Faksi politik ini akan dipertajam jika para suporter dungu justru bermain dominan.
Oleh Pius Rengka
Kabar selentingan datang dari berbagai daerah. Disebutkan, hubungan bupati dan wakil bupati tidak lagi harmonis. Kabar tersebut segera mengundang sejumlah spekulasi. Hubungan disharmonis tersebut dapat dicermati melalui lensa divided government (pemerintahan terbelah) untuk melihat dengan jelas faktor yang mendorong munculnya disharmoni relasi kuasa itu. Pemerintahan terbelah disebabkan oleh sedikitnya tiga hal berikut ini.
Pertama, pemerintahan terbelah karena relasi kuasa antara bupati dengan lembaga legislatif retak karena tidak ada kesesuaian pilihan politik di antara mereka. Bupati tidak sanggup menjalin relasi kuasa secara harmonis sehingga timbul keretakan hubungan. Hubungan tidak harmonis itu pun didorong oleh tekanan kepentingan yang berbeda arah.
Kedua, relasi bupati dengan wakilnya tidak harmonis karena terkait dengan urusan pola dan cara penempatan staf birokrasi. Penempatan staf birokrasi syarat dengan imajinasi kepentingan masing-masing pihak atau kepentingan kelompok. Hal itu diperparah karena, biasanya disertai anasir urusan distribusi pengerjaan proyek yang mengutamakan melayani kepentingan para suporter dungu yang lebih gampang mengamplifikasi narasi sebagai tim sukses. Narasi tim sukses ini dinarasikan para suporter dungu dengan frekuensi yang cukup tinggi di dalam selimut kepentingan menjaring keuntungan bagi diri mereka sendiri. Secara laten kepentingan untung secara ekonomi tidak berbanding lurus dengan kepentingan mendukung aktor politik. Karena itu biasanya, kelompok ini paling gaduh dalam pentas sosial.
Ketiga, divided government muncul sebagai tanda akan pisahnya hubungan kuasa bupati dengan wakilnya karena keduanya telah mulai berbeda arah untuk kepentingan elektoral pada pemilihan berikutnya. Tanda-tanda disharmoni relasi kuasa merupakan konsekuensi logis dari imajinasi yang terbelah juga.
Tantangan fenomenal
Tantangan fenomenal pemilihan langsung tidak hanya relasi kuasa bupati dengan wakilnya tidak lagi sebagaimana relasi (interaksi) kuasa struktural pada masa Orde Baru. Relasi kuasa pada rezim Orde Baru lebih bersifat komando (militeristik) sedangkan pada masa desentralisasi relasi kuasa ditentukan oleh bangunan sosial politik yang diperankan para pemimpin. Tetapi, masalahnya selalu akan berkenaan dengan studi lapangan sosial di mana lembaga resmi dari negara dan birokrasi lainnya saling berinteraksi dengan penduduk setempat. Ini berarti, hakikat hubungan antara berbagai konfigurasi sosial pada tingkat daerah telah mempengaruhi hakikat sifat hubungan mereka dengan unsur-unsur sekitarnya, sebagaimana ditulis Ufford (1998), dalam buku Kepemimpinan Lokal dan Implementasi Program. Dinamika relasi tidak hanya membawa akibat pada perluasan ataupun penyempitan hubungan kuasa (relasi) terutama dalam kerangka implementasi program pembangunan, tetapi juga ditemukan kontradiksi relasi baik dari perspektif normatif maupun praksis dalam hubungan kelas sosial.
Maka mungkin secara aktual kontekstual, bupati yang terpilih saat ini dapat saja diusung oleh partai politik yang berbeda dengan partai politik pengusung wakil bupati terpilih. Mereka terpilih karena koalisi. Akibatnya, relasi kuasa bupati dan wakil dalam konteks perbedaan partai pendukung asal mereka masing-masing berpengaruh pada relasi kuasa di antara mereka. Misalnya, bupati berakar di PDIP. Wakil bupati berakar di Golkar atau Nasdem. Maka pola relasi kuasa di antara mereka tetap memperhitungkan insentif politik untuk kepentingan partai masing-masing. Insentif politik inilah yang ikut merembes ke faksi-faksi yang ada di luar pemerintahan. Faksi politik ini akan dipertajam jika para suporter dungu justru bermain dominan.
