas Interdisiplin Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Pariwisata telah menjadi salah satu sektor penting dalam perekonomian global, termasuk di Indonesia. Namun, di balik potensi ekonominya yang besar, industri pariwisata juga menghadapi tantangan serius. Di Bali, misalnya, konflik air antara industri perhotelan dan petani lokal telah berlangsung selama bertahun-tahun. Di Raja Ampat, keindahan terumbu karang terancam oleh meningkatnya jumlah wisatawan. Di Yogyakarta, masyarakat lokal terpinggirkan akibat alih fungsi lahan pertanian menjadi suprastruktur pariwisata.

Saat ini, DPR tengah membahas revisi Undang-Undang Kepariwisataan yang merupakan momentum tepat untuk menciptakan kerangka hukum yang lebih progresif dan berkelanjutan. Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan ketiga atas UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan akan mengubah lebih dari 75% substansi UU 10/2009, sehingga lebih bersifat penyusunan ulang daripada sekadar revisi.

Menteri Pariwisata, Widiyanti Putri, menekankan bahwa revisi ini fokus pada empat bidang utama: industri pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran, dan kelembagaan pariwisata. Namun, Komisi VII DPR mengusulkan perluasan menjadi 12 aspek ekosistem kepariwisataan, termasuk perencanaan, pendidikan, dan pemberdayaan masyarakat lokal. Pemerintah menyetujui sebagian besar usulan tersebut, kecuali aspek pendidikan dan diplomasi budaya yang telah diatur dalam UU lain.

Terdapat dua poin perdebatan utama dalam pembahasan RUU ini. Pertama, penghapusan Bab 9 tentang koordinasi yang dipimpin Presiden dan Wakil Presiden. Pemerintah menolak penghapusan ini karena dianggap penting sebagai payung hukum koordinasi strategis lintas sektor. Kedua, pembentukan lembaga kepariwisataan profesional dan mandiri. Pemerintah menolak usulan ini karena keterbatasan anggaran dan mengusulkan transformasi Badan Promosi Pariwisata Indonesia (BPPI) untuk memperkuat fungsi promosi pariwisata.

Mengapa Kita Membutuhkan Hukum Kepariwisataan yang Progresif?

Gagasan hukum progresif, yang dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo, menekankan bahwa hukum tidak boleh hanya dipandang sebagai sekumpulan aturan, melainkan sebagai proses dinamis yang bertujuan untuk menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. Dalam konteks pariwisata, hukum progresif harus menjadi instrumen yang tidak hanya mengatur, tetapi juga memuliakan masyarakat, melindungi lingkungan, dan memastikan bahwa industri pariwisata memberikan manfaat yang adil bagi semua pihak.

Hukum progresif dalam pariwisata harus mampu menjawab tantangan global, seperti neoliberalisme dan kapitalisme, yang seringkali mengabaikan kepentingan masyarakat lokal dan keberlanjutan lingkungan. Bersatu padu, keduanya telah membentuk kepariwisataan modern, yang terus menerus memacu pertumbuhan ekonomi, dan menimbulkan masalah seperti kerusakan lingkungan, eksploitasi budaya, dan ketimpangan sosial. Oleh karena itu, hukum kepariwisataan yang progresif perlu dirancang untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.

Neoliberalisme dan Tantangan Pariwisata Modern

Neoliberalisme, yang mendorong privatisasi, deregulasi, dan pasar bebas, telah mengubah wajah industri pariwisata. Pariwisata yang semula dianggap sebagai kegiatan yang menyenangkan dan bermanfaat, kini sering kali dipandang sebagai ancaman bagi lingkungan dan budaya lokal. Pariwisata massal, misalnya, telah menyebabkan kerusakan ekosistem dan mengikis identitas budaya masyarakat setempat.

Bahkan bentuk-bentuk pariwisata yang dianggap “baru” atau “alternatif”, seperti ekowisata dan wisata berbasis komunitas, tidak luput dari kritik. Meskipun dianggap lebih ramah lingkungan dan sosial, bentuk-bentuk pariwisata ini sering kali terjebak dalam logika pasar yang sama dengan pariwisata massal. Misalnya, ekowisata, yang seharusnya melindungi alam, justru sering kali menjadi alat untuk mengkomodifikasi sumber daya alam demi keuntungan ekonomi.

