Oleh: Ovan Baylon (Pegiat literasi. Tinggal di Maumere, Kab. Sikka)
Keberagaman agama di Indonesia sampai saat ini selalu dalam polemik. Klaim demikian disebabkan oleh gerakan-gerakan radikal yang mengatasnamakan agama tertentu untuk mengklaim secara tunggal kebenaran sembari bersikap ekslusif terhadap kebenaran di luar. Salah satu gerakan radikalisme yang terus mewarnai dinamika berbangsa Indonesia sampai saat ini adalah radikalisme yang mengatasnamakan agama Islam.
Penting dicatat bahwa gerakan radikal ini cenderung ekstrem, misalnya ingin menghancurkan pluralitas agama dan dengan gigih ingin mendirikan negara berlandaskan hukum Islam. Di dalam gerakan radikal Islam misalnya, terdapat ideologi yang bernama khilafah yang diusung oleh organisiasi Hizbut Tahrir (HT). Khilafah adalah sistem politik yang berlandaskan Islam dan anti terhadap Pancasila (M. Mujibuddin, 2022:33-34).
Persoalan menjadi rumit ketika amplifikasi gerakan radikalisme Islam oleh HTI tersebut masih bereskalasi di Indonesia, kendati secara hukum telah dibubarkan oleh pemerintah pada tahun 2017. Hal ini juga disebabkan oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi mutakhir (internet dan media sosial) turut membuka peta baru penyebaran ideologi ekstrem tersebut.
Data yang dihimpun oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), sebagaimana dirilis (Kompas.com, 23 Desember 2024), menunjukkan selama tahun 2024, terdapat 180.954 konten bermuatan isu radikalisme yang tersebar di berbagai platform media sosial, antara lain Instagram (86.203), Facebook (45.449), TikTok (23.595), Twitter (9.535), WhatsApp (8. 506), Telegram (4.751) dan media online (3 konten). Penyebaran isu radikalisme tersebut diklaim terafiliasi dengan beberapa organisasi, seperti Islamic State Iraq and Syria (ISIS), Jamaah Asharut Daulah (JAD), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Jamaah Asharut Tauhid (JAT).
Gerakan radikalisme Islam kalau tidak ditangani secara serius akan berdampak negatif bagi bangsa Indonesia yang tengah mengglorifikasi Pancasila dan demokrasi sebagai benteng pertahanan keberagaman agama. Untuk itu, amat urgen untuk menemukan suatu aturan normatif universal yang dapat mengatur keberagaman agama guna menjaga kestabilan bangsa dan menjauhi klaim kebenaran secara tunggal oleh satu agama tertentu. Aturan universal ini sebenarnya telah lama diperkenalkan oleh Jean-Jacques Rousseau (Rousseau), filsuf Perancis dengan upanya membangun gagasan “agama sipil” sebagai agama universal yang dapat mengatur kehidupan masyarakat. Agama sipil ini adalah agama keempat yang dibangun Rousseau setelah ketiga agama sebelumnya, yakni agama manusia, agama warga negara dan agama imam kurang memberikan dampak positif bagi negara, terutama dalam mewujudkan kebaikan bersama.
Kalau dipahami lebih dalam, agama sipil yang dikonsepkan Rousseau dapat diidentik dengan Pancasila yang telah mengatur keberagaman agama di Indonesia. Dalam tulisan ini, penulis ingin mengklaim bahwa Pancasila sebenarnya dapat dinilai sebagai agama sipil yang dibangun Rousseau tersebut dan dapat mengatasi pergolakan radikalisme Islam.
