Pancasila Rumah Kita

Img 20210330 Wa0001[1]
Fr. M. Yohanes Berchmans, Bhk, M.Pd

Oleh: Fr. M. Yohanes Berchmans, Bhk, M.Pd, Kepala SMPK Frateran Ndao

Refleksi Hari Lahir Pancasila

“Negara ini, Republik Indonesia, bukan milik kelompok mana pun, juga agama, atau kelompok etnis mana pun, atau kelompok dengan adat dan tradisi apa pun, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!” Soekarno

“Itulah konsep nasionalisme yang didirikan Indonesia. Bukan orang Jawa, bukan orang Sumatera, bukan orang Kalimantan, Sulawesi, Bali atau lainnya, tetapi orang Indonesia, yang bersama-sama menjadi fondasi satu kesatuan nasional.” Soekarno

Setiap tanggal 1 Juni bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila, yang merupakan dasar negara kita. Sangat menarik untuk kita menggali lebih mendalam mengenai Pancasila.

Nama ‘Pancasila’ sendiri berasal dari bahasa Sansekerta, yakni dari dua kata, ‘panca’ yang berarti lima dan ‘sila’ yang berarti prinsip atau asas. Kelima prinsip tersebut juga tercantum dalam paragraf ke-4 pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Adapun, lima prinsip utama yang menyusun Pancasila adalah sebagai berikut:

  • Ketuhanan Yang Maha Esa
  • Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
  • Persatuan Indonesia
  • Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
  • Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Namun, pertanyaannya adalah siapa yang memberi nama Pancasila? Mengapa dinamakan Pancasila? Lalu apa makna dari Pancasila itu? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, dapat dicari dari berbagai referensi. Dan yang memberi nama Pancasila adalah Bung Karno, salah seorang ‘the founding fathers.

Konon ceritanya, sekitar tahun 1934-1938 ketika Bung Karno diasingkan di Ende Pulau Flores, beliau merenung memikirkan nasib bangsa Indonesia. Di bawah pohon sukun yang berdiri menghadap ke laut adalah tempat yang digunakan Bung Karno untuk merefleksikan Pancasila, sekaligus merumuskan ide-ide besar termasuk ideologi Pancasila.

Dalam sebuah buku autobiografi Bung Karno, beliau mengatakan, “Di pulau bunga yang sepi tidak berkawan, aku telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya merenungkan di bawah pohon kayu. Ketika itu, datang ilham yang diturunkan oleh Tuhan mengenai lima dasar falsafah hidup yang sekarang dikenal dengan nama Pancasila. Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali tradisi kami jauh sampai ke dasarnya dan keluarlah aku dengan lima butir mutiara yang indah.”

Hal berikutnya adalah mengenai kata Pancasila. Awal mula kata ini terbentuk adalah dari sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berlangsung dari tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Kala itu, Bung Karno memberikan nama dari lima prinsip dasar negara dengan panca dharma. Tetapi menurut beliau itu tidak tepat. Setelah dibantu oleh teman yang merupakan ahli bahasa, muncullah nama Pancasila. “Panca berarti lima, dan sila berarti asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia,” papar Bung Karno kala itu.

Sedangkan makna Pancasila sebagai dasar negara adalah sebagai pedoman bagi masyarakat dan seluruh warga bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai dasar negara, maka Pancasila merupakan fondasi, ibarat rumah yang dibangun di atas cadas atau batu yang harus kokoh kuat dan bukan di atas pasir yang mudah runtuh.

Oleh karena itu, Pancasila sebagai rumah kita, harus kita jaga, kita rawat bersama, agar tetap awet, lestari, tak lekang oleh waktu, bersih dari kekotoran hati dan pikiran orang atau sekelompok orang yang ingin merongrong Pancasila. Apalagi, Pancasila diilhami oleh Tuhan sendiri melalui Bung Karno. Itu artinya, Pancasila bukan saja rumah kita, tetapi juga rumah Tuhan kita bersama.