Neoliberalisme juga telah mengurangi kemampuan masyarakat lokal untuk mengontrol dan memanfaatkan pariwisata di wilayah mereka. Globalisasi pasar pariwisata sering kali menguntungkan perusahaan besar, sementara masyarakat lokal hanya menjadi penonton. Hal ini menciptakan ketimpangan yang semakin lebar antara pemilik modal dan masyarakat setempat.

Di sisi lain, dominasi paradigma dan model ekonomi politik neoliberal -melalui orkestrasi lembaga-lembaga internasional seperti UNWTO dan WTTC-, mereduksi pariwisata menjadi sekadar industri yang melayani kepentingan bisnis. Dominasi ini mengaburkan kapasitas sosial pariwisata (tourismas a social force) sebagai alat untuk mempromosikan kesetaraan, keberlanjutan sosial-ekonomi-lingkungan, serta peningkatan kualitas hidup dan hak asasi manusia (HAM).

Justru, klaim bahwa pariwisata adalah hak asasi manusia kerap dikritisi sebagai narasi gegabah yang dibingkai oleh logika neoliberal. Klaim ini dianggap lebih mengutamakan kebebasan korporasi untuk meraup keuntungan dari mobilitas wisatawan, alih-alih memastikan kebaikan bagi masyarakat di destinasi wisata. Oleh karena itu, gagasan pariwisata sebagai hak asasi tidak bisa diterima begitu saja sebagai sesuatu yang secara otomatis membawa kebaikan.

Lebih jauh, catatan kritis terhadap paradigma neoliberal mengungkap relasi paradoksal antara pariwisata dan HAM. Di satu sisi, ada hak setiap orang untuk berwisata, yang didukung oleh hak atas waktu luang dan kebebasan melakukan perjalanan. Di sisi lain, ada hak-hak masyarakat lokal, seperti hak atas pekerjaan dan upah layak, hak atas air, tanah, serta lingkungan yang sehat. Kedua hak ini sering kali berbenturan, menciptakan dualisme dan potensi konflik yang melekat dalam industri pariwisata. Berbagai laporan dari organisasi dan akademisi telah membuktikan bahwa pelanggaran HAM dalam konteks pariwisata adalah nyata.

Pariwisata sebagai Alat Kapitalisme

Selain tantangan yang dibawa oleh neoliberalisme, pariwisata juga merupakan bagian dari sistem kapitalisme global, dan sekaligus menjadi alat untuk mempertahankan sistem tersebut. Secara sederhana, kapitalisme adalah sistem ekonomi di mana kepemilikan modal (uang, alat produksi, aset) berada di tangan individu atau perusahaan swasta, bukan negara.

Dalam kapitalisme global, mekanisme ini berlaku lintas batas negara, memungkinkan perpindahan modal, barang, dan jasa secara bebas di seluruh dunia. Kapitalisme memiliki kontradiksi internal, yaitu antara keinginan untuk menghasilkan keuntungan dan kebutuhan untuk memastikan bahwa produksi dapat dikonsumsi. Pariwisata, dengan sifatnya yang fleksibel dan mampu menciptakan pasar baru, menjadi salah satu cara untuk mengatasi kontradiksi ini.

Misalnya, pariwisata internasional dapat dilihat sebagai spatial fix (perbaikan spasial) yang memindahkan modal ke lokasi baru untuk menghindari kejenuhan pasar. Sementara itu, pariwisata yang menjual pengalaman sesaat, seperti pariwisata massal, dapat dilihat sebagai temporal fix (perbaikan temporal) yang mengurangi waktu perputaran modal. Dengan cara ini, pariwisata membantu kapitalisme untuk terus bertahan dengan menciptakan pasar dan peluang investasi baru (bandingkan misalnya dengan program 10 Bali Baru).

