Oleh Valensius Ngardi
Berawal dari reuni sederhana bersama para katekis muda (baca: mantan Mahasiswa), alumni STK St. Yakobus di salah satu kafe Pantai Buti Merauke, penulis selama 1 jam mendengar sharing mereka bagaimana perjuangan guru agama yang berkarya di dunia pendidikan di Merauke (Propinsi Papua Selatan) ; yang tidak hanya sekedar menstranver pendidikan agama kepada peserta didik di kelas, akan tetapi guru agama hadir di berbagai aspek masalah sosial dan budaya baik di lingkungan menggereja, masyarakat maupun di dunia pendidikan.
Salah satu yang mencuri perhatian penulis ketika mendengar sharing dari seorang guru yang bernama Ofni Oktavianus, S.Ag. Dia adalah alumni dari lembaga STK. St Yakobus 2013, dimana ketika diangkat menjadi pegawai ASN oleh pemda, dia langsung jatuh cinta di sebuah tempat yang bukan pilihan favorit bagi rekan seperjuanganya. Guru kelahiran Menado ini, dengan penuh semangat siap melaksanakan tugas, tanpa memikirkan kondisi apa yang terjadi di tempat tersebut. Mendengar kisahnya, membuat penulis segera menerima tawaran untuk mengunjung sekolahnya. Akhirnya Sabtu, 15 hingga 16 Februari 2025 saya bersama dua guru bertolak ke daerah tersebut dengan penuh semangat.
Kondisi Geografis-Sosial
Setelah penulis menyelusuri SDN Nggolar, yang terletak di Distrik Merauke, Papua Selatan menghadapi tantangan besar dalam memberikan pendidikan yang layak kepada siswa-siswinya. Jarak yang jauh, akses yang terbatas, serta infrastruktur yang minim menjadi hambatan utama bagi keberlangsungan proses belajar-mengajar. Sekolah ini hanya memiliki tiga ruang kelas yang mengharuskan beberapa kelas digabungkan, dan jumlah siswa yang terbatas, sekitar 90 anak. Fenomena tersebut, mencerminkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat setempat, yang jauh dari rasa kenyamanan dalam menikmati pendidikan saat ini.
Pak Ofni, bersama rekan guru lainya dengan penuh kreatif untuk mengajar anak-anak di tempat ini. Untuk kelas 1,2, 3 digabung menjadi 1 kelas. Yang diutamakan dalam kelas pemula ini adalah masalah bagaimana anak-anak untuk bisa menulis, membaca dan menghitung. Sedangkan untuk pendidikan agama ditempatkan di hari khusus selama satu minggu mengajar. “Mereka kadang-kadang tidak bawa alat-alat tulis ke sekolah bahkan diawal pelajaran banyak siswa yang mengantuk dan terasa lelah, karena di pagi hari belum tentu orang tuanya membekali dengan sarapan sebagaimana kebiasaan kita pada umumnya”. Ucapnya dengan nada sedih. Mayoritas penduduk beragama Katolik, mereka berasal dari Suku Marind Kimam. Aktivitas untuk menunjang ekonomi keluarga seperti memancing, berburu, dan berkebun menjadi pekerjaan utama mereka.
Para Pendidik seringkali merasa kesulitan untuk tinggal dalam jangka panjang di daerah tersebut, karena kondisi kehidupan yang cukup menantang. Perbincangan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh SDN Nggolar merupakan representasi sekolah lain di daerah pendalaman lain di Papua. Melihat situasi krusial ini sangatlah penting perhatian terhadap pendidikan di daerah terpencil, sekaligus menjadi PR besar dan tantangan bagi pemangku pejabat, masyarat dan para pemerhati pendidik di daerah ini. Pak Ofni tak bosan-bosan selalu memberi motivasi buat rekan pendidik muda lainya, agar tetap bertahan dalam situasi tersebut. Bahkan dengan rela hati rumah dinas yang tempatinya diberikan kepada guru lain, agar bisa tinggal di sekolah tersebut. “Warga di sini baik sekali, saya dibuatkan rumah khusus dan diberi sebidang tanah sebagai tanda bahwa mereka membutuhkan saya untuk mendidik anak-anak mereka di tempat ini” kata ketua pelayan gereja ini dengan semangat.
Secara georgrafis, sebenarnya tidak terlalu jauh dari Kota Merauke. Lokasi daerah ini, hanya di batasi oleh sungai Maro. Namun secara umum dipandang sebagai Sekolah Dasar Negeri Nggolar berada di daerah terpencil di Distrik Merauke, yang jaraknya kurang lebih sekitar 8 kilometer dari kota Merauke, justru jarang dilirik sebagai tempat untuk menguji mental para pendidik. Alasanya juga menjadi sebuah fakta yang tidak bisa dihindari oleh siapa saja mau datang di tempat ini yakni akses jalan berlumpur, kehidupan di tengah hutan dan jauh dari akses belanja rumah tangga dan lain sebagainya.
