Paternalisme Tumbang di Semarang dan Kupang

Pius Rengka. Dokpri.

Pemilih Kota Kupang tidak lagi melihat prestasi para bapak kami yang ada di bumi (kaum paternalis), tetapi lebih terpesona dengan geliat anak muda (kaum milenial).

Oleh Pius Rengka

Dalam tradisi paternalisme, perempuan selalu dianggap sebagai warga kelas dua. Anggapan ini telah bersarang lama di kepala para politisi, utamanya kaum pria, seolah-olah itu adalah kebenaran tetap, tak tergoyahkan.

Namun, tidak demikian dengan apa yang terjadi di Kota Semarang, Jawa Tengah, ketika 27 November 2024 kemarin, Ibu Agustina Pramesti terpilih menjadi Wali Kota Semarang dengan kemenangan telak 61% dukungan suara pemilih versi quick count.

Agustina, mengantongi triple minority (perempuan, Katolik dan Chinese). Dia berpasangan dengan Iswar, salah satu tokoh dari kalangan santri sarungan (NU). Kemenangan mayoritas mutlak ini nyaris total meruntuhkan tiang-tiang isme paternalisme yang berusia sangat tua di negeri ini.

Kota Semarang adalah kota tengah-tengah pantai utara Jawa, dibatasi sebelah barat dengan Kabupaten Kendal, sebelah timur dengan Kabupaten Demak, sebelah selatan Kabupaten Semarang dan sebelah utara dibatasi Laut Jawa. Kota Semarang beriklim tropis dengan dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau.

Kemenangan Agustina Pramesti, telah diramalkan sebelumnya oleh Paul Pangka, Direktur Leprid (Lembaga Pencatat Prestasi Indonesia Dunia) di Semarang, dua pekan silam. Menurut Paul Pangka, meski Agustina dari kalangan minoritas, tetapi pasangannya adalah seorang santri NU yang sangat berpengaruh di Kota Semarang. Ramalan Paul Pangka, pengamat kelahiran Anam, Paroki St. Maria Diangkat Ke Surga Rejeng-Ketang, Manggarai ini, terbukti tepat.

Hal serupa terjadi di Maluku Utara, ketika Sherly Tjoanda terpilih menjadi gubernur di sana versi quick count. Untuk menjelaskan kemenangan Sherly Tjoanda dalam kompetisi pemilihan gubernur di Provinsi Maluku Utara, kita perlu melihat beberapa faktor yang bisa berkontribusi pada keberhasilannya.

Kemenangan Sherly Tjoanda karena dia dapat menyusun strategi kampanye yang tepat, menyasar para pemilih dengan efektif, dan menyampaikan visi dan misinya dengan jelas dan baik. Materi kampanye berisi narasi yang dekat dengan kebutuhan riil rakyat dan mampu memanfaatkan media sosial yang dapat memberikan keuntungan besar.

Pemanfaatan media sosial tidak untuk menarasikan konten-konten murahan seperti memuji berlebihan kandidat yang diusung, tetapi menarasikan prestasi dan reputasinya secara proporsional dan konkret. Sherly Tjoanda memiliki dukungan yang kuat dari partai politik. Partai yang solid dan jaringan politik yang luas, baik di tingkat lokal maupun nasional, dapat memainkan peran kunci dalam memperoleh suara yang signifikan. Mendapatkan dukungan dari partai dengan basis massa yang kuat, meningkatkan kemenangannya.

Klik dan baca juga:  Investasi Sumber Daya Manusia

Sementara itu, keakraban dengan masyarakat dan pemahaman terhadap isu-isu lokal sangat penting. Sherly adalah kandidat yang memiliki hubungan baik dengan berbagai kelompok masyarakat di Maluku Utara dan memahami masalah serta kebutuhan mereka, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, atau kesehatan, sehingga pemahaman ini lebih memudahkan dia mendapatkan kepercayaan pemilih.

Sherly Tjoanda juga dikenal sebagai sosok yang memiliki reputasi baik, dan berintegritas (jujur). Kiprah sebelumnya di sektor sosial dianggap positif sehingga berkontribusi terhadap keyakinan kepada para pemilih bahwa ia mampu memimpin dengan baik. Selain itu, kemenangannya dipengaruhi oleh popularitas keluarga atau tokoh terkenal yang mendukung.

Sherly Tjoanda adalah figur yang memiliki pengaruh besar di daerah tersebut, dukungan ini bisa menjadi aset politik yang berharga, apalagi ketika suaminya tewas diduga karena ada “intrik” politik di baliknya. Kisah perjalanan karier politik Sherly mengingatkan kita pada mendiang Cory Aquino – seorang ibu rumah tangga sederhana yang baik hati, bahkan mungkin tidak sedikit pun tertarik dunia politik – tetapi takdir sejarah membawanya menjadi Presiden Filipina.

Bedanya, mungkin ini. Benigno Aquino ditembak oleh lawan politiknya sedangkan suami terkasih Sherly, Benny Laos ditengarai kecelakaan laut yang diduga kuat ada sejenis sabotase dari lawan politiknya. Sherly adalah perempuan cantik nan jelita dengan pendidikan yang sangat baik, cerdas, karakter kuat dengan keteguhan paripurna.

Pemilih pada umumnya kemudian cenderung memilih calon yang dianggap mampu menyelesaikan isu-isu lokal yang mendesak. Tampaknya Sherly Tjoanda dapat mengidentifikasi dan merumuskan solusi untuk masalah-masalah yang dihadapi rakyat Maluku Utara, seperti pembangunan ekonomi daerah, peningkatan kualitas pendidikan, atau pengelolaan sumber daya alam, maka ia bisa mendapatkan dukungan luas.

