Sekolah harus mengembangkan kepemimpinan subjek didik, diskusi yang bebas tentang berbagai ide-gagasan, dan pelibatan subjek didik dan kejuruan (fakultas), baik dalam belajar maupun dalam perencanaan pendidikan.
Oleh Dwi Widiyanti, Guru SMA Negeri 3 Surakarta
Progresivisme dalam pendidikan adalah bagian dari gerakan reformasi umum sosial politik yang menandai kehidupan Amerika di akhir abad XIX dan awal abad XX, di saat Amerika berusaha menyesuaikan diri dengan urbanisasi dan industrialisasi yang masif. Progresivisme dalam politik adalah bukti nyata dalam karir para tokoh utama semisal Robert La Follete dan Woodrow Wilson, yang berupaya menjadikan sistem perserikatan dan monopoli, dan berupaya menjadikan sistem demokrasi politik bisa berjalan dengan baik.
Dalam arena sosial, kalangan progresif semacam Jane Addams berjuang dalam gerakan rumah hunian penduduk untuk mengembangkan kesejahteraan sosial di Chicago dan wilayah-wilayah urban lainnya. Reformasi dan pembaruan yang diupayakan kalangan progresif sangat banyak, dan progresivisme pendidikan harus dilihat dalam konteks yang lebih luas.
Progresivisme sebagai sebuah teori pendidikan muncul sebagai bentuk reaksi terbatas terhadap pendidikan tradisional yang menekankan metode-metode formal pengajaran, belajar mental (kejiwaan), dan susastra klasik peradaban Barat.
Pengaruh intelektual utama yang melandasi pendidikan progresif adalah John Dewey, Sigmund Freud, dan Jean Jacques Rousseau. Dewey menjadikan sumbangan pemikirannya sebagai seorang filsuf aliran pragmatik yang menuliskan banyak hal tentang landasan-landasan filosofis pendidikan dan berupaya menguji keabsahan gagasan-gagasannya dalam laboratorium sekolahnya di Universitas Chicago. Dengan demikian pragmatisme kiranya dapat dilihat sebagai pengaruh utama dalam teori pendidikan progresif.
Pengaruh kedua adalah teori psikoanalisis Freud. Teori Freudian menyokong banyak kalangan progresif dalam mencuatkan suatu kebebasan yang lebih bagi ekspresi diri antara anak-anak dan suatu lingkungan pembelajaran yang lebih terbuka di mana anak-anak dapat melepaskan energi dorongan-dorongan instingtif mereka dalam cara-cara yang kreatif.
Pengaruh ketiga adalah karya Emile (1762) Rousseau. Karya ini secara khusus menarik hati kalangan progresif yang menentang terhadap adanya campur tangan orang-orang dewasa dalam menetapkan tujuan-tujuan pembelajaran atau kurikulum subjek didik. Perlu dicatat bahwa penekanan child centered (berpusat pada subjek didik) kiranya lebih sesuai dengan pemikiran Rousseau dan Freud daripada dengan pemikiran Dewey, sekalipun Deweylah (yang) secara umum menerima cercaan lantaran berbagai kritik pada pendidikan progresif.
Pengaruh-pengaruh intelektual yang mendasar itu dikembangkan ke dalam teori pendidikan progresif oleh sebuah kelompok ahli pendidikan ternama yang aktif menerapkan teori-teori mereka pada praktik sekolah. Carleton Washburne, William H. Kilpatrick, Harold Rugg, George S. Counts, Boyd H. Bode, dan John L. Childs adalah ujung tombak pengembangan aliran pemikiran progresif yang beragam.
Melalui pengaruh dan kekuatan mereka, pendidikan progresif menjadi teori dominan dalam pendidikan Amerika dari dekade 1920-an hingga 1950-an. Pada pertengahan 1950-an, ketika pendidikan progresif kehilangan eksistensi keorganisasiannya, ia telah mengubah wajah pendidikan Amerika. Barangkali sebagian dari alasan kematian organisasinya adalah kenyataan bahwa berbagai ide-gagasan dan program pendidikan progresif telah diadopsi, sampai beberapa tingkatan, oleh pendirian sekolah umum, dan karena itu kalangan progresif kurang terdengar ‘teriakannya’.
Dari sisi ini, tampak bahwa kesuksesan mereka mengarah pada kepudarannya. Di sisi lain, perlu disadari bahwa teori progresif dalam keutuhannya tidak pernah menjadi praktik utama dalam lingkup luas sistem-sistem sekolah. Apa yang diadopsi adalah serpihan-serpihan progresivisme yang dicampur dengan metode-metode lain dalam corak eklektik.
Kalangan progresif tidak akan dilihat sebagai sebuah kelompok yang terpadu dan seragam menyangkut semua persoalan teoretis. Sungguhpun mereka seragam dalam penentangannya terhadap praktik-praktik sekolah tertentu. Ornstein menuliskan bahwa mereka secara umum mencerca hal-hal berikut: 1) guru yang otoriter, 2) terlalu bertumpu pada text books atau metode pengajaran yang berorientasi buku, 3) belajar pasif dengan penghafalan informasi dan data faktual, 4) pendekatan empat dinding bagi pendidikan yang berusaha mengisolasikan pendidikan dari realitas sosial, dan 5) penggunaan hukuman menakutkan atau fisik sebagai suatu bentuk pendisiplinan.
Kekuatan organisasional utama progresivisme