Hal demikian tersirat dalam sila pertama Pancasila, yakni ke-Tuhan-an Yang Maha Esa. Bahwa walau kita berbeda satu dengan yang lainnya, atau berbhineka namun kita adalah tunggal (satu) yang terintegrasi dalam Pancasila, yang merupakan ilham dari Tuhan. Jika demikian, maka walau kita berbhineka, namun kita adalah satu keluarga di dalam Allah Yang Esa. Dengan demikian, menurut hemat saya, sila pertama Pancasila dapat menjiwai sila-sila yang lainnya, dalam relasi dengan sesama. Oleh karena itu, maka Pancasila akan bermakna sebagai rumah kita, manakala setiap warganya merasa at home di rumah atau negara atau bangsanya sendiri. Warga yang merasa at home, berarti dia yang menjadikan sesama saudaranya yang lain yang berbeda suku, agama dan budaya sebagai teman atau homo homini socius, dan bukan sebagai serigala yang harus dimangsa atau homo homini lupus.

Dieja lebih jauh, bahwa untuk melihat apakah Pancasila sebagai rumah kita memiliki fondasi yang kuat atau tidak, dapat dilihat dari cara hidup, cara bersikap, cara berperilaku, cara bertutur kata dan cara bertindak kita para warganya. Artinya Pancasila tidak hanya sekedar slogan atau retorika belaka, melainkan harus terpatri dalam diri kita para warganya, yang diungkapkan lewat cara hidup, cara bersikap, cara berperilaku, cara bertutur kata dan cara bertindak, yang mencerminkan manusia Pancasila. Sebab, sering kita mendengar slogan “Aku Pancasila, Aku Indonesia”, tetapi seringkali dalam hidup bersama sebagai warga bangsa, terlihat masih jauh dari ‘Manusia Pancasilais’, yaitu masih adanya saling bermusuhan, saling memfitnah, saling menghina, saling menghujat, berbasis agama, mengkritik yang destruktif, menganggap diri paling pintar, paling benar, selalu merendahkan dan melecehkan, anarkis, fanatik yang keblablasan, “membunuh” karakter, dan menzalimi sesama.

Klik dan baca juga:  Pelantikan Rikard Bagun dan Andreas Yewangoe Disambut Gembira Para Pengamat

Inilah sederetan potret perilaku anak bangsa yang tampak, yang selalu menghiasi media elektronik, media cetak dan media sosial. Dan kalau direnungkan dengan sungguh-sungguh, apa sebenarnya yang dicari kita manusia di dunia ini? Ingat dan sadari, bahwa hidup kita manusia di dunia ini hanya sementara saja. Dan manusia disebut manusia, karena kita hidup bersama dengan manusia yang lain. Dengan demikian, kalau kita hidup dengan binatang, maka kita bukan disebut sebagai manusia.

Manusia secara bahasa berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin), yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk yang berakal budi, yang membedakannya dari binatang. Maka, konsekuensi dari manusia yang memiliki akal budi adalah dia harus bertindak sesuai dengan akal budi dan hati nuraninya. Dengan akal budi dan hati nurani, dia (manusia) dapat membedakan mana yang baik, yang harus dilakukan dan mana yang tidak baik yang tidak perlu dilakukan. Dan jika tidak bisa membedakan antara yang baik dan yang tidak baik, maka dia bukanlah manusia, melainkan binatang.

Oleh karena itu, maka sebagai manusia Pancasila, kita harus bersama-sama menjunjung tinggi Pancasila itu, sebagai rumah kita bersama. Pancasila yang tersusun dari 5 sila, mau menunjukkan bahwa antara sila pertama sampai sila kelima, merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, dan kelima-nya sudah terintegrasi dalam satu kata yakni Pancasila itu sendiri. Itu artinya bahwa panca tidak akan bermakna tanpa sila. Dan sebaliknya sila takkan bermakna tanpa panca. Oleh karena itu, kitalah yang memberi makna pada Pancasila itu, ketika hidup kita mencerminkan manusia Pancasila, yang walau kita berbeda suku, agama dan budaya, namun kita adalah satu dalam rumah kita Pancasila. Dan, rumah kita Pancasila akan menjadi sangat indah, ketika semua perbedaan kita letakan pada mezbah Pancasila, dengan menempat sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa, diatas sila-sila yang lain. Oleh karena itulah, menurut hemat saya, mengapa sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa, ada pada urutan pertama. Sebab, dialah Tuhan yang menyatukan semua perbedaan yang ada. Dengan demikian, beda itu indah bagai mosaik dalam hidup berbangsa. Dan setiap perbedaan itu, sesungguhnya tidak untuk dipertentangkan melainkan harus dijadikan sebagai kekayaan bangsa.

