Pancasila, seperti “semen” yang merekatkan.
Oleh Martinus Mitar, Ketua DPRD Kabupaten Manggarai Barat
Tulisan ini bermula dari diskusi pada 29 Oktober 2023 di beranda Rumah Jabatan Ketua DPRD Manggarai Barat. Saya berdiskusi dengan beberapa kawan muda yang berkunjung. Diskusi tematik semacam ini, biasanya berlangsung reguler, untuk merespon isu-isu sosial ekonomi politik lokal dan nasional yang sedang ramai menjadi pembahasan publik. Sari diskusi itulah yang saya tuangkan melalui tulisan berikut.
Belakangan ini, diskusi mengenai arti penting Pancasila dalam dan bagi kehidupan bangsa ini, kembali mengemuka. Banyak perspektif diajukan, tetapi semuanya mengerucut pada tiga sikap, yaitu menerimanya, menolaknya dan ada juga, yang ketiga, memproblematisirnya dengan “lagu”nya masing-masing -secara akademik ataupun nonakademik dan paham ideologis yang dianut dan pilihan posisi sosial politik yang ditempati.
Saya tidak akan masuk dalam konfrontasi perdebatan itu lebih jauh. Cuma pada kesempatan istimewa peringatan Hari Lahir Pancasila hari ini, saya merasa perlu berbagi secuil pikiran saya tentang ini di luar berbagai pemikiran “mapan” yang sudah diajukan, menurut bidang ilmu teknik arsitektur yang saya dalami.
Agar cepat masuk ke situ, maka Pancasila menurut saya adalah “semen” mahakarya pemikiran pendiri bangsa ini, Soekarno, yang selain menjadi proklamator kemerdekaan bangsa ini bersama Muhammad Hatta, juga adalah seorang insinyur teknik yang pola pikirnya pertama-tama dan yang paling utama adalah membangun sebuah bangunan yang kokoh kuat dan bertahan lama.
Kendati biografi-biografinya yang mungkin kita baca tidak banyak membahas ini, menurut saya pola pikir itu juga yang menurut saya tetap dibawa Soekarno sang insinyur itu ketika dengan sadar lebih memilih bidang politik pergerakan kemerdekaan sebagai jalurnya berkiprah dan berkontribusi bagi masyarakat yang lebih luas, ketimbang melalui bidang spesifik keteknikan yang terbatas.
Namun, jika bahan baku membangun sebuah bangunan seperti gedung, jembatan, jalan raya, bendungan irigasi dll, berasal dari suatu material yang kasat mata, soal yang dihadapinya saat itu, saya perkirakan adalah bagaimana mencari suatu yang fungsinya seperti “semen” merekatkan berbagai bahan material dalam pembangunan. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah menjaga bangunan “calon negara merdeka” yang diperjuangkan bersama kawan-kawannya saat itu.
Menemukan suatu yang serupa “semen” itulah yang saya kira menggerakkan seluruh energi pemikiran Soekarno sang pemimpin bangsa yang berpola pikir insinyur teknik selama ziarah perjuangannya memerdekakan bangsa ini. Untuk meringkas, sesuatu yang kini, saya kira menjadi keberuntungan historis bagi kita orang Flores adalah ilham apa yang bisa menjadi serupa semen itu persis turun di Ende Flores saat beliau dibuang Pemerintahan Kolonial Belanda sebelum ke Bengkulu.
Di bawah pohon sukun dan menghadap ke pantai yang sudah saya lihat sendiri cagarnya tempo hari itulah, saya kira turun ilham mengenai Pancasila sebagai sesuatu yang serupa semen bagi bangunan bangsa bernama Indonesia kelak. Pancasila menjadi semen yang merekatkan kebinekaan bahan-bahan penyusunnya (suku, ras, agama, etnis, pulau, dll) bisa ampuh dan awet dalam menjaga struktur yang kokoh dan kuat. Bangunan negara/bangsa Indonesia merdeka itulah yang merasuk ke kepalanya secara dalam saat beliau bermenung di bawah pohon sukun itu.
Untuk kembali ke bagian awal tulisan ini, maka bila ada yang harus dikatakan mengenai arti penting Pancasila bagi bangsa ini maka menurut saya yang pola pikirnya arsitektur keteknikan, penting juga melihatnya sebagai serupa semen dalam jalur berpikir Soekarno seorang insinyur teknik yang sudah saya lihat dan uraikan di atas.
Pikiran ini saya ajukan secara publik tentu untuk menambah terhadap yang sudah ada mengenai cara kita semua membaca dan memaknai arti penting Pancasila bagi Indonesia, kini maupun pada masa mendatang. Pola pikir Soekarno sang proklamator yang pada dasarnya adalah seorang sarjana teknik arsitektur dan Ende sebagai tempat historis bagi turunnya ilham itu di kepalanya.
Dengan itu, mendiskusikan relevansi hadirnya tetap penting pada setiap masa. Namun jika ada masih saja ada yang memproblematisirnya sebagai suatu yang sudah final, dan apalagi sampai ingin menggantikannya, maka itu sama saja dengan memukul-mukul semen bangunan rumah besar: tempat kita hidup bersama dalam kemajemukan sebagai satu negara-bangsa. Ketika semen itu runtuh maka bangunan itu roboh dan kita tidak punya lagi rumah induk untuk berteduh bersama-sama.
Tindakan itu tak ubahnya melepaskan benang-benang yang merajut baju ke-Indonesiaan yang kita kenakan sejak tahun Soekarno-Hatta memproklamasikannya pada tahun 1945. Ketika benang itu koyak, setiap elemen yang membentuk keutuhannya sebagai baju/pakaian pun terurai lepas tanpa bentuk dan setiap kita tidak lagi satu pakaian, pakaian Indonesia.
Semua itu akan sangat mengerikan jika sampai terjadi sehingga saya tak sanggup membayangkannya. Itu yang membuat saya berpikir sama halnya dengan NKRI, Pancasila juga adalah harga mati.
Entah bagaimana dengan Anda sekalian? Selamat Hari Lahir Pancasila dan salam sapu tangan.