Koalisi politik yang dibangun dengan berbagai kelompok, baik di tingkat lokal maupun nasional, memberikan keuntungan dalam memperoleh suara lebih banyak. Koalisi ini bisa melibatkan dukungan dari kelompok etnis, agama, atau sektor lainnya yang memiliki pengaruh di Maluku Utara.

Klik dan baca juga:  Akhir Tahun Mencatat Sejarah

Secara keseluruhan, kemenangan Sherly Tjoanda bisa dijelaskan melalui kombinasi faktor-faktor tersebut, yang meliputi keberhasilan dalam kampanye, dukungan dari partai dan tokoh besar, serta pemahaman yang baik terhadap kebutuhan rakyat di Maluku Utara. Sherly Tjoanda tercatat sebagai perempuan Tionghoa pertama yang menjadi gubernur dalam sejarah gubernur di Indonesia.

Gejala serupa terjadi di Kota Kupang, ketika dr. Chris Widodo yang berpasangan dengan Serena Francis unggul jauh di atas empat pasangan pesaing lainnya. Chris dan Serena adalah dua anak muda yang masih “suci” pengalaman aksi di partai politik karena terbilang sangat belia. Chris Widodo adalah anak muda Tionghoa dan Katolik pertama yang menjadi Wali Kota Kupang dalam rentang sejarah kepemimpinan politik di kota ini.

Sementara Serena Francis adalah perempuan sangat muda pertama yang menjadi Wakil Wali Kota Kupang. Pasangan ini, dalam seluruh tampilan di debat kandidat, selalu menampakkan kerendahan hati, jujur, tetapi kritis cerdas. Yang mengimbangi pasangan ini dalam hal kelugasan jujur apa adanya adalah pasangan George Hadjoh dan Walde Taek, Alex Funay dan Isyak Nuka.

Melihat sebaran para pendukungnya, tampak jelas bahwa Chris Widodo dan Serena rerata didukung oleh semua lapisan masyarakat di Kota Kupang, tanpa secuil pun diganggu kalkulasi primordial. Artinya, pasangan Chris-Serena adalah pasangan yang disukai oleh penduduk Kota Kupang. Mereka mungkin telah bosan dengan pasangan calon lain yang tak jemu-jemunya membangun narasi saling sindir, saling hujat dan saling olok, tetapi lupa merajut impian besar untuk kepentingan kota terbesar di tepi selatan republik ini.

Jefri Riwu Kore, yang sebelumya diramalkan bakal menang besar, ternyata tumbang kempis tak berdaya di tangan para pemilih. Padahal Jefri Riwu Kore bukan tanpa menorehkan prestasi di Kota Kupang, seperti masifikasi lampu jalan, hutan kota dan taman serta terakhir bedah rumah rakyat miskin.

Ketika narasi prestasi itu dibangun sebagai prestasi individual, reaksi masyarakat justru berbeda. Masyarakat melihat itu semua adalah kewajiban konstitusional yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah. Andaikan saja, Jefri masih menyulam dukungan melalui jalur perseorangan, mungkin saja impiannya untuk dua periode tergenapi.

Tetapi, ketika dia bersalin jubah dengan mencalonkan diri melalui partai politik, maka muhibah itu dianggap oleh para penyetor kartu penduduk (100 ribu dukungan) adalah kelakuan plin-plan. Dia dianggap tidak setia pada kehendak baik para penyumbang KTP. Padahal Jefri Riwu Kore adalah tokoh yang ditengarai memiliki modal sosial dan politik yang sangat mumpuni, tetapi habitus suka berpindah-pindah ini (mungkin) dianggap tidak setia pada perkara kecil.

Klik dan baca juga:  Re-eleksi Politik dan Kekuasaan Terandalkan

Hal serupa dialami Jonas Salean. Tokoh politik kawakan ini tidak kurang membukukan prestasi di Kota Kupang ketika Jonas merapikan birokrasi Pemkot dan menggelar demokrasi deliberatif. Dia bersama dr. Herman Man, secara bergilir menggelar rapat konsolidasi kekuatan di kelurahan dan memperkuat pelayanan kesehatan yang sangat menonjol. Di bagian serial rapat koordinasi di kelurahan, merupakan fenomena baru yang sangat mengesankan.

Jonas Salean memperkenalkan model demokrasi deliberatif dalam kerangka perumusan kebijakan publik. Bagi Jonas kebijakan publik pertama-tama harus mendengar apa kata publik, bukan mengkhayal membangun kota seindah mungkin tanpa basis dukungan kultural dan politik rakyat.

Pada bagian ini, Jonas Salean haruslah dipuji dan dikenang. Tetapi, tampaknya catatan reputasi Jefri dan Jonas itu, dilihat sebelah mata oleh para pemilih, meski para suporter pasangan masing-masing mengencangkan teriakan agar prestasi dan reputasi dua tokoh ini perlu diingat-ingat oleh para pemilih. Sayang sekali para pemilih berpikir lain.

Pada kasus ini pemilih senyatanya adalah hakim nan agung, yang bertindak seagung-agungnya, yang memiliki konsiderasi sendiri yang meluluhlantakkan narasi di atas kertas tentang kekuatan lawan maupun kawan. Tetapi, Chris maupun Serena, adalah “minoritas” di tengah kabut pekat masyarakat multikultural di Kota Kupang.

Pemilih Kota Kupang tidak lagi melihat prestasi para bapak kami yang ada di bumi (kaum paternalis), tetapi lebih terpesona dengan geliat anak muda (kaum milenial). Kejujuran, ketulusan dan membangun narasi cerdas dengan program yang tampak mudah dilihat, menggoda pemilih. Akibatnya, para hakim agung itu mengetuk palu godam kemenangan untuk Chris dan Serena. Paternalisme tumbang, milenial berjaya.

Selamat bekerja.