Sejarah penunjukan Anies Baswedan, bukan sejarah dadakan kemarin sore.
Oleh Pius Rengka
Riuh sekali. Partai NasDem, di Jakarta, pekan lalu, menentukan Anies Rasyid Baswedan sebagai calon presiden. Peristiwa itu, disambut khalayak dengan aneka riuh.
Padahal, bagi NasDem, penentuan Anies Baswedan sebagai calon presiden, bukanlah sebuah peristiwa sangat istimewa. Itu peristiwa amat sangat niscaya terjadi di dalam semua partai politik yang sehat (seharusnya begitu) tatkala ada kompetisi politik.
Penentuan Anies sebagai calon presiden bukanlah sebuah peristiwa dadakan, tanpa rencana, tanpa sejarah dan tanpa perhitungan rinci dan detail. Anies awal ditentukan melalui proses demokrasi internal partai dengan perhitungan politik multidimensional nan matang.
Namun, hal yang dianggap NasDem lumrah dan biasa-biasa saja itu, malah disambut khalayak ramai sangat luar biasa, dengan riuh gegap gempita ceritera. Sambutan ini dapat dicermati ke dalam sedikitnya dua blok besar yang ekstrem.
Blok pertama, menyambut pencalonan Anies Baswedan sebagai presiden adalah salah satu bentuk glorifikasi politik NasDem terhadap pentingnya harmonisasi politik multikultural di tanah air.
NasDem dinilai telah berhasil menjawabi dahaga khalayak ramai untuk menghentikan aneka anasir dan ekses yang mungkin timbul dari polarisasi ekstrem politik sektarianisme, devided government dan mobilisasi politik identitas yang pernah dialami dalam narasi sejarah politik elektoral di tanah air.
Blok pertama ini menyambut penunjukan Anies Baswedan sebagai cara paling moderat untuk mengabarkan ke khalayak ramai bahwa NasDem dari hari ke hari perjalanan politiknya bersiteguh dan bersikukuh pada pilihan politik pengutamaan politik kebangsaan di atas semua jenis anasir sektarianisme dan politik identitas.
Dari perspektif spektrum ideologis, NasDem selalu tampil sebagai inspirator politik tengah dan tetap teguh berada di tengah sambil terus mengajak semua elemen politik kiri atau kekiri-kirian dan politik ideologi kanan atau kanan-kekanaan mengalir ke tengah demi utuh kesatuan dan persatuan negara Republik Indonesia.
Blok politik pertama ini sangat yakin seyakin-yakinnya bahwa NasDem tidak berubah sikap sejak dari rajutan sejarah awal pendiriannya. Maka sikap blok politik ini kemudian disebut pro nasionalisme, pro politik moderasi dan pro politik perdamaian. Maka penunjukan Anies Baswedan sebagai calon presiden tidak lain dari deklarasi yang menegaskan politik kebangsaan multikultural.
Narasi blok politik pertama ini, memanggil warga negara memikirkan hal lebih penting dan luas dari sekadar sibuk mencakar pribadi Anies Baswedan dan serpihan pengalaman politiknya. Kelompok ini pun membuktikan sikap pro nasionalisme politik Anies Baswedan dengan tindakan Anies menyetujui pembangunan 30-an gereja dan tempat ibadah nonmuslim lain di DKI Jakarta yang, konon, belum pernah dilakukan gubernur mana pun sebelumnya.
Bagi kelompok ini, bukti yang ini meski belum cukup menyuarakan banyak hal, tetapi percikan bukti empirik tersebut telah membuktikan orientasi anasir nasionalisme politik atau politik kebangsaan Anies Baswedan.
Hal berbeda dengan kelompok blok kedua. Blok kedua, menyambut penunjukan Anies Baswedan dengan gempita relatif sama dengan blok pertama.
Bagi mereka, Anies Baswedan adalah representasi perkauman yang menegaskan politik identitas, politik sektarianisme yang dibangun di atas fondasi politik SARA (suku, agama, ras dan antargolongan).
Serangan politik ini tidak hanya dialamatkan kepada Anies Baswedan, tetapi melebar menyerang NasDem. Dikatakan, NasDem telah berubah sikap esktrem dan dramatis dari identitas politik kebangsaan ke politik sektarianisme dan bahkan memperkukuh sosok politik identitas.