Sekadar memasang cermin atau lensa politik. Konteks berikut ini penting. Relasi komando struktural sebagaimana pengalaman Orde Baru, meski telah dianggap redup oleh banyak kalangan karena pemimpin Orde Baru telah ditumbangkan, tetapi relasi (interaksi) kuasa itu masih dipertanyakan justru karena kultur relasi kuasa Orde Baru diduga masih terbawa hingga kini sebagaimana ditulis Meckelburg, R. (2013). Dia menulis lima belas tahun setelah jatuhnya kediktatoran Soeharto di Indonesia, narasi sejarah otoriter tentang 1965 yang diciptakan rezim Orde Baru dipertahankan dan ditegaskan kembali oleh negara ‘demokratis’ pasca-Orde Baru.
Selama Orde Baru, narasi 1965 digunakan untuk membenarkan dan melegitimasi kekerasan yang disponsori negara terhadap PKI dan nasionalis sayap kiri lainnya yang mengakibatkan setidaknya setengah juta kematian pada pertengahan 1960-an. Narasi yang sama ini menopang legitimasi politik negara Orde Baru yang baru muncul dan mengartikulasikan versi identitas nasional dan pembangunan bangsa yang merupakan antitesis dari era sebelumnya. Bertahannya narasi 1965 telah memudahkan bertahannya ideologi antikomunis Orde Baru. Ini terus menopang legitimasi politik bagi mereka yang berkuasa serta memberikan impunitas atas tindakan kekerasan dan represi politik yang digunakan untuk mempertahankan kekuatan sosial dan politik mereka.
Ideologi anti-komunis terus mendukung gagasan terbatas tentang kewarganegaraan dan identitas nasional. Pengertian kewarganegaraan yang terbatas saat ini secara signifikan membatasi kebebasan masyarakat sipil yang terlibat dalam wacana terbuka tentang kemungkinan untuk memperdalam dan memperkuat demokrasi politik dan lembaga-lembaganya.
Kontestasi yang terus berlanjut atas narasi sejarah 1965 menunjukkan bahwa sejarah dan versi ‘masa lalu’ adalah bagian dari dinamika politik demokrasi di Indonesia. Analisis kontestasi narasi sejarah otoriter 1965 memungkinkan kita untuk mengkaji perubahan dan kontinuitas konsep identitas nasional dan kewarganegaraan, dan dalam kategori ‘inklusi’ dan ‘eksklusi’ politik dari rezim otoriter Orde Baru ke negara demokrasi yang direformasi yang ada hari ini.
Enam tahun berselang, Meckelburg (2019) kembali menulis bahwa dua puluh tahun setelah jatuhnya Soeharto di Indonesia, sebagian besar studi politik tentang ‘transisi’ demokrasi Indonesia pasca-Orde Baru telah membiarkan gagasan, bentuk organisasi, strategi, dan dampak perjuangan kelas bawah sebagian besar tidak diteliti. Karya ilmiah Meckelburg, menunjuk bahwa dinamika perubahan sosial dan politik sebagian besar berfokus pada hasil campuran dari desentralisasi dan demokratisasi kekuasaan negara untuk aktor elit sejak reformasi, memberikan sedikit atau tidak ada kerangka kerja untuk mengkonseptualisasikan aksi politik populer dalam konteks restrukturisasi kelembagaan ini. Berbasis pada proposisi Marxis dan Gramsci serta teori reproduksi sosial, maka Meckelburg mencermati dinamika agen subaltern pedesaan di Indonesia pasca-Orde Baru, dengan fokus pada bagaimana aktor subaltern pedesaan ‘berpolitik’. Itu artinya, Meckelburg mencari dan mencermati relasi lintas power (kuasa) baik di lapisan elit maupun implikasinya kepada masyarakat desa.