Klik dan baca juga:  Pendidik yang Edupreneurship

Selanjutnya, sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila ini bermakna bahwa semua manusia sama dan sederajat dimata Tuhan. Inilah yang menjadi sifat keseluruhan manusia Indonesia. Sehingga, setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. Pelaksanaan kewajiban dan pemenuhan hak ini dijamin oleh negara. Dan dengan adanya sila kedua ini, masyarakat Indonesia diharapkan dapat hidup bersama dengan memperlakukan sesama dengan adil.

Lalu, sila ketiga, Persatuan Indonesia, yang bermakna walau kita berbeda, namun kita adalah satu rumah, yaitu Indonesia. Dengan demikian, setiap orang tidak melihat orang lain sebagai lawan lewat kacamata perbedaan latar belakang, melainkan melihat orang lain sebagai sesama satu bangsa. Jika sila ini telah dihidupi, persatuan dan kesatuan bangsa akan selalu didahulukan, maka perbedaan latar belakang tidak akan menjadi penyebab perpercahan.

Kemudian, sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, bermakna sebagai sendi utama demokrasi (dari bahasa Yunani) dari dua kata, yaitu demos (rakyat) dan cratein atau cratos (kekuasaan atau kedalautan) di Indonesia. Sila ini juga memiliki makna bahwa demokrasi di Indonesia berdasarkan atas asas kekeluargaan, dan musyawarah mufakat untuk mencapai suatu keputusan bersama.

Oleh karena itu, walau kekuasaan atau kedaulatan tertinggi ada pada rakyat, namun tidak dibenarkan untuk mau menang sendiri, merasa diri paling benar, dan tidak mau mendengarkan orang lain. Sila keempat juga, mau mengajak dan mengajarkan kita untuk selalu mendengarkan dan menggunakan hati tidak melulu menggunakan akal dan otot. Pendekatan hati (heart approach) sangat diperlukan, disaat akal tak berdaya.

Ingat, bahwa hati manusia adalah pusat perjumpaan manusia dengan Tuhan. Oleh karena itu, sangat penting merawat, menjaga hati agar tetap bersih dan tidak kotor, sehingga Tuhan mau bertahta dihati kita manusia. Jika setiap hati manusia menjadi istana Tuhan, maka akan berbuah kasih, damai, rukun, harmoni, akan ada ruang pengampunan dan saling memaafkan dengan tulus.

Sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, mengandung salah satu tujuan negara, yakni mewujudkan tatanan masyarakat yang adil serta makmur. Dan tugas ini, bukan hanya tugas pemerintah, tetapi tugas kita bersama, untuk saling berbagi, sesuai tugas dan peran kita masing-masing.

Saya teringat akan kata-kata dari mantan Presiden Amerika Serikat, John F Kennedy, yang pernah mengatakan, “Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu tetapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negaramu.” Kalimat tersebut sebenarnya kutipan dari filsuf Marcus Tullius Cicero, orator dan negarawan Romawi Kuno. Itu artinya bahwa kita boleh menuntut hak kita disatu sisi, tetapi kita juga memiliki kewajiban untuk memberikan keadilan dan kemakmuran bagi sesama, lewat cara hidup, cara bersikap, cara berperilaku dan cara bertindak kita yang baik. Jadi, tidak hanya tugas pemerintah atau tugas negara, tetapi juga tugas kita sebagai sesama warga negara.

Hal ini, hanya mungkin terjadi, jika semua warganya bersama sama menempatkan Pancasila sebagai nilai luhur bangsa dan fondasi bangunan NKRI. Oleh karena itu, empat pilar bangsa yakni Pancasila, UUD’45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika, yang di gagas oleh Taufik Kiemas saat menjabat sebagai ketua MPR periode 2009-2014, dipandang sangat penting bagi bangsa Indonesia dengan heterogenitasnya yang kompleks dan berpotensi disintegrasi yang tinggi.

Menurut data Kementerian Dalam Negeri (buku Statistik Indonesia 2018) pada tahun 20017, Indonesia terdiri dari 16.056 pulau dan sekarang sudah 17.000 ribu pulau. Di satu sisi keberagaman diatas merupakan anugerah yang harus disyukuri. Namun, disisi lain terdapat resiko bawaan (inherent risk) untuk tetap bisa menjaga kesatuan dan persatuan. Untuk itu, agar bangsa kita tetap hidup rukun damai, penuh kasih sayang, harmoni dan lestari, maka kita para warganya harus bersama sama menjaga dan menjaga bersama sama empat pilar kebangsaan, dengan Pancasila sebagai fondasi utama.