Namun, pertumbuhan pariwisata yang terus-menerus juga memiliki batasan, terutama dalam hal keberlanjutan lingkungan. Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan untuk kepentingan pariwisata dapat menyebabkan kerusakan ekosistem yang tidak dapat diperbaiki. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan baru yang tidak hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada keberlanjutan sosial dan lingkungan.

Hukum Progresif sebagai Solusi

Untuk mengatasi tantangan tersebut, hukum kepariwisataan yang progresif perlu dirancang agar melampaui fungsi regulatif konvensional. Hukum ini harus menjadi instrumen transformatif yang mampu mengakomodasi perubahan sosial dan memberikan keadilan substantif bagi masyarakat di destinasi. Beberapa prinsip kunci perlu diintegrasikan ke dalam kerangka hukum tersebut. Pertama-tama, hukum harus memastikan bahwa manfaat ekonomi dari pariwisata didistribusikan secara merata kepada seluruh lapisan masyarakat, terutama masyarakat lokal yang sering kali termarginalisasi dalam pembangunan pariwisata. Hal ini penting untuk mengurangi kesenjangan sosial dan memastikan bahwa pembangunan pariwisata benar-benar membawa kesejahteraan bagi masyarakat setempat.

Selain itu, hukum juga harus menjamin bahwa aktivitas pariwisata tidak melebihi daya dukung lingkungan dan tetap melindungi keanekaragaman hayati. Pariwisata yang berkelanjutan harus memprioritaskan pelestarian alam sebagai fondasi utama, sehingga generasi mendatang dapat terus menikmati kekayaan alam Indonesia. Prinsip lain yang tak kalah penting adalah perlindungan dan penguatan identitas budaya masyarakat setempat. Budaya lokal bukan hanya aset pariwisata yang vital, tetapi juga bagian dari jati diri bangsa yang harus dijaga. Hukum harus memastikan bahwa pembangunan pariwisata tidak mengikis nilai-nilai budaya, melainkan justru memperkuatnya.

Partisipasi aktif masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan, perencanaan, dan pengelolaan destinasi wisata juga menjadi hal yang krusial. Keterlibatan masyarakat tidak hanya akan meningkatkan rasa kepemilikan, tetapi juga memastikan bahwa kebijakan dan program pariwisata benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mereka. Terakhir, hukum harus menciptakan mekanisme akuntabilitas yang kuat bagi pelaku usaha pariwisata. Mereka harus bertanggung jawab atas dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas mereka. Sistem pemantauan dan pelaporan yang efektif perlu diterapkan untuk memastikan bahwa praktik-praktik pariwisata tetap sejalan dengan prinsip keberlanjutan dan keadilan sosial.

Pelajaran dari Negara Lain

Beberapa negara telah menerapkan pendekatan progresif dalam hukum kepariwisataan mereka. Selandia Baru, misalnya, telah mengembangkan kerangka Tourism 2025 & Beyond yang menekankan pada keberlanjutan, pelibatan masyarakat Maori, dan pembagian manfaat yang adil. Undang-undang mereka memberikan perlindungan khusus bagi hak-hak masyarakat adat dan lingkungan alam.
Kosta Rika juga menjadi contoh sukses dengan sistem sertifikasi pariwisata berkelanjutan (CST) yang diatur dalam undang-undang mereka. Sistem ini mendorong pelaku usaha pariwisata untuk mengadopsi praktik ramah lingkungan dan bertanggung jawab secara sosial. Hasilnya, Kosta Rika menjadi destinasi ekowisata terkemuka yang mampu mempertahankan 25% wilayahnya sebagai kawasan konservasi.

Bhutan, dengan kebijakan High Value, Low Impact Tourism yang diatur secara hukum, menunjukkan bahwa pembatasan jumlah wisatawan dan penerapan biaya wisatawan harian dapat menjaga keseimbangan antara manfaat ekonomi dan pelestarian budaya serta lingkungan. Model ini memungkinkan Bhutan untuk mengembangkan pariwisata tanpa mengorbankan nilai-nilai tradisional dan alam mereka.