Ihwal Gagasan Agama Sipil Rousseau
Jean-Jacques Rousseau (Rousseau) membangun gagasan “agama sipil” dalam bab terakhir bukunya The Social Contract (1762). Agama sipil dibangun Rousseau sebagai bentuk penyempurnaan dari kekurangan tiga agama sebelumnya, yakni agama manusia, agama warga negara (masyarakat) dan agama imam (Jean-Jacques Rousseau, 1986:117). Ketiga agama ini memiliki kekurangan karena tidak memberikan stabilitas bagi kehidupan bernegara, salah satunya tidak memberi toleransi karena adanya klaim tunggal atas kebenaran dari satu agama sehingga merugikan Agam yang lain. Hal ini menginspirasi Rousseau memperkenalkan agama keempat, yakni la religion civile, agama sipil yang akan menuntun rakyat untuk hidup dalam persatuan dan kebersamaan sosial. Bagi Rousseau, pembentukan agama sipil tidak dimaksudkan untuk mengintervensi keyakinan masing-masing agama, misalnya tentang jalan menuju surga, tetapi ia mengatur bagaimana hidup bersama secara rukun di antara sesama warga negara ( Rusian, 2021:7).
Agama sipil yang dibangun Rousseau merupakan landasan moral dan spiritual yang memperdalam persatuan masyarakat. Dalam agama sipil, terdapat beberapa dogma yang menurut Rousseau harus dinyatakan secara sederhana dan tanpa tafsiran, di antaranya; keberadaan Tuhan yang perkasa, bijak, dan murah hati, kehidupan yang akan datang, kebahagiaan bagi orang benar, hukuman bagi orang jahat, kesucian kontrak sosial dan hukum, dan toleransi beragama (Rousseau, 1986:121). Secara umum, Rousseau menggunakan dogma ini sebagai jalan untuk mencapai kebaikan bersama, yakni sejahtera dan hidup dalam persatuan. Dogma-dogma agama sipil ini juga mencegah agar tidak terjadinya klaim kebenaran secara tunggal oleh satu agama.
Klaim Pancasila Agama Sipil Rousseau dan Relevansinya Mengatasi Radikalisme Islam di Indonesia
Kalau dipahami secara intensif, tampaknya tidak keliru bila dikatakan bahwa agama sipil Rousseau telah terumuskan di dalam Pancasila. Pancasila sebagai agama sipil Rousseau karena Pancasila adalah produk yang dihasilkan dari konsensus bersama yang kemudian berperan sebagai jalan untuk mencapai kehendak umum masyarakat, yakni kesejahteraan rakyat Indonesia. Kalau dalam agama sipil terdapat dogma-dogma yang menjadi panduan dalam kehidupan bernegara, demikian pun dalam Pancasila, mengandung nilai-nilai yang menjadi kehendak umum, yaitu kebebasan, persatuan, kesetaraan, dan kekeluargaan (Priana, 2014:5). Nilai-nilai tersebut dapat diklaim sebagai dogma-dogma yang berfungsi menuntun perilaku hidup masyarakat. Melalui nilai-nilai tersebut, semua warga negara Indonesia dituntut dan dituntun untuk menghargai kebebasan dan hak orang lain (termasuk kebebasan beragama), menjaga persatuan, menjunjung tinggi kesetaraan, berperilaku dalam dengan basis kekeluargaan. Dengan demikian, tidak berlebihan kalau Pancasila memang diklaim sebagai agama sipil di Indonesia.
Agama sipil Pancasila dapat dijadikan sebagai solusi atas derasnya arus radikalisme agama di Indonesia. Radikalisme Islam sebagaimana dipahami umum merupakan sebuah gerakan yang anti terhadap keberagaman agama dan Pancasila serta ingin mendirikan negara berdasarkan hukum Islam.
Di tengah pergolakan radikalisme Islam itu, agama sipil Pancasila adalah solusi yang terbaik karena ia dapat menegakkan negara Indonesia yang pluralis. Agama sipil Pancasila menjadi solusi karena ia tidak mempersoal dan mengintervensi praktik-praktik religius dari setiap agama, tetapi mengatur bagaimana agama-agama hidup dalam toleransi dan rukun. Agama sipil Pancasila mampu merangkul semua agama tanpa ada perilaku eksklusif terhadap satu agama. Dengan demikian, kehendak umum untuk kebaikan bersama masyarakat dapat termanifestasi. Dengan demikian, tidak ada lagi satu agama mengklaim kebenaran secara tunggal dan ekslusif yang menyebabkan agama lain teralienasi. Di dalam agama sipil Pancasila, pluralitas kebenaran dari setiap agama tetap terjaga.**