Blok kedua ini mendaur ulang dan mengamplifikasi peristiwa tarung politik DKI Jakarta antara Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok versus Anies Baswedan. Anies dituding mengusung politik identitas dan mempertajam identitas politik garis serba keras yang dikeraskan dengan narasi-narasi kaum radikal pendukungnya.
Padahal semua juga tahu, bahwa untuk politik elektoral Jakarta, Partai NasDem adalah partai yang mempelopori pencalonan Ahok melawan Anies Rasyid Baswedan. Bagi NasDem, Ahok-lah tokoh yang cocok memimpin Jakarta. Bagi NasDem, memilih Ahok sama sekali tidak berarti NasDem membenci Anies atau sebaliknya.
Pencalonan Ahok sebagai Gubernur DKI, dibayangkan sebagai representasi yang menegaskan politik multikultural dan politik glorifikasi konstitusi.
Bahwa setiap warga negara berhak dicalonkan untuk menduduki posisi politik apa pun, dan apa pun mungkin latar belakang identitas terberi dan identitas kulturalnya. Memilih Ahok bagi NasDem adalah kesempatan emas untuk menyerukan ke bangsa ini bahwa negeri ini milik semua semua warga negara.
Ahok beretnis Tionghoa. Dia beragama Kristen. Ahok memiliki tiga minoritas. Minoritas etnik, minoritas agama, dan minoritas modal ekonomi. Partai NasDem tampil meyakinkan khalayak bahwa seluruh jenis minoritas bukanlah keutamaan dalam pilihan sikap politik NasDem.
Partai NasDem mengutamakan kepentingan kebangsaan di atas aneka renik kecil memikirkan identitas terberi dan identitas kultural itu.
Ahok dilahirkan sebagai orang Tionghoa sama sekali tanpa persetujuan Ahok pribadi. Ahok memilih Kristen sebagai agama tanpa mengusik lainnya.
Hal serupa dengan Anies Baswedan. NasDem tidak menjadikan agama, etnik dan kapasitas modal sebagai halangan pencalonan politik. Karena itulah NasDem adalah partai paling depan memimpin pencalonan Ahok di panggung politik Jakarta.
Sikap yang sama pun berlaku untuk Anies Baswedan. Dia beretnis Arab campuran Jawa. Dia dibesarkan dalam lingkungan Islam Jawa. Dia studi di UGM. Kampus prestisius di Indonesia yang menaruh hormat pada nasionalisme, dan multikulturalisme.
Perihal ini dapatlah dicontohi ketika UGM memilih Prof. H. Johannes (orang Rote – NTT) sebagai Rektor UGM.
Anies melanjutkan studi ke Amerika tempat dari mana dan di mana politik identitas tidak setajam dan segerah seperti di tanah air. Dia lebur di tengah rasionalitas ala Amerika.
Dia pun tinggal di keluarga Katolik. Dalam banyak urusan understanding, Anies Baswedan bertindak sebagai juru siar kebudayaan. Dia menjelaskan konteks multikultural di tanah air.
Dia pun menjelaskan bagaimana pandangan para bapak bangsa terhadap realitas multietnik di Indonesia. Hal ini dilakukan agar orang Amerika mengerti betul konteks konkret relasi sosial di tanah air.
Apa makna dari sekelumit penjelasan di atas? Penjelasan ringkas itu menegaskan kembali bahwa identitas terberi sesungguhnya sesuatu yang tak pantas diperdebatkan. Semua manusia di mana pun memiliki identitas terberi. Identitas terberi adalah produk Ilahi. Identitas terberi ialah warna kulit, jenis kelamin dan bentuk rambut.
Anda boleh saja bosan dengan jenis kelamin yang dimiliki sekarang. Tetapi, Anda akan sangat sulit mengubahnya atas nama melayani imajinasi yang mungkin berlari liar di kepala Anda.