Menuju Pariwisata Berkeadilan dengan Hukum Progresif

Memperhatikan perkembangan pembahasan RUU Kepariwisataan dan belajar dari pengalaman negara lain, DPR dan Kementerian Pariwisata perlu mempertimbangkan beberapa rekomendasi konkret dalam mewujudkan hukum progresif di bidang pariwisata:

Pertama, Pemberdayaan Masyarakat Lokal. Masyarakat lokal harus diberikan ruang dan kesempatan untuk mengelola destinasi wisata mereka sendiri. Dengan begitu, mereka tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga dapat menikmati manfaat ekonomi secara langsung. Pendekatan ini memperkuat posisi masyarakat, sekaligus memastikan bahwa pembangunan pariwisata tetap selaras dengan nilai-nilai lokal. Di Thailand, model Community-Based Tourism Network telah berhasil menciptakan lebih dari 200 desa wisata yang dikelola sendiri oleh masyarakat, dengan dukungan kerangka hukum yang memadai.

Kedua, Prioritas Pelestarian Lingkungan dan Budaya. Setiap proyek pariwisata harus mematuhi standar ketat yang menjamin keberlanjutan ekologis dan perlindungan budaya. Destinasi wisata yang mengandalkan keindahan alam dan kekayaan budaya harus dijaga agar tidak rusak akibat eksploitasi berlebihan. Dengan demikian, pariwisata dapat menjadi alat untuk melestarikan, bukan merusak, warisan alam dan budaya Indonesia. Sistem eco-tax seperti yang diterapkan di Kepulauan Baleares, Spanyol, dapat menjadi contoh cara mengumpulkan dana untuk upaya konservasi.

Ketiga, Regulasi Bisnis yang Lebih Ketat. Keterlibatan perusahaan/bisnis perlu diatur dengan lebih tegas. Perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia harus menghormati hak-hak masyarakat lokal dan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan. Perancis misalnya, telah menerapkan Corporate Duty of Vigilance Law yang mewajibkan perusahaan besar untuk mengidentifikasi dan mencegah pelanggaran HAM dalam operasional mereka, termasuk di sektor pariwisata.

Keempat,PeningkatanPartisipasiPublik. Masyarakat lokal perlu dilibatkan secara aktif dalam proses pengambilan keputusan terkait pariwisata. Mekanisme partisipasi yang bermakna akan memastikan bahwa suara dan kepentingan masyarakat setempat didengar dan dipertimbangkan. Hal ini penting untuk menghindari konflik dan memastikan bahwa pembangunan pariwisata benar-benar bermanfaat bagi semua pihak. Australia telah mengembangkan model konsultasi wajib dengan masyarakat adat dalam pengembangan pariwisata di wilayah tradisional mereka.

Kelima,PengembanganPariwisataSosial. Bentuk-bentuk pariwisata yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi, tetapi juga pada peningkatan kesejahteraan sosial dan lingkungan, harus didorong. Misalnya, pariwisata yang melibatkan kegiatan sosial, pendidikan, atau pelestarian lingkungan dapat menjadi alternatif yang lebih berkelanjutan dan beretika. Uruguay telah berhasil mengembangkan program Social Tourism yang memberikan akses liburan bagi kelompok berpenghasilan rendah, sambil menciptakan lapangan kerja di sektor pariwisata sepanjang tahun.

Pada akhirnya, penyusunan ulang Undang-Undang Kepariwisataan adalah kesempatan emas untuk menciptakan kerangka hukum yang lebih progresif. Dengan mengadopsi prinsip-prinsip hukum progresif dan belajar dari praktik terbaik global, Indonesia dapat membangun industri pariwisata yang tidak hanya menghasilkan keuntungan ekonomi, tetapi juga melindungi lingkungan, memuliakan masyarakat lokal, dan mempromosikan keadilan sosial.

Singkatnya, hukum yang progresif adalah hukum yang dapat menjinakan neoliberalisasi dan kapitalisme sekaligus mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat di destinasi, terutama bagi mereka yang terpinggirkan akibat kepariwisataan. Dengan pendekatan yang tepat, UU Kepariwisataan yang baru dapat menjadi tonggak penting dalam transformasi pariwisata Indonesia menuju model yang berkelanjutan, berkeadilan, dan menguntungkan semua pihak.