Maka, secara asumtif relasi kuasa para bupati dengan wakil berpeluang untuk kurang efektif karena minim kepatuhan. Relasi kuasa yang kurang efektif itu membuahkan masalah konsolidasi politik pembangunan terutama terkait implementasi program pembangunan. Konsolidasi politik pembangunan menjadi problem karena selain relasi kuasa yang kurang efektif, juga ditambah dengan fragmentasi yang ditimbulkan oleh politik elektoral. Fragmentasi karena faktor primordial di lapisan masyarakat sipil pun mengental ditambah campur tangan para aktor pasar (capital) yang bermain di dalamnya untuk kepentingan mereka.
Maka kasus-kasus divided government terjadi tidak hanya terhadap relasi bupati dengan wakil bupati, tetapi juga relasi bupati dengan wakil bupati yang merembes ke lapisan bawah. Fragmentasi itu diperparah oleh hadirnya aktor pebisnis yang ikut mengatur penentuan kebijakan publik. Fenomena ini membuahkan masalah yang tidak mudah diselesaikan manakala aktor-aktor yang terlibat di dalamnya tak mampu melakukan konsolidasi.
Kepemimpinan
Horner (1997) menyebutkan selama bertahun-tahun, kepemimpinan telah dipelajari secara ekstensif dalam berbagai konteks dan landasan teoritis. Dalam beberapa kasus, kepemimpinan telah digambarkan sebagai sebuah proses (Bernard, 1926; Blake, Shepard dan Mouton, 1964; Drath dan Palus, 1994; Fiedler, 1967; dan House dan Mitchell, 1974).
Kepemimpinan biasanya ditentukan oleh sifat, kualitas, dan perilaku pemimpin itu sendiri. Studi tentang kepemimpinan telah meluas melintasi budaya, dekade, dan keyakinan teoretis. Ringkasan tentang apa yang diketahui dan dipahami tentang kepemimpinan penting untuk melakukan pencermatan atas fenomena relasi bupati dengan wakil bupati. John Gastil (1994) menawarkan satu kepemimpinan politik yang demokratis. Gastil merangkum kepemimpinan demokratis sebagai perilaku yang mempengaruhi orang dengan cara yang konsisten dengan dan/atau kondusif bagi prinsip dan proses dasar demokrasi, seperti: penentuan nasib sendiri, inklusivitas, partisipasi setara, dan musyawarah. Gastil menekankan pendistribusian tanggung jawab, pemberdayaan orang, dan membantu musyawarah.
Kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai hubungan pengaruh yang asimetris di mana satu aktor membimbing atau mengarahkan perilaku orang lain menuju tujuan tertentu selama periode waktu tertentu. Kepemimpinan jelas melibatkan pelaksanaan pengaruh dan mungkin kekuasaan, tetapi hanya beberapa hubungan yang melibatkan pengaruh atau kekuasaan yang memenuhi syarat sebagai contoh kepemimpinan (bandingkan Burns, 1978). Untuk satu hal, seorang pemimpin seharusnya menjalankan apa yang disebut pengaruh positif, membimbing daripada memveto tindakan kolektif. Dengan demikian, kepemimpinan diasosiasikan dengan pengerjaan kolektif untuk beberapa kebaikan bersama atau tujuan bersama (vide: Burns 1978, Lindberg dan Scheingold, 1970). Kindleberger (1981) bahkan menganggap “tanggung jawab” tertentu dari perilaku seseorang sebagai penentu karakteristik kepemimpinan.
