“Aku mengasihi mereka yang mencintai Aku dan mereka yang mencari Aku dengan tekun, menemukan Aku.” – (Amsal 8:17).
Oleh P. Kons Beo, SVD
Hidup dalam takaran
Di zaman yang serba kompleks ini, sepertinya kita sudah punya banyak tuntunan untuk lebih melangkah maju. Orientatif, kreatif, produktif, alternatif adalah litani kata yang bermakna ‘maju dan berkembang’. Dan manusia itu sudah dinilai dari tolok ukur produk, jumlah atau sekian banyak dari ‘apa yang dihasilkan’.
Tak disangkal jika data-data yang ditatap masih dalam porsi minus bisa jadi pemicu gangguan pikiran. Pun bisa bikin hati tak nyaman. Terasa lebih mencekam lagi andaikan para pematok target tetap tembakan peluru-peluru desakan.
Sejatinya, tak ada yang salah dari dinamika hidup atas satu base on target. Manusia mesti ditakar dalam kaplingan waktu yang ditentukan. Dan terlebih dalam isi yang sepantasnya dihasilkan.
Ketika tak jauh dari target
Jika tidak demikian, andai tak ada limit waktu, dapat dibayangkan betapa hidup itu bagaikan layang-layang. Yang bergerak ‘kiri-kanan’ semaunya. Hanya searah dan seirama hembusan angin. Suka-sukanya sendiri.
Target isyaratkan syarat-syarat yang mesti dilewati. Semuanya demi satu pencapaian. Dan syarat-syarat itu tentu tak membebani dan apalagi menekan. Ia hanya menuntut irama hidup penuh disiplin. Tentu dalam koridor kesetiaan dan pengorbanan pula. Andai sebaliknya? Kegagalan jadi tak terhindarkan.
Terdapat seruan keras Rasul Paulus. Ia tujukan kepada jemaat di Tesalonika, “Kami katakan ini karena kami dengar, bahwa ada orang yang tidak tertib hidupnya dan tidak bekerja melainkan sibuk dengan hal-hal yang tidak berguna.” (1Tes 3:11).
Paduan antara yang kuantitatif dan yang kualitatif
Hidup yang tak terukur tentu jadi tantangan yang tidak kecil. Itulah jalan hidup tanpa tupoksi. Yang selalu jauh dan menghindar dari job description. Sebab pembagian tugas terasa sangat mengikat. Sementara yang diinginkan adalah ‘sibuk dengan hal-hal yang tidak berguna’.
Ciri kuantitatif dalam hidup memang berarti. Bagaimanapun akan terasa komplet bila dilengkapi dengan segala yang bercitra kualitatif. Yang ditakar dalam mutu pasti dikaitkan dengan jumlah. Tetapi bahwa hitungan jumlah mesti memancarkan pula adanya kualitas internal serentak eksternal yang mumpuni.
Ironi kerohanian dalam tatanan praksis
Mari bicara pula tentang alur kerohanian. Kita sempitkan saja alur itu dalam doa, meditasi-kontemplasi, rekoleksi, hal-hal liturgis-sakramental hingga pada alam devosional. Tidakkah antara ‘jumlah’ dan ‘mutu hidup’ sering terjadi tabrakan yang sengit?
Kerohanian yang ditakar dalam jumlah ‘doa-renungan, kehadiran dalam acara rohani bersama, dan seterusnya’ sering bukanlah jadi jaminan mutlak orang bersikap hidup nan elegan. Sebab, yang ‘rajin ke gereja hari Minggu’ pun tetap tak luput dari kebiasaan sosok sana-sini, bikin onar dan gemar bakalai dengan tetangga, misalnya.
Yang bertubi-tubi berikan tips-tips jalan hidup rohani pun terkadang jauh jalan hidupnya sendiri dari apa yang diutarakannya. Ini bukanlah satu keheranan. Ini pun dapat dibandingkan dengan seorang pelajar teologi, apakah dalam praksis keseharian ia sungguh luput dan bebas murni dari gelora ‘ateis praktis?’
Terperangkap dalam pusaran kerohanian
Siapa pun bisa saja percaya diri bahwa telah temukan oase kerohanian. Namun, yang tetap direguk kosong seungguhnya hanyalah fatamorgana kerohanian itu sendiri. Lukisan-lukisan kontradiktif, ironi atau paradoksal dalam kehidupan tetaplah jadi lalu lintas penuh sesak. Terdapat kemacetan dan tumpang tindih antara ide dan fakta dalam diri.
Menariklah apa yang dilukiskan berikut ini, “Kita bisa berpikir bahwa kita memiliki banyak, padahal sebenarnya tangan kita kosong. Kita merasa diberkati, padahal kita telah kehilangan anugerah Allah yang besar. Kita merasa kuat, padahal kita hanya terbuai oleh kekuatan kita sendiri. Kita gagal memiliki kekuatan untuk melayani, dan merendahkan diri.” (Dare to Journey with Henri Nouwen, 2000).