Berdasarkan pengalaman yang dirasakan penulis, pada kenyataan bahwa akses menuju sekolah ini memerlukan perjalanan panjang dengan menggunakan kendaraan bermotor dari Mereuke dan dilanjutkan dengan berjalan kaki sejauh 1 kilometer menuju pangkalan speedboat di Sungai Nggolar. Meskipun perjalanan sungai cukup singkat, tantangan tidak berhenti sampai di sana. Setelah turun dari speedboat, dilanjutkan perjalanan melalui area berlumpur yang memerlukan usaha ekstra. Bagi penulis, keadaan ini mencerminkan kesulitan yang dihadapi oleh penduduk dan guru dalam mencapai dan mempertahankan keberadaan pendidikan di daerah tersebut. Ibu Nona, salah satu rekan guru yang menemani petualangan kami, selalu menghibur penulis, saat kaki masuk ke dalam lumpur setinggi lutut orang dewasa tetap dengan semangat bercerita dalam perjalanan. Sebagai Katekis inilah misi yang harus mereka nikmati, karena ia juga sudah mengalami jauh lebih parah di daerah Muting pendalaman Papua Selatan, dimana ia menjadi guru agama dan guru kelas sebelum diangkat menjadi kepala sekolah di distrik Kumbe, Merauke. Bagi penulis peristiwa ini adalah sebuah momen yang indah dan sebagai pengalaman spiritual dalam menemukan kebaikan Allah dalam segala hal di Kampung Nggolar.
Siapa Yang Bertanggungjawab?
Selama semalam suntuk dari jam 20.00 – 24.00. WIT, kami tidak pernah habis berdiskusi tentang pendidikan di tempat ini. Beberapa warga (kepala Kampung) ikut menimbrung obrolan kami, sekaligus menyelesaikan persoalan nama peserta didik yang tidak muncul dapodik. Karena Kepala Kampung merubah nama anak sekolah berdasarkan marga tanpa berdiskusi dengan pihak sekolah. Selain itu juga tidak ketinggalan perbincanngan masalah perkawinan diusi muda, pilihan nama baptis dan juga keprihatinan pak Guru agama tentang umat yang enggan ke gereja di hari Minggu. Belum lagi orang tua tidak mau mengantar anaknya ke sekolah, sehingga Pak Ofni yang selalu menjemput di rumah mereka sekalipun dengan pendekatan kekerasan konteks kultur masyarakat stempat.

Berdasarkan diskusi penulis dengan Pak Ofni dan ibu Nona, ada beberapa hal yang penulis temukan permasalahan di SDN Nggorar. Pertama, dengan hanya tiga ruang kelas yang digunakan untuk berbagai tingkat pendidikan, serta jumlah penduduk yang terbatas dan sebagian besar bergantung pada pekerjaan serabutan, kualitas pendidikan di Sekolah Dasar Nggolar menjadi isu yang perlu perhatian. Kondisi sosial yang menantang serta ketidaksesuaian antara harapan pendidikan dan kenyataan di lapangan seringkali membuat para guru merasa tidak betah untuk tinggal dalam jangka panjang. Dalam situasi seperti ini, penting bagi pemerintah dan pihak terkait untuk mencari solusi agar pendidikan dapat lebih berkembang dan memberikan manfaat yang lebih besar bagi anak-anak di daerah tersebut. Dan untuk guru, siap menerima kenyataan dan bertanggungjawab atas pilihanya, terutama ia ada di sana karena murid. Dengan kata lain dia mendapat gaji karena ada anak-anak yang berhak mendapat imbalan dari sang pendidik. Motivasi menjadi guru perlu direnung lagi sehingga tidak mengecewakan masyarakat.
Kedua, peningkatan infrastruktur aksesibilitas. Pemerintah perlu memperhatikan pengembangan infrastruktur yang menghubungkan Sekolah Dasar Nggolar dengan kota Merauke dan sekitarnya. Penyediaan jalan yang lebih baik dan transportasi yang lebih efisien, baik melalui perbaikan jalan darat maupun penambahan fasilitas transportasi sungai yang lebih teratur, akan mengurangi kesulitan dalam perjalanan para guru dan siswa menuju sekolah. Jika memungkinkan, pembangunan akses jalan sepanjang tahun akan sangat membantu. Selain itu, untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, perbaikan dan perluasan ruang kelas sangat penting. Pemerintah perlu mendukung pembangunan fasilitas pendidikan yang layak, seperti ruang kelas yang memadai pada umumnya. Ini akan membantu meningkatkan kualitas pendidikan dan memberi ruang bagi anak-anak untuk belajar dengan lebih nyaman.