Gagasan tentang tujuan bersama juga menyiratkan bahwa kepemimpinan tidak bisa hanya berdasarkan paksaan, apalagi penggunaan kekerasan. Tetapi, kepemimpinan niscaya harus ada sesuatu yang menjadi platform nilai, minat, dan keyakinan bersama; kepemimpinan yang sukses adalah kepemimpinan yang membangun dan mengolah platform ini. Pemimpin dan kepemimpinan harus memiliki ide cemerlang yang diterima oleh beberapa orang lain tidak cukup menjadikan seseorang sebagai pemimpin (Underdald, 1994).
The great man theory, misalnya, didasarkan pada keyakinan bahwa pemimpin adalah orang yang luar biasa, lahir dengan bawaan kualitas, ditakdirkan untuk memimpin (Bolden, R., J., Marturano and Dennison, 2003). Meskipun kepemimpinan transformasional menikmati kesuksesan dan perhatian sebagai teori kepemimpinan yang luar biasa, tetapi beberapa sarjana telah menyelidiki hubungan khusus antara teori kepemimpinan transformasional dan kinerja tim. Dengan demikian, teori kepemimpinan transformasional dapat memberikan kerangka kerja untuk menyelidiki dampak pemimpin pada kinerja tim.
Pengaruh ideal/motivasi inspirasional, stimulasi intelektual dan pertimbangan individual dapat menghasilkan hasil antara seperti visi bersama, komitmen tim, lingkungan tim yang diberdayakan, dan konflik tim fungsional. Pada gilirannya, secara positif memengaruhi komunikasi tim, kohesi, dan manajemen konflik (Dionne et al., 2004). Pada bagian ini para suporter dungu (useful idiot) menjadi tidak penting.
Pada abad 20-an, muncul trait theory yang mempercayai bahwa orang memiliki sifat atau watak tertentu akan menjadi pemimpin besar (great man). Yang dimaksudkan dengan watak atau sifat, merujuk pada karakteristik dan kualitas seseorang atau atribusi yang melukiskan seseorang. Watak ini inherent dengan kepribadian seseorang dan tidak berubah dalam kurun waktu yang sangat lama. Watak adalah faktor-faktor internal yang mencakup personalitas karena unik (Northouse, 2021). Selama bertahun-tahun, kepemimpinan telah dipelajari secara ekstensif dalam berbagai konteks. Dalam beberapa kasus, kepemimpinan telah digambarkan sebagai sebuah proses, tetapi sebagian besar teori dan penelitian tentang kepemimpinan melihat seseorang untuk mendapatkan pemahaman (Bernard, 1926; Blake, Shepard dan Mouton, 1964; Drath dan Palus, 1994; Fiedler, 1967; House dan Mitchell, 1974).
Kepemimpinan biasanya ditentukan oleh sifat, kualitas, dan perilaku seorang pemimpin. Studi tentang kepemimpinan telah meluas melintasi budaya, dekade, dan keyakinan teoretis. Dalam tinjauan komprehensif teori kepemimpinan (Stogdill, 1974), beberapa kategori yang berbeda diidentifikasi yang menangkap esensi dari studi kepemimpinan di abad 20.
Trend pertama berkaitan dengan atribut pemimpin besar. Kepemimpinan dijelaskan oleh kualitas internal yang dengannya seseorang dilahirkan (Bernard, 1926). Pemikirannya adalah jika ciri-ciri yang membedakan pemimpin dari pengikut dapat diidentifikasi, maka pemimpin yang sukses dapat dengan cepat dinilai dan ditempatkan pada posisi kepemimpinan. Kepribadian, fisik, dan karakteristik mental diperiksa.
Penelitian ini didasarkan pada gagasan bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukan dibuat, dan kunci suksesnya hanyalah mengidentifikasi orang-orang yang dilahirkan untuk menjadi pemimpin hebat. Meskipun banyak penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi ciri-ciri tersebut, tetapi tidak ada jawaban jelas yang ditemukan sehubungan dengan sifat-sifat apa yang secara konsisten dikaitkan dengan kepemimpinan yang hebat. Salah satu kelemahan dari pemikiran ini adalah pengabaian faktor situasional dan lingkungan yang berperan dalam tingkat efektivitas seorang pemimpin (Horner, 1997). Bagian inilah gangguan para supporter dungu wajib dicermati.