Satu ziarah spiritual pribadi
Siapa pun, kini, dapat mengembangkan apa yang disebut sebagai spiritualitas pribadi. Inilah jalan kerohanian penuh pertarungan untuk sampai pada Tuhan dan segala kehendak-Nya. Segalanya coba ditangkap dan dimaknai secara pribadi sejauh mana kehendak itu Tuhan mesti terjadi.
Dalam spiritualitas pribadi, segala daya rohani individu dipersubur dan diperkaya dalam menangkap makna hidup itu sendiri sebagaimana yang dikehendaki Tuhan.
Kerohanian pribadi yang benar pasti tidak ‘memakai atau mencatut’ nama, kuasa dan kehendak Tuhan demi membenarkan atau menebalkan apa yang jadi kemauan diri sendiri.
Petrus ditegur keras oleh Yesus, dan disebut-Nya sebagai iblis. Sebab Petrus jatuh dalam skandal yang bersarang pada ‘apa yang bukan dipikirkan Allah melainkan pada apa yang dipikirkan manusia’ – (Mat 16:23).
Kerohanian pribadi itu sejatinya adalah satu kerinduan pribadi untuk tiba pada ‘seluruh kehendak Allah’. Petrus pun diingatkan Yesus untuk tak boleh memakai jalan kekerasan. Pedang mesti disarungkan untuk tidak hasilkan darah dan kekerasan (cf Yoh 18:11).
Menggapai pancaindra Tuhan
Dalam kerohanian pribadi, pada puncaknya, segala pancaindra Tuhan coba dimiliki dan dipakai untuk memandang dunia, sesama dan alam lingkungan. Musa dipanggil dan diutus Yahwe untuk melihat derita Israel di bawah Firaun. Itulah derita Israel sebagaimana Yahwe sendiri telah melihatnya.
Sebab itulah, kerohanian pribadi diasumsi tidak sebagai usaha pribadi untuk tajamkan kemampuan diri pribadi tanpa cahaya roh, kekuatan firman, dan kasih Allah. Dalam cakap-cakap harian dapat tertangkap isi bicara: mana datang dari pengetahuan akan iman, dan manakah yang datang dari pengalaman di dalam iman.
Pengalaman akan Allah yang hidup
Bicara tentang konsep belas kasih Allah tentu berbeda dengan sebuah share mengenai kisah kasih Allah yang sungguh menyapa diri dan pengalaman hidup setiap kita. Sudah teramat sering kita membaca tulisan saleh seputar kasih Allah yang menyapa. Namun, pengalaman akan kasih Allah adalah kedalaman kualitas kasih Allah itu yang sungguh menyapa secara pribadi.
Kekeringan rohani atau yang disebut alam padang gurun kebatinan pasti dihadapi oleh siapa pun. Kejenuhan untuk ‘tampil fisik dalam setiap kebersamaan rohaniah’ adalah kisah yang lumrah. Ini bukanlah skandal mahaberat.
Allah yang kurindu dan yang merindukanku
Bagaimanapun, titik api cinta dan kerinduan mestilah jadi satu harapan untuk pulang. Kerinduan untuk kembali didekap Tuhan mesti jadi satu ‘bunyi lonceng batiniah yang berdentang’.
Lukisan Mazmur terlalu indah untuk direnungkan, “Ya Allah, Engkaulah Allahku, aku mencari Engkau dengan sungguh-sungguh. Jiwaku haus akan Engkau, tubuhku rindu kepada-Mu, seperti tanah kering dan tandus tanpa air” (Mzm 63:2).
Spirit hidup yang meredup tentu akan tiba pada primavera (musim semi) dekapan kasih Tuhan. Dan semuanya hanya dimungkinkan dalam gemuruh ombak kerinduan. Dan bukankah kerinduan itu biaskan pijar-pijar harapan?
Tetapi, tak pernah boleh dilupa, bahwa sesama seiman itu pun rindukan kita untuk kembali berkumpul dalam kebersamaan madah iman-harapan-kasih. Dan bahkan, tidakkah Tuhan pun menanti kita penuh kangen?
Akhirnya
Itulah Tuhan-Bapa penuh kasih, yang dilukiskan Yesus dalam rindu pulang si anak hilang, “Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hati oleh belaskasihan. Ayahnya berlari mendapat dia lalu merangkul dan mencium dia…” (Luk 15:20).
“Tuhan, Bapa mahapengasih, dari jauh tetap berdiri, dan selalu menanti kau kembali. Dalam kerinduan-Nya yang paling dalam.” Dan pasti ada ketikanya saat Tuhan berdendang, “Akhirnya, Kumenemukanmu.”
Verbo Dei Amorem Spiranti