Tiga, pengadaan sumber daya manusia (Guru) yang berkualitas dan bertahan lama. Program insentif atau tunjangan bagi guru yang mengajar di daerah terpencil seperti Nggolar dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan motivasi dan retensi mereka. Selain itu, pemerintah dapat memperkenalkan program pelatihan khusus untuk guru agar mereka lebih siap menghadapi tantangan mengajar di daerah dengan akses terbatas. Program rotasi dan dukungan komunitas lokal juga penting untuk mendukung kesejahteraan guru. Mengingat jarak yang jauh dan keterbatasan fasilitas, penyediaan alat pembelajaran yang memadai seperti buku, perangkat teknologi pendidikan, dan media pembelajaran digital dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Pemerintah bisa mendorong penerapan e-learning atau pembelajaran jarak jauh dengan menggunakan teknologi yang dapat menjangkau daerah terpencil seperti Nggolar.
Program Pemberdayaan Masyarakat
Selain itu, mengingat mayoritas penduduk bekerja dalam sektor pertanian tidak tetap (no maden) dan perikanan rawa (sungai) program pemberdayaan masyarakat yang berfokus pada peningkatan keterampilan atau ekonomi keluarga dapat mendukung keberlanjutan pendidikan. Kolaborasi antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat setempat akan menciptakan suasana yang lebih baik bagi anak-anak dalam memperoleh pendidikan yang berkualitas. Pemerhati pendidikan (baca: pengawas sekolah) perlu lebih aktif dalam memantau kondisi sekolah di daerah terpencil, baik dari sisi pembangunan fisik maupun kualitas pengajaran. Menjalin komunikasi yang lebih erat dengan masyarakat dan kepala sekolah setempat untuk menanggapi kebutuhan dan keluhan dapat membantu menemukan solusi yang lebih tepat. Hal ini juga penting untuk memastikan bahwa dana pendidikan digunakan secara efisien dan tepat sasaran.
Hal yang tidak kalah penting adalah meningkatkan fasilitas kesehatan di sekitar sekolah dan area pemukiman juga menjadi langkah yang penting. Penyediaan fasilitas medis sederhana ditempat ini sudah ada. Seperti Puskesmas atau Posyandu akan mendukung kesejahteraan siswa dan masyarakat, yang pada gilirannya berdampak pada fokus dan kualitas pendidikan yang diberikan, namun dalam faktanya belum memadai dalam segi pelayanan dan fasilitasnya. Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan Sekolah Dasar Nggolar dan sekolah-sekolah di daerah terpencil lainnya dapat berkembang lebih baik, memberikan kesempatan pendidikan yang setara, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.
Bersama Membangun Harapan
Berdasarkan yang saya amati di daerah ini rata-rata adalah para pendidik yang berusia muda. Para pendidik yang berkerja di sini bisa dkatakan sebagai pahlawan sejati dalam dunia pendidikan, terlebih di daerah-daerah yang penuh tantangan. Meskipun perjalanan yang mereka (baca: guru) tempuh tidak mudah, setiap langkah yang guru ambil memberikan dampak besar bagi masa depan anak-anak. Dengan dedikasi dan cinta terhadap profesi, para pendidik tidak hanya mengajar, tetapi juga membangun karakter, memberi harapan, dan membuka dunia bagi generasi muda di kampung Nggolar.
Pendidikan yang guru berikan di sekolah ini adalah sebagai pondasi bagi masa depan yang lebih baik. Harapanya dengan penuh cinta dan totalitas meneruskan berbagi ilmu dengan semangat, karena apa yang guru-guru tanamkan dalam hati anak-anak di Kampung Nggolar akan tumbuh menjadi perubahan yang luar biasa.Hanya lewat pendidikan akan meretas berbagai diskriminasi sosial di negeri ini. Jika anak-anak di Kampung Nggolar dididik dengan tulus dan holistik akan menjadi peserta didik yang memiliki potensi luar biasa. Walaupun perjalanan menuju sekolah mungkin penuh tantangan (jalan berlumpur dan rawa), harapannya setiap usaha dan perjuangan baik guru maupun murid-muridnya, yang mereka lakukan bisa dibilang sebagai investasi untuk masa depan yang cerah. Maka litani merasa kelelahan dalam proses belajar mengajar tiap hari hanyalah kegelisahan yang tidak dapat menyelesaikan persoalan di Kampung Nggolar. Ilmu itu mahal. Karena ilmu yang diberikan oleh para guru adalah kunci untuk membuka dunia yang lebih luas, memberikan kesempatan, dan mengubah hidup anak-anak menjadi lebih baik. Ibarat belajar itu seperti menanam benih. Mungkin hari ini anak-anak belum melihat hasilnya, tetapi dengan waktu dan usaha, suatu hari nanti peserta diri di disini dikemudian hari akan menuai buahnya. Semoga mottto semangat, memantik untuk teruslah belajar dengan hati yang penuh harapan.