Menurut Hitt (1998), kita berada di jurang sebuah zaman, di tengah-tengah era ekonomi baru, di mana organisasi abad ke-21 menghadapi lanskap kompetitif yang kompleks, yang sebagian besar didorong oleh globalisasi dan revolusi teknologi. Era baru ini adalah tentang ekonomi di mana pengetahuan adalah komoditas inti dan produksi pengetahuan serta inovasi yang cepat sangat penting untuk kelangsungan hidup organisasi (Bettis dan Hitt, 1995; Boisot, 1998).
Namun, terlepas dari kenyataan bahwa kepemimpinan merupakan faktor inti dalam organisasi untuk mengatasi masalah, ditemukanlah model kepemimpinan untuk era pengetahuan. Davenport (2001) menyebutkan, model lama kepemimpinan dibentuk untuk menghadapi serangkaian keadaan yang sangat berbeda. Oleh karena itu relevansinya dipertanyakan dengan lingkungan kerja kontemporer, tidak ada alternatif yang jelas untuk diambil. Osborn, Hunt & Jauch (2002) berpendapat, perubahan radikal dalam perspektif kepemimpinan diperlukan untuk melampaui pandangan yang diterima secara tradisional, karena konteks di mana para pemimpin beroperasi secara radikal berbeda dan beragam. Dunia birokrasi tradisional ada, tetapi hanya satu dari banyak konteks yang patut dicermati. Kerangka kepemimpinan yang diusulkan, disebut teori kepemimpinan kompleksitas.
Teori kepemimpinan kompleksitas atau Complexity Leadership Theory (CLT) berfokus pada mengidentifikasi dan mengeksplorasi strategi dan perilaku yang mendorong kreativitas, pembelajaran, dan kemampuan beradaptasi organisasi dan subunit ketika dinamika Curate Analysis Scientific (CAS) yang sesuai diaktifkan dalam konteks koordinasi hierarkis (yaitu, birokrasi). Dalam CLT, dikenal tiga jenis kepemimpinan yaitu: kepemimpinan yang didasarkan pada gagasan tradisional, birokrasi tentang hierarki, penyelarasan, dan kontrol (yaitu, kepemimpinan administratif), kepemimpinan yang menstruktur dan memungkinkan kondisi sedemikian rupa sehingga CAS dapat bekerja secara optimal mengatasi pemecahan masalah secara kreatif, kemampuan beradaptasi, dan pembelajaran (mengacu pada apa yang disebut kepemimpinan yang memungkinkan), dan kepemimpinan sebagai dinamika generatif yang mendasari perubahan kepemimpinan adaptif (Uhl-Bien, Marion dan McKelvey, 2007).
Modal politik
Sementara itu, kepemimpinan politik lokal (bupati hingga desa kampung) dimodelkan sebagai sirkulasi modal politik. Pengalaman kepemimpinan di Denmark tahun 1961 penting dalam studi kasus yang dilakukan Banfield (1961). Konsep modal politik, digunakan untuk menghasilkan teori umum kepemimpinan politik lokal. Dalam kerangka ini, komponen penting dari kepemimpinan yang efektif adalah kemampuan wali kota, dalam kerangka kelembagaan tertentu, untuk mengedarkan (mendapatkan dan membelanjakan) modal politik. Kepemimpinan efektif terjadi ketika pemimpin terus menginvestasikan modal politiknya dengan cara yang menghasilkan keuntungan terbesar.
