Nil sine numini = Tiada Ada TanpaNya

Adapun, pesan terakhirnya dalam homili Pesta Paskah, Paus Fransiskus menandaskan: Kristus hidup, hadir di tengah kita, dan ingin dijumpai. Iman Paskah membuka pintu harapan baru: Tuhan telah mengalahkan maut dan membawa terang ke dalam kegelapan kita.

IMG 20241213 WA0009 e1734058644679
Pius Rengka. Dok. dp

Oleh Pius Rengka

Nil sine numini. Tak ada yang dapat terjadi tanpa kehendak Ilahi. Maka benarlah renungan Socrates filsuf nan agung tanpa meniggalkan catatan itu: “Ketika aku menemukan kehidupan, kutemukan bahwa akhir kehidupan adalah kematian, tetapi ketika aku menemukan kematian, aku pun menemukan kehidupan abadi. Karena itu, kita harus prihatin dengan kehidupan dan bergembira dengan kematian. Kita hidup untuk mati, dan mati untuk hidup”.

Lima belas abad setelah suara Sokrates membekas di langit dan lorong-lorong Athena, ketika ia memilih racun sebagai jalan pulang ke keabadian demi membela kebenaran, seorang pemikir dari Abad Pertengahan duduk bersila di hadapan zaman yang gelap, tetapi penuh hasrat akan cahaya. Dialah Thomas Aquinas, sang doktor agung, yang melalui mahakaryanya Summa Theologiae merajut kembali benang-benang renungan klasik, tidak langsung dari Sokrates, tetapi dari muridnya yang paling cemerlang, Aristoteles.

Dalam hening malam penuh doa dan meditasi, Aquinas menatap cakrawala akhir manusia, kematian, bukan sebagai noktah, melainkan sebagai pintu yang mengarah pada terang yang kekal (at lumen). Ia bertanya, seperti Sokrates pernah bertanya, adakah makna di balik kefanaan ini? Dan ia menjawab dengan iman nan teguh yang dipertajam akal sehat nan agung: ya, hidup setelah kematian bukan sekadar harapan, melainkan kepastian yang dapat dijangkau oleh nalar.

Ia menawarkan lima jalan bagi jiwa-jiwa yang mencari cahaya: Pertama, tentang gerak. Setiap benda yang bergerak, katanya, pasti digerakkan oleh sesuatu. Namun, rantai itu tak mungkin tanpa pangkal. Maka harus ada satu Penggerak yang tidak digerakkan oleh apapun. Penggerak Pertama, Allah.

Kedua, tentang sebab dan akibat. Dunia ini bagaikan rangkaian panjang domino, satu menyentuh yang lain, dan terus demikian. Tapi rangkaian itu tidak bisa mundur tanpa henti. Harus ada satu Sebab yang tak disebabkan, dan itulah Allah.

Ketiga, tentang keberadaan. Ada hal-hal yang mungkin ada dan bisa juga tiada. Tetapi, jika segala sesuatu bersifat mungkin, maka takkan ada yang sungguh-sungguh ada. Maka harus ada sesuatu yang wajib ada, keberadaan yang mutlak, yakni Allah.

Keempat, tentang nilai. Kita menilai segala sesuatu berdasarkan tingkatan, lebih baik, lebih luhur, lebih benar. Tetapi, penilaian itu mensyaratkan adanya tolok ukur tertinggi. Maka harus ada Kebaikan Mutlak, Kebenaran Paripurna, yakni Allah.

Kelima, tentang keteraturan alam. Dunia ini teratur, seperti simfoni yang digubah tanpa cela. Dari bintang-bintang di langit hingga semut-semut di tanah, segalanya menuruti suatu rancangan. Maka harus ada Perancang Agung, Penata Tertinggi, yakni Allah.

Dengan lima jalan itu, Aquinas menuntun kita tidak hanya untuk percaya, tetapi untuk mengerti: bahwa kehidupan tak berhenti pada liang kubur, karena ada Cinta Pertama yang menanti di seberang waktu, yang adalah asal mula, tujuan akhir, dan alasan segala sesuatu.

