Jakarta, detak-pasifik.com- Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia pada Senin, 24 Februari 2025, mengambil keputusan penting terkait permohonan perselisihan hasil pemilihan umum bupati (PHPU Bup) Kabupaten Belu. Dalam perkara dengan nomor 100/PHPU.BUP-XXIII/2025, MK memutuskan untuk tidak menerima permohonan dari pasangan calon bupati dan wakil bupati nomor urut 2, Taolin Agustinus-Yulianus Tai Bere, yang mengajukan sengketa terkait kelayakan calon wakil bupati nomor urut 1, Vicente Hornai Gonsalves.
Pemohon dalam kasus ini mendalilkan bahwa Vicente Hornai Gonsalves tidak memenuhi persyaratan calon kepala daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada). Dugaan tersebut berkaitan dengan masa lalu Vicente yang pernah terlibat dalam tindak pidana melarikan anak di bawah umur pada 2003, yang kemudian mengarah pada vonis penjara selama 11 bulan pada 17 Januari 2004.
Namun, dalam putusannya, Ketua MK, Suhartoyo, yang didampingi oleh delapan Hakim Konstitusi lainnya, menegaskan bahwa permohonan yang diajukan oleh Pemohon tidak dapat diterima.
“Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” tegas Suhartoyo saat membacakan putusan di Ruang Sidang Pleno, Gedung I MK, Jakarta.
Tindak Pidana yang Tidak Berkaitan dengan Kekerasan Seksual Anak
Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dalam pembacaan pertimbangannya, menjelaskan bahwa meskipun Vicente Hornai Gonsalves pernah dijatuhi hukuman pada tahun 2004 karena melanggar Pasal 332 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ia dinilai tidak bersalah atas tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak. Pasal 332 ayat (1) KUHP mengatur tentang kejahatan terhadap kemerdekaan orang, khususnya kasus pemerkosaan atau pemaksaan orang untuk melarikan diri. Namun, tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak diatur dalam bab yang berbeda, yaitu Bab XIV yang mengatur Kejahatan Terhadap Kesusilaan.
Dengan demikian, Mahkamah berpendapat bahwa tuduhan yang diajukan oleh Pemohon tidak relevan karena kasus yang melibatkan Vicente Hornai Gonsalves tidak terkait langsung dengan tindak pidana kekerasan seksual anak. Sebagaimana dijelaskan lebih lanjut oleh Arief, meskipun Vicente dihukum berdasarkan Pasal 332 KUHP, tindakannya tidak dapat disamakan dengan kekerasan seksual terhadap anak yang diatur dalam pasal-pasal khusus mengenai kekerasan seksual di KUHP dan UU Perlindungan Anak.
Lebih lanjut, Vicente Hornai Gonsalves juga telah mengungkapkan statusnya sebagai mantan narapidana secara terbuka. Dalam formulir pernyataan surat rekomendasi catatan kriminal yang dikeluarkan oleh Kepolisian Resor Belu, calon wakil bupati tersebut dengan jelas mencatatkan bahwa dirinya pernah dihukum pada tahun 2004 dan kasus tersebut sudah diputuskan di Pengadilan Negeri Atambua. Hal ini menunjukkan bahwa proses verifikasi terkait calon kepala daerah sudah dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keberatan utama yang diajukan oleh pihak Pemohon adalah bahwa Vicente Hornai Gonsalves tidak memenuhi syarat pencalonan, mengingat latar belakang pidana yang melibatkan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak. Namun, pendapat ini dibantah oleh Yafet Yosafet Wilbel Rissy, seorang ahli hukum yang dihadirkan sebagai pihak terkait dalam perkara ini.
Yafet, yang juga merupakan Guru Besar Universitas Ilmu Hukum Kristen Satya Wacana (UKSW), menjelaskan bahwa kasus yang menjerat Vicente Hornai Gonsalves bukanlah tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Atambua Nomor 186/PID/B/2003/PN.ATB, Vicente dijatuhi hukuman karena melarikan perempuan di bawah umur, yang diatur dalam Pasal 332 ayat (1) KUHP. Pasal ini mengatur tentang perampasan kemerdekaan orang, bukan tentang kekerasan seksual.
Sebaliknya, tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak, seperti pemerkosaan, pencabulan, dan persetubuhan, diatur dalam Pasal 287 hingga Pasal 295 KUHP, serta diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Menurut Yafet, jelas bahwa tindak pidana yang menimpa Vicente Hornai Gonsalves tidak sama dengan tindak kekerasan seksual terhadap anak yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan tersebut.
Setelah mendengarkan pertimbangan dari berbagai pihak, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa tidak ada dasar hukum yang cukup untuk membatalkan pencalonan Vicente Hornai Gonsalves sebagai calon wakil bupati Kabupaten Belu. Penilaian ini didasarkan pada fakta bahwa proses pengusulan calon, pemeriksaan bakal calon, hingga penetapan calon telah sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, permohonan yang diajukan oleh pasangan calon bupati dan wakil bupati nomor urut 2, Taolin Agustinus-Yulianus Tai Bere, untuk mendiskualifikasi calon wakil bupati nomor urut 1, Vicente Hornai Gonsalves, tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi.*
(JP)