Klik dan baca juga:  Presiden Ajak Masyarakat Membumikan dan Aktualisasikan Nilai-nilai Pancasila

Jadi, ibarat membangun sebuah rumah, maka jika fondasinya kuat, kokoh, kuat, maka rumah itu tetap berdiri tidak mungkin roboh. Demikian juga bangsa dan negara kita akan kokoh kuat berdiri, jika warganya menjadi manusia Pancasila, yang berarti pula memiliki peradaban yang tinggi. Dengan demikian, tidak perlu ada imijinasi liar yang ingin mengganti Pancasila dengan ideologi di luar Pancasila.

Padahal, banyak negara-negara lain yang mengagumi negara Indonesia karena memiliki ideologi Pancasila. Oleh karena itu, sangat aneh rasanya jika banyak negara lain mengagumi Pancasila, sedangkan masyarakat Indonesia sendiri sebagian justru menolak dan tentunya akan mengakibatkan perpecahan. Padahal Presiden Joko Widodo mengatakan, hampir setiap pemimpin dunia, raja-raja, maupun perdana menteri yang ditemuinya selalu bertanya bagaimana resep menjaga persatuan dan kesatuan di Indonesia. “Jawabannya sederhana, karena Indonesia memiliki Pancasila. Sekali lagi Indonesia memiliki Pancasila, jangan lupakan ini,” kata Jokowi dalam pidatonya di acara Kongres Pancasila IX yang dilaksanakan di UGM, Yogyakarta pada Sabtu (22/7/2017).

Menurut Jokowi, negara-negara lain kagum dengan Pancasila karena bisa mempersatukan Indonesia yang terdiri dari 17.000 pulau, memiliki 714 suku dengan 1.100 lebih bahasa lokal. Pengalaman berkesan bagi Jokowi adalah saat ia bertemu dengan Presiden Afghanistan, Ashraf Gani. Kala itu, Presiden Ashraf mewanti-wanti Jokowi untuk mewaspadai perpecahan yang mengancam negara besar seperti Indonesia. Namun, Jokowi mengatakan pada Presiden Ashraf, ia tak mengkhawatirkan perpecahan, selama Pancasila jadi ideologi bangsa Indonesia. “Mereka sangat kagum bangsa kita Indonesia, 250 juta penduduknya, tetapi sampai saat ini, kita tetap bersatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” ujar presiden. Menurut Jokowi, Pancasila bukan hanya menjadi kebanggaan Indonesia, tetapi juga negara-negara lain.

Untuk itu, pada momen peringatan Hari Lahir Pancasila tanggal 1 Juni 2021 yang  mengusung tema “Pancasila Identitas Nyata Bangsa Indonesia”, maka kita mengejawantahkan Pancasila yang memuat sila: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dalam kehidupan kita bersama sebagai sesama anak bangsa, yakni dengan cara menghidupi kelima sila Pancasila itu dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga kita menjadi manusia Pancasila.

Saya akhiri dengan sebuah cerita sebagai refleksi:

“Ketika aku masih muda dan bebas berimajinasi tanpa batas, aku bermimpi mengubah dunia. Seiring dengan bertambahnya usia dan bijaksana, kutemukan dunia tidak akan berubah, karenanya ku ubah cara pandangku dan memutuskan untuk mengubah hanya negaraku saja. Ketika usiaku semakin senja, dalam satu upaya putus asa terakhir, kutetapkan untuk mengubah hanya keluargaku saja, orang-orang terdekatku, tetapi sayangnya mereka tidak menginginkan itu. Dan sekarang, saat aku berbaring di ranjangku, tiba-tiba aku tersadar: Jika aku terlebih dahulu mengubah diriku sendiri, maka aku akan memberi contoh dan itu mengubah keluargaku. Dari inspirasi dan dorongan mereka, kemudian akan mampu memperbaiki negeriku, dan siapa tahu, aku mungkin bahkan mengubah dunia.”

Ditemukan pada batu nisan, seorang Uskup Anglikan yang dimakamkan di Westminster Abbey pada tahun 1100 AD.