Kini, hidup tidak hanya dihidupi karena manusia dan alam semesta seisinya telah diberi hidup, tetapi hidup yang pantas dan patut agar manusia pantas hidup dan berguna bagi semua hal termasuk alam karena itu dia patut.

Maka kabar Paus Fransiskus mangkat pun cepat meluas. Otoritas kepausan Vatikan Roma secara resmi mengabarkan bahwa Senin pagi, pukul 07.35 waktu setempat dari Casa Santa Marta Vatican, 21 April 2025, mengabarkan Paus Fransiskus wafat dalam usia 88 tahun di kediamannya di Casa Santa Marta, Vatikan.

Pada pukul 09.45 pagi, Kardinal Kevin Farrell, Kamerlengo dari Kamar Apostolik, mengumumkan wafatnya Paus Fransiskus dari Casa Santa Marta: “Saudara-saudari terkasih, dengan kesedihan yang mendalam saya harus mengumumkan wafatnya Bapa Suci kita, Fransiskus. Pada pukul 07.35 pagi ini, Uskup Roma, Fransiskus, telah kembali ke rumah Bapa. Seluruh hidupnya didedikasikan untuk pelayanan kepada Tuhan dan Gereja-Nya. Ia mengajarkan kita untuk hidup dalam nilai-nilai Injil dengan kesetiaan, keberanian, dan kasih universal, terutama bagi yang termiskin dan tersisih. Dengan rasa syukur yang mendalam atas teladannya sebagai murid sejati Tuhan Yesus, kita menyerahkan jiwa Paus Fransiskus kepada kasih-Nya yang tak terbatas dan penuh belas kasih, kepada Allah Tritunggal Yang Esa”.

Paus Fransiskus sempat dirawat di Rumah Sakit Poliklinik Agostino Gemelli pada hari Jumat, 14 Februari 2025, setelah beberapa hari menderita bronkitis. Kondisi klinis Paus Fransiskus kemudian memburuk bertahap, dan pada Selasa, 18 Februari, dokter mendiagnosis pneumonia bilateral. Setelah 38 hari dirawat di rumah sakit, Paus kembali ke kediamannya di Casa Santa Marta untuk melanjutkan pemulihan.

Pada tahun 1957, saat masih berusia 20-an, Jorge Mario Bergoglio menjalani operasi di tanah kelahirannya, Argentina, untuk mengangkat sebagian paru-paru yang terkena infeksi saluran pernapasan yang parah.

Seiring bertambahnya usia, Paus Fransiskus kerap mengalami gangguan pernapasan, bahkan membatalkan kunjungan yang telah direncanakan ke Uni Emirat Arab pada November 2023 akibat flu dan peradangan paru-paru.

Pada April 2024, mendiang Paus Fransiskus menyetujui edisi terbaru buku liturgi untuk upacara pemakaman Paus, yang akan menjadi pedoman dalam Misa pemakamannya yang hingga kini belum diumumkan. Edisi kedua Ordo Exsequiarum Romani Pontificis memperkenalkan beberapa unsur baru, termasuk tata cara penanganan jenazah Paus setelah wafat. Penetapan kematian dilakukan di kapel, bukan di kamar tempat beliau wafat, dan jenazahnya langsung ditempatkan dalam peti mati.

Menurut Uskup Agung Diego Ravelli, Master Upacara Apostolik, mendiang Paus Fransiskus telah meminta agar ritus pemakamannya disederhanakan dan lebih menekankan pada iman Gereja akan Tubuh Kristus yang Bangkit.

“Ritus yang diperbarui ini, berusaha menekankan bahwa pemakaman Paus Roma adalah pemakaman seorang gembala dan murid Kristus, bukan melulu seorang tokoh berkuasa di dunia ini,” kata Uskup Agung Ravelli.