Perbedaan Clarence N. Stone antara power over dan power to merupakan inti dari model tersebut. Walikota melakukan apa yang disebut James H. Svara sebagai kepemimpinan fasilitatif dalam beberapa kasus dapat mengumpulkan sejumlah besar modal politik (Kjaer, 2013). Struktur sosial mungkin secara historis sangat penting dalam perhitungan untuk sikap dan perilaku banyak warga, tetapi sekarang perubahan struktur sosial telah mengurangi peran yang dimainkan oleh kelas dan afiliasi agama, sementara signifikansi kepribadian dalam kepemimpinan politik telah meningkat (Blondel, J. and Thiébault, J.L., 2010).
Pemimpin politik adalah orang yang dipilih secara demokratis. Sumber otoritasnya adalah mandat: yaitu izin untuk memerintah menurut hukum, sebagai mandat resmi yang diberikan pemilih. Keanggotaan pemilih ditetapkan di luar hukum, dan lebih luas daripada bentuk keanggotaan organisasi atau serikat pekerja, karena meluas ke semua warga negara dengan hak suara, di daerah pemilihan yang ditentukan. Karena itu para suporter dungu perlu menghitung kelakuan mereka sendiri dengan insentif politik yang mungkin diperoleh oleh pemimpin yang didukungnya.
Karena para pemimpin politik itu dipilih, dan bertindak sebagai perwakilan, maka mereka memerlukan persetujuan dari orang-orang yang mereka pimpin dan yang mereka layani. Bukan melayani para suporter dungu yang hanya lebih banyak bertindak sebagai predator politik. Mereka memiliki tugas melayani semua konstituen dan melindungi kepentingan generasi mendatang, bukan hanya melayani mereka yang mendukungnya (Morrell, K. and Hartley, J., 2006).
Pertanyaan kunci dalam diskusi tentang kepemimpinan politik adalah apakah kepribadian pemimpin merupakan faktor yang berpotensi besar atau bahkan sangat menentukan dalam menjelaskan perilakunya dalam peran pemimpin? (Tucker 1977) atau apakah tuntutan masyarakat struktural memaksakan pemimpin logika perilaku dan harapan peran tertentu yang pada prinsipnya tidak hanya mendefinisikan gaya, tetapi juga esensi kepemimpinan politik dalam masyarakat tertentu. Pandangan historis tradisional tentang esensi kepemimpinan, terutama cara berpikir kuno dan modern awal tentang hubungan antara pemimpin dan masyarakatnya pada umumnya, masih relevan dengan teori dan praktik kepemimpinan saat ini (Masciulli, J., Molchanov, M.A. and Knight, W.A., 2016).
Dari satu sudut pandang, semua organisasi mencakup dimensi politik, di mana mereka yang memimpin, bekerja untuk, mengelola, mengatur, dan membuat kontrak dengan organisasi harus berurusan dengan kepentingan yang beragam dan terkadang bersaing dengan individu dan kelompok. Terkadang mereka bersaing untuk eksekusi kekuasaan dan memberi pengaruh tetapi juga terkadang berkolaborasi dengan orang lain untuk mencapai hasil maksimal (Hartley dan Fletcher 2008).
Bentuk hibrida
Beberapa tema utama dalam modernisasi dan reformasi pemerintah daerah merujuk pengalaman beberapa negara, terdapat beberapa alasan pergeseran dari model klasik pemerintahan lokal -model dewan-komite – ke model yang lebih berorientasi eksekutif, seperti parlementer dan presidensial, yang disebut model hibrida. Inti dari pergeseran ini adalah perhatian diberikan pada aspek aturan main, dan pengambilan keputusan kolektif. Proses ini menghasilkan profesionalisasi peran kepemimpinan politik (Larsen, 1996, 2003).