Halnya persis berbeda dengan identitas kultural. Identitas kultural diproduksi oleh mesin relasi dan interaksi sosial. Identitas kultural dapat diganti dan diubah seturut imajinasi kontekstual yang disukai. Misalnya, agama. Agama itu salah satu produk identitas kultural yang sangat penting dan bernilai. Tetapi dalam banyak fakta, banyak orang ganti agama suka-suka.
Begitu pun ideologi politik. Ideologi politik adalah identitas politik. Identitas politik adalah produk ideal politik yang dibayangkan sanggup membawa masyarakat ke jalan yang baik dan benar.
Karena itu, di dunia ini ada banyak ideologi politik. Radikalisme, liberalisme, neoliberal, komunisme, nasionalisme, demokrasi, islamisme, katolikisme dan reaksionisme. Para penganutnya ada di banyak belahan dunia.
Semua jenis ideologi politik ini dipasarkan di pasar akbar ideologi di mana pun di seluruh dunia. Ideologi politik dipasarkan secara global dan masif sistematis. Satu hal yang dapat dijelaskan ialah bahwa semua identitas kultural itu dapat diubah dan dapat diganti.
Maka jelaslah, bahwa semua identitas terberi tak dapat diganti. Semua identitas kultural dapat diganti-ganti. Artinya semua identitas terberi adalah God made unchangeable. Semua identitas kultural adalah produk relasi sosial dan changeable.
Reaksi NasDem
Semua jenis komentar aneka warna ini disambut para aktivis NasDem dengan rasa syukur sekaligus haru. Syukur karena pilihan NasDem telah mengundang perhatian serius khalayak ramai dan setelahnya mengubah banyak pola gerakan politik di tanah air.
Haru dan iba karena ternyata, meski perjalanan sejarah kita rasa telah berlangsung lama, tetapi toh masih banyak sekali warga negara kita yang belum sanggup mengubah cara pikir, dan cara melihat realitas politik. Banyak di antara kita masih belum bergerak maju, belum move on.
Namun, NasDem menyadari identitas kultural pilihan politiknya sebagai institusi politik multikultural adalah sudah tepat. NasDem menghormati kepelbagaian sikap dan pilihan politik.
Para anggota Partai NasDem sangat keras menolak dan menegasikan aneka bentuk dan gerakan politik aliran, sektarianisme dan politik identitas kultural berbasis agama atau etnik. NasDem membuktikan sikap politiknya itu melalui seluruh perjalanan sejarahnya di tanah air.
NasDem telah berkali-kali membentuk, mengkulturkan, dan menarasikan politik kebangsaan. Kulturalisasi politik kebangsaan ditampakkan NasDem melalui konfigurasi politik nasional dan postur struktural pengurus di semua lini dan jenjang lembaga politiknya di tanah air.
Bagi NasDem penentuan Anies Baswedan sebagai calon presiden adalah amat lumrah. NasDem mengerjakan salah satu dari 13 fungsi partai politik. NasDem memaksimalisasi fungsi-fungsi partai politik modern.
Partai politik modern berfungsi melakukan recruitment politik. Wujud recruitment politik ialah candidacy yaitu mengusung kandidat politik (proposing candidate) dan menstimulasi pendapat umum (stimulating public opinion) agar rakyat dapat memilih orang yang telah terang, jelas dan tepat untuk menjadi pemimpin mereka. Karena itu, apa yang dilakukan NasDem tidak lebih dari mengerjakan fungsinya sebagai partai politik modern.
Sejarah penunjukan Anies Baswedan, bukan sejarah dadakan kemarin sore. Tetapi, Anies Baswedan dipilih melalui proses demokrasi sangat fair di internal partai sembari memperhatikan dan mempertimbangkan dengan amat sangat cermat realitas empirik opini publik yang terbaca melalui aneka lembaga survei credible di tanah air.
Tanggal 15-17 Juni 2022, di Jakarta, NasDem menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas). Hadir pada kesempatan itu, para pengurus partai NasDem, para anggota legislatif dari seluruh Indonesia.
10.000 peserta Rakernas. Kabarnya, inilah Rakernas partai politik paling semarak dalam sejarah Rakernas partai-partai politik di Indonesia.
Pengarahan Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh, tandas menegaskan lima hal keutamaan orientasi Partai Nasdem. Lima hal itu masing-masing:
Pertama, setiap warga negara berhak melakukan hak-hak politiknya.