Adapun, pesan terakhirnya dalam homili Pesta Paskah, Pau Fransiskus menandaskan: Kristus hidup, hadir di tengah kita, dan ingin dijumpai. Iman Paskah membuka pintu harapan baru: Tuhan telah mengalahkan maut dan membawa terang ke dalam kegelapan kita.

Pada konteks Tahun Yubileum ini pun menjadi undangan untuk memperbarui harapan, membagikannya kepada sesama, dan mempercayakan masa depan pada kasih Allah. Paus menutup dengan ajakan penuh semangat: “Bersama-Mu, ya Tuhan, segalanya menjadi baru. Segalanya dimulai kembali”.

Menyusul kabar Paus Fransiskus wafat, gelombang reaksi datang dari berbagai penjuru dunia, tokoh bangsa manca negara dan tokoh politik dan ilmuwan dari aneka latar belakang sosial dan strata sosial. Presiden RI, Prabowo Subianto, menyampaikan belasungkawa dan mengulangi makna kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia tahun lalu. Mencontohi kesederhanaannya, kepeduliannya yang sangat tinggi pada kaum miskin yang terpinggirkan, dan terutama sikap Paus Fransiskus terhadap lingkungan alam dan seisinya.

Maka, detakpasifik.com mempersembahkan sebaris catatan lirih—bukan sekadar tulisan, tetapi sebuah ziarah batin. Sebuah upaya merenungi dan merefleksikan misteri terbesar dalam kehidupan: kematian. Di balik keheningan yang sering kita hindari, di balik kepulangan yang tak pernah kita jadwalkan, terdapat sebuah ruang diam yang mengundang kita untuk masuk, duduk, dan diam dalam contemplatio.

Catatan ini, yang pernah disampaikan kepada semesta melalui media Facebook pada tanggal 22 April 2025, kini kembali hadir, tidak dalam bentuk prosa yang padat, melainkan dalam balutan puisi, sebagaimana mestinya sebuah renungan tentang kefanaan. Ia lahir dari perenungan atas kebijaksanaan seorang filsuf agung, Sokrates, yang justru menjadikan kematian bukan sebagai lawan hidup, tetapi sebagai jalan pulang menuju kearifan tertinggi. Hidup yang tidak mati-mati lagi. Hidup kekal tanpa perlu harapan dan tiada desah nan resah dari gelapnya kehidupan.

Melalui bait-baitnya yang tenang, tetapi mengguncang cakrawala, catatan ini mengajak kita semua untuk sejenak berhenti dari derap harian, mengaso sejenak dari naluri serakah yang tak pernah berhenti, dan naluri iri dengki yang tak berkesudahan lantaran tamak akan kuasa dan rebutan kuasa untuk menatap dalam-dalam ke dalam diri sendiri serta ke kedalamannya, dan bertanya seperti Sokrates: apakah kita telah sungguh hidup? Karena pada akhirnya, catatan ini bukan untuk kematian itu sendiri, tetapi untuk hidup, ya untuk hidup yang dijalani dengan kesadaran bahwa segalanya sementara, dan justru karena itu, segalanya berharga dan kita tidak perlu lagi bertanya di ruang kesudahan.

Tiada Ada TanpaNya
(Terinspirasi dari “Nil sine numine”)

Di ujung senyap sebelum fajar,
Saat dunia belum bernyawa,
Ada bisik yang tak bersuara
NafasNya menyentuh semesta.

Langit tak membiru tanpa izin,
Awan tak menari tanpa restu,
Daun gugur, angin pun bersalin,
Semuanya tunduk, patuh satu.

Langkah manusia, rencana besar,
Gelisah, cinta, tawa, dan luka
Bukan hadir karena kebetulan,
Namun tanda dari Yang Maha Kuasa.

Tiada cahaya tanpa pijarNya,
Tiada hari tanpa iramaNya,
Sebab di balik yang fana dan nyata,
Bersemayam kehendak Yang Esa.

Maka berjalanlah dengan sadar,
Bahwa hidup ini bukan semata,
Segalanya, besar, kecil, benar.
Terjadi karena kuasaNya semata.

Vaya condios Paus Fransiskus.