Oleh Pius Rengka
Dalam diam laut menyimpan rahasianya, ombak mengantarkan kisah yang tak pernah kita duga. Begitu pula nasib seorang pemimpin yang telah menorehkan jejak panjang dalam sejarah Timor Tengah Utara (TTU). Seutas tali kisah panjang tentang manusia yang berguna.
Raymundus Sau Fernandes, nama yang pernah menggema di pelosok desa dan kota, kini telah berpulang ke alam baka dalam cakrawala pelukan gelombang yang tak bertepi. Sunyi, senyap, hening dan pergi untuk selamanya dalam selimut diam sempurna.
Pada tahun 1999, Raymundus terpilih sebagai anggota DPRD TTU dan menjabat sebagai Wakil Ketua. Ia kemudian menjabat sebagai Wakil Bupati sebelum akhirnya terpilih sebagai Bupati TTU. Raymundus menjabat Bupati TTU dua periode, dari 2010 hingga 2021.
Masa jabatannya berakhir 17 Februari 2021, dan posisi tersebut sementara diisi oleh Fransiskus Fay sebagai Pelaksana Harian Bupati hingga pelantikan bupati terpilih berikutnya. Raymundus memulai karier politiknya dengan bergabung dan memimpin Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di TTU. Setelahnya, ia menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai NasDem Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Orangtua Raymundus, Yakobus Fernandes (85) dan Margaretha Manhitu (80), dikenal karena kesederhanaan mereka. Meskipun anak mereka menjabat sebagai bupati, mereka tetap berjualan sayur-mayur di pasar. Atas dedikasi dan kemandirian mereka, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan penghargaan kepada mereka sebagai orangtua yang berhasil mengasuh anak dengan baik, menjadi inspirasi bagi orang tua lainnya.
Saya ingat persis seketul peristiwa kecil tetapi penting. Ray sangat ingin menjadi Calon Gubernur dari PDIP. Tetapi, dia dihadang oleh kepentingan berbeda. Setelah itu, dia mengundang saya bertemu di sebuah rumah makan ikan tak jauh dari Kantor DPD NasDem Provinsi.
Dalam perbincangan itu, dia meluapkan semua kemarahannya terutama kepada sistem rekruitmen pencalonan gubernur di PDIP. Lalu, dia berniat keluar. Ia ingin bergabung dengan partai politik yang melawan siapa pun kandidat Gubernur dari PDIP kala itu.
Saran saya ringkas saja. “Adinda tidak perlu mundur dari PDIP. Betapa pun PDIP membutuhkan orang sekelasmu. Partai politik itu sekadar lorong kecil untuk perjuangan besar, karena yang lebih besar dari partai itu adalah substansi perjuangan melawan penderitaan rakyat, ketidakadilan sosial,” ujar saya ringkas sambil kami berdua menikmati ikan kerapu bakar dan kuah asam khas rumah makan itu. Ia bimbang, tetapi masih berang.
Seminggu berselang, saya mendengar dia bergabung dengan kekuatan calon NasDem, Bung Viktor Bungtilu Laiskodat, ketika saat itu saya berada di barisan depan pencalonan Beny K. Harman sebagai calon Gubernur NTT.
Dua periode ia memimpin TTU dengan penuh keteguhan. Dari ladang-ladang yang merekah dalam musim kemarau hingga jalan-jalan yang berdebu di kaki bukit, ia melangkah, membawa harapan bagi rakyat yang percaya pada setiap janji yang ia titipkan. Ia bukan sekadar bupati, bukan pula sekadar pemimpin partai, tetapi seorang penggerak, pejuang dan petarung ulung yang pernah kukenal yang datang dari kelas menengah bawah. Orang sekals dia tidak banyak di tanah penuh duka ini.
Ia seorang anak tanah Timor yang mengerti denyut derita dan impian kaumnya. Kaum tertindas yang ditindas oleh sejarah penjang negeri ini, sejarah gerah gerak para pecundang, dan juga kelakuan politisi yang penuh muslihat dengan aneka dekil manipulasi dan korupsi.
Ia lahir dari rahim kesederhanaan, dari orang tua yang tetap berjualan sayur di pasar, meskipun anaknya telah menjadi orang nomor satu di daerah itu. Kesederhanaan yang tidak hanya melekat dalam darahnya, tetapi menjadi falsafah hidup yang ia genggam erat hingga tampak di kebun miliknya. Di bawah kepemimpinannya, TTU bukan sekadar daerah administratif, tetapi rumah bagi mereka yang menginginkan perubahan.
Namun, sejarah takdir adalah sebuah arus yang tidak dapat dihentikan entah oleh siapa dan dengan cara apa. Laut, yang selama ini menjadi saksi bisu perjalanannya, kini justru menjadi tempat peristirahatan terakhirnya.
Kecelakaan yang merenggutnya dari dunia ini bukan sekadar akhir sebuah perjalanan, tetapi sebuah tanda bahwa kehidupan adalah titipan, bahwa setiap langkah adalah bagian dari mozaik yang lebih besar, yang tak kita ketahui ujungnya. Yang kita tahu dan mahfum, Tuhan tahu, tetapi Dia tidak menyahut.
Kini, di antara riuh angin yang melintasi pegunungan Timor, namanya akan terus terpatri dalam ingatan rakyatnya. Tidak lagi dalam bentuk perintah atau pidato, tetapi dalam kenangan mereka yang pernah mendengar suaranya, merasakan kebijakannya, dan menyaksikan langkah-langkahnya.
Raymundus Sau Fernandes telah berpulang, namun kisahnya tak akan sirna. Seperti tanah yang terus subur oleh hujan, seperti laut yang terus berbisik dalam kesunyian malam, namanya akan tetap hidup dalam narasi panjang Timor Tengah Utara. Selamat beristirahat Saudaraku dalam kedamaian yang abadi.
Tak seorang jua pun dapat memanggilmu pulang ke haribaan ladang perjuangan antara yang amat sangat sementara di negeri yang serba antah berantah ini. Ray kini dikau sedang menuju cahaya sejati, Ad lumen. Omnia humana brevia et caduca sunt = semua yang manusiawi itu pendek dan akan lenyap.