Kedua, Partai NasDem menaruh hormat dan berpihak pada kenyataan sosial politik multikultural di Indonesia yang tampak melalui aneka identitas kultural dan identitas terberi.
Warga negara Indonesia terdiri dari beragam suku, agama, adat istiadat dan kebiasaan sosial. NasDem secara hukum dan moral wajib merawat kenyataan itu sambil terus menerus serius mengembangkan demokrasi, merawat kebersamaan, dan menjaga negara Republik Indonesia berdasarkan ideologi negara Pancasila.
Ketiga, Partai NasDem mendukung keamanan dan tata tertib negara berdasarkan konstitusi UUD 1945 hasil empat kali amandemen.
Keempat, NasDem mendukung para aktor politik multikultural. Kepada aktor yang didukung NasDem tidak boleh dipungut biaya. Partai NasDem antimahar politik. NasDem bukan pedagang cap partai politik.
Kelima, NasDem memelopori gerakan perubahan, restorasi sosial pembangunan di semua lini kehidupan sambil merawat harkat dan martabat bangsa dan negara Republik Indonesia.
Kepada para kader dan aktivis serta simpatisan Partai NasDem diingatkannya berkali-kali untuk selalu mengedepankan politik perdamaian, politik yang mengandung kehormatan diri dan senantiasa mencari dan menemukan solusi terbaik bagi kepentingan seluruh bangsa.
Surya Paloh menyerukan, proses politik wajib dianalisis secara akademik, karena politik itu perihal ilmu pengetahuan. Dalam melakukan evaluasi internal haruslah dicari titik kuat dan titik lemah organisasi, objektif menilai seluruh gerakan bukan berdasarkan pikiran negatif atau serba negatif.
Berdasarkan cermatan itu, Surya Paloh mengamanatkan agar proses demokrasi penentuan calon presiden dari NasDem, hendaknya bertolak dari sikap teguh dan final terhadap ideologi negara Pancasila, kelangsungan pembangunan negara, dan menjaga moralitas partai politik baik secara institusional maupun individual. Tiga syarat itu pun berlaku untuk calon presiden.
Berdasarkan arahan Ketua Partai NasDem itulah, 34 Dewan Pengurus Wilayah (DPW Partai NasDem) masing-masing secara berkelompok memikirkan, mendiskusikan dan menentukan calon presiden terbaik yang diusung, berikut alasan pengusungannya.
Hasil yang diiperoleh, adalah tiga besar calon presiden masing-masing Anies Baswedan, Ganjar Parnowo, dan Jenderal Andika. Perolehan tiga nama itu diproses secara demokratis, perdebatan internal yang sangat alot. Salah satu pertimbangan serius ialah unsur dinamika politik global dan kecenderungan hasil survei lembaga terpercaya.
Nama-nama lain yang disebutkan sporadis, antara lain, Khofifah Indar Parawansa, Jenderal Dudung, Erick Thohir, Sandiaga Uno, Rachmat Gobel, Viktor Bungtilu Laiskodat, Tuan Guru Bajang, Ridwan Kamil, Syahrul Limpo.
Tetapi meski sebaran banyak nama yang disebut, Rakernas Partai NasDem sepakat mengusung tiga besar nama calon presiden. Tiga besar nama calon presiden itu diserahkan kepada team advance khusus untuk mempertimbangkan satu dari tiga nama calon presiden tersebut.
Dengan menunjukkan proses demokrasi internal Partai NasDem itu, maka telah jelaslah bagi kita bahwa penentuan calon presiden Anies Baswedan pilihan NasDem, bukanlah penentuan dadakan.
Meski demikian, saya pun memahami mengapa NasDem tidak mengunggulkan dua nama lain yang mungkin diimajinasikan setiap kepala masyarakat pembaca.
Ganjar Pranowo dan Jenderal Andika akhirnya tidak dipilih bukan karena Ganjar dan Jenderal Andika terkena kategorisasi politik sektarian atau polarisasi identitas kultural, tetapi semata-mata karena mesti ada satu calon yang dipilih dari tiga kemungkinan yang terbaik untuk kepentingan negara ke depan.
Begitulah.