Selain itu masyarakat memiliki peran yang sangat besar dalam menciptakan lingkungan yang mendukung pendidikan. Dukungan dan partisipasi aktif dari keluarga dan komunitas akan memberikan dorongan yang kuat bagi anak-anak untuk terus mengejar impian mereka. Mari kita jaga bersama semangat gotong royong dalam membangun masa depan yang lebih baik, karena pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Pendidikan bukan hanya tugas guru, tetapi tugas kita masyarakat (keluarga) sebagai pendidik pertama dan utama. Setiap tantangan yang ada hanya sementara, dan setiap langkah kecil yang kita ambil akan membawa perubahan besar. Dengan semangat yang tak kenal lelah, keyakinan pada pendidikan, dan dukungan satu sama lain, kita bisa menciptakan dunia yang lebih adil dan penuh kesempatan. Jangan pernah berhenti berusaha, karena masa depan dimulai dari langkah yang kita ambil hari ini.
Perbaikan Gizi Mandiri
Meskipun program dari pemerintah tentang Makan Bergizi Gratis (MBG), hanya sebuah bayangan semu dan impian semu di tempat ini, Pak Ofni dengan inisiatif memasak bubur kacang hijau di setiap hari jumat. Kegiatan ini tidak tetap, tergantung finansial yang disedikan olah Pak Ofni. Berdasarkan observasi penulis, sepertinya masalah gizi buruk dan gejala stunting di daerah seperti Nggolar memang sangat memprihatinkan, karena kondisi ini berdampak langsung pada perkembangan fisik dan kognitif anak-anak, serta mempengaruhi kemampuan mereka dalam mengikuti proses pembelajaran dengan baik tiap hari.
Jika melihat situasi ini terjadi setidaknya para pemangku dalam hal ini dinas pendidikan dan kesehatan, dapat melaksanakan program pemberian makan sehat untuk anak-anak di sekolah. Program pemberian makanan sehat di sekolah (School Feeding Program) semacam program yang bertujuan untuk memastikan setiap anak mendapatkan makanan yang cukup dan bergizi, baik itu melalui bantuan makanan siap saji atau kerjasama dengan pihak ketiga seperti lembaga sosial. Sekali lagi mungkin mustahil terjadi di Sekolah Negeri Nggolar. Barang kali pihak sekolah dan masyarakat bisa berkerja sama dengan organisasi sosial atau lembaga swadaya masyarakat. Usaha untuk menggandeng pihak luar yang peduli terhadap masalah gizi dan stunting untuk membantu memberikan bantuan pangan bukan mustahil terjadi. Tanah di kampung ini bisa mengoptimalkan untuk memanfaatkan sumber daya lokal; seperti umbi-umbian dan ikan dari sungai. Menggunakan bahan makanan lokal yang mudah didapat dan terjangkau, seperti sayuran dari kebun masyarakat setempat, ikan, atau bahan-bahan lokal yang kaya nutrisi bisa terjadi bila mana program pendidikan gizi kepada orang tua dan masyarakat setempat menjadi sebuah program unggulan dari sekolah dan pemerintah.. Dengan mengadakan seminar atau pertemuan dengan orang tua dan masyarakat setempat untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya asupan gizi yang cukup, pola makan seimbang, dan manfaatnya bagi tumbuh kembang anak, meskipun dalam konteks Nggolar dapat mengolah dari sumber alam yang ada d itempat ini. Memberikan informasi tentang cara memasak makanan yang bergizi menggunakan bahan yang mudah ditemukan di sekitar mereka, dengan tetap memperhatikan faktor keberlanjutan dan biaya rendah.
Akhirnya semoga pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan sektor swasta dapat bekerja sama untuk mengatasi masalah gizi ini. Pemberian bantuan berupa makanan bergizi, serta pelatihan dan edukasi kepada orang tua dan masyarakat, dapat membantu meningkatkan kualitas hidup dan pendidikan anak-anak.Pendidikan bukan hanya tentang apa yang diajarkan di sekolah, tetapi juga tentang bagaimana kita membentuk masa depan mereka dengan memberi mereka tubuh yang sehat dan pikiran yang cerdas. Anak-anak yang sehat akan lebih siap untuk belajar dan mengejar impian mereka. Dengan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan sekolah, kita bisa mengatasi masalah kekurangan gizi dan stunting, serta menciptakan masa depan yang lebih cerah bagi anak-anak di Nggolar.**
Penulis adalah mantan dosen STK St.Yakobus, Guru KPG Kolose Khas Papua Selatan (2007-2010)