Ralph Melvin Stogdill (2018) menganalisis data dan temuan lebih dari seratus studi terkait kepemimpinan, di 27 kelompok. Faktor-faktor dominasi, tinggi inisiatif, ketekunan, ambisi, keinginan untuk unggul, kesehatan, tanggung jawab, penampilan, integritas dan keyakinan, kelancaran berbicara, percaya diri, intelijensia, selera humor, hasil akademik, stabilitas dan kontrol emosi, pengetahuan, status sosial dan ekonomi, aktivitas sosial dan mobilitas, wawasan (diri sendiri, orang lain, lingkungan yang lebih luas), energi, keberanian, dan petualangan, keaslian, keterampilan sosial (kemampuan bersosialisasi, kebijaksanaan), kemampuan beradaptasi, popularitas, prestise, introversi-ekstraversi dan kerja sama.
Meskipun pendekatan berbasis sifat sebagian besar tidak disukai, tetapi teori sifat kepemimpinan ditampilkan sangat kuat dalam buku The Leadership Challenge, yang ditulis James Kouzes dan Barry Posner, berdasarkan penelitian mereka tahun 1983-87. Kata mereka, kepemimpinan politik menentukan arah perubahan sosial yang diharapkan.
Melacak teori kepemimpinan dapat ditelusuri melalui aneka keputusan yang dibuat dalam sebuah organisasi publik. Analisis keputusan berfokus pada beberapa elemen penting dari proses pengambilan keputusan, yang menunjukkan bahwa mereka adalah kunci untuk membuat dan memahami pilihan yang efektif. Inti dari semua elemen ini adalah konsep preferensi (Underdald, 1994a).
Dalam tulisan Rost (1991) lebih dari 200 definisi tentang kepemimpinan telah ada sejak tahun 1900-1990. Kepemimpinan selalu terkait dengan mekanisme kontrol dan pemusatan kekuasaan atau kekuatan. Pada tiga dekade pertama abad 20, pemusatan kekuasaan selalu berhubungan dengan dominasi. Konferensi internasional tentang kepemimpinan tahun 1927, mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan untuk memberi pengaruh agar kehendak dari pemimpin dipatuhi, dihormati, loyalitas dan kerja sama. Pada tahun 1930-an muncullah teori kepemimpinan yang berkaitan dengan watak atau karakter seseorang dalam sebuah organisasi publik (Northouse, 2021). Karakter itu berpengaruh pada gerak organisasi publik.
Namun, teori-teori kontemporer berakar dari teori kepemimpinan klasik. Tokoh utamanya adalah Thomas Carlyle, 1847, dengan great man theory. Kemudian transformational theory (House and Shamir, 1993). Teori kepemimpinan selalu terkait dengan power. Karena itu teori kepemimpinan selalu dikaitkan dengan power theory of leadership yang diperkenalkan John French and Bertram Eaven, 1959; Mulholand 2019.
Menurut Carlyle, great man theory (Bass,1990; Bennis, 2003; Burns, 1978) beroperasi dari dua asumsi pokok yaitu pertama, para pemimpin besar itu lahir, bukan dibuat, kedua, para pemimpin ini hadir ketika kepentingan mendesak dibutuhkan. Para pemimpin hebat ini dilahirkan dengan atribut yang memungkinkan mereka tampil di luar kemampuan orang normal pada umumnya dalam peran kepemimpinan. Misalnya, mereka sangat mahir dalam mengelola dan mendelegasikan tugas, dan lebih karismatik saat melakukannya. Mereka adalah seseorang yang bertindak melampaui kebanyakan orang. Herbert Spencer (1896) kemudian menyatakan pandangan yang kontras bahwa para pemimpin heroik adalah produk dari waktu mereka dan kondisi sosial yang berlaku.
Trait theory northouse (2004) pendekatan teoritisnya mirip dengan great man theory. Dikatakan, seorang pemimpin yang hebat adalah karena karakteristik (sifat-sifat) tertentu. Trait theory, karakteristik kepemimpinan yang menjadi ciri khasnya. Karakteristik ini dapat diajarkan, tidak sepenuhnya karena genetika. Pada pengelolaan organisasi, kepemimpinan akan meningkatkan efektivitas organisasi. Begitu pun di dunia manajemen. Manajer menganalisis dan memahami kekuatan dan kelemahan organisasi (Hobson, Strupeck and Szostek, 2010; Northouse, 2007).
Ciri-ciri kepemimpinan berbasis trait theory adalah: kecerdasan – mungkin sifat yang paling penting bagi seorang pemimpin yang baik, faktor fisiologis – tinggi badan, berat badan, penampilan mempengaruhi kepribadian dan bagaimana pemimpin itu dipersepsikan, stabilitas emosional – pemimpin harus stabil dan percaya diri agar diandalkan, dorongan motivasi – memotivasi diri sendiri dan menginspirasi orang lain, perhatian pada hubungan manusia – pemimpin bergantung pada tim mereka untuk menyelesaikan pekerjaan, jadi mereka harus memahami hubungan yang dimiliki tim mereka dan bagaimana mereka akan bereaksi terhadap situasi yang berbeda, visi dan pandangan ke depan – para pemimpin harus mampu memprediksi tren dan situasi sebelum terjadi untuk memanfaatkannya sepenuhnya, empati – memahami cara orang lain berpikir dan alasan mereka berpikir seperti itu, keadilan dan objektivitas – bias mengubah tim melawan pemimpin, keterampilan teknis – pemimpin memiliki keterampilan teknis untuk memahami masalah, pikiran terbuka dan kemampuan beradaptasi – para pemimpin perlu menghindari bersikap kritis untuk mendorong orang lain menyuarakan sudut pandang mereka, bahkan jika itu berarti menyesuaikan rencana untuk mencerminkan mereka, komunikasi yang terampil – komunikasi sangat penting untuk fungsi tim yang efektif, keterampilan sosial – seorang pemimpin dengan keterampilan sosial akan dapat berinteraksi dengan tim mereka dengan cara yang memenangkan loyalitas dan kepercayaan diri mereka, membuat mereka tampil lebih efektif dan lebih mempercayai keputusan pemimpin.
Transformational theory. Transformational theory diciptakan oleh James V. Downton (1978). Teori transformasi dikembangkan James MacGregor Burns pada 1970-an, seorang penulis biografi kepresidenan dan pakar kepemimpinan (Simola, Barling and Turner, 2012). Teori kepemimpinan transformasional adalah pendekatan relatif baru yang menekankan cara pemimpin menciptakan nilai dan perubahan positif pada pengikutnya.
Pemimpin transformasional menginspirasi pengikut untuk mengubah persepsi, harapan, dan memotivasi tim kerja untuk bekerja menuju tujuan bersama. Teori kepemimpinan transformasional membawa perubahan melalui contoh, dan artikulasi visi yang berenergi (Riaz and Hussain Haider, 2010). Pemimpin transformasional adalah teladan moral. Dia bekerja menuju kesejahteraan banyak orang. Teori kepemimpinan transformasional fokus pada empat aspek utama: motivasi inspiratif, stimulasi intelektual, pengaruh ideal dan pertimbangan individual. Kepemimpinan transformasional menyatukan pendekatan dan kemampuan berbeda untuk berbagai keuntungan organisasi (Wahyuni and Ismail, 2021).
Kepemimpinan transformasional adalah inti dari manajemen transformasional dan kunci untuk berhasil mengelola perubahan organisasi. Kepemimpinan transformasional dimulai dengan transformasi. Fokusnya adalah menciptakan tim yang saling mendukung dan termotivasi oleh interaksi mereka dengan pemimpin.
Teori-teori kepemimpinan ini hendak meneropong peran dan fungsi kepemimpinan terutama untuk menggalang kekuatan gerakan partisipasi rakyat melalui skema perubahan kehidupan mereka sendiri. Hal itu diperkuat dengan perilaku para pemimpin sebagaimana ditulis Marieke van der Hoek, Sandra Groenveld, 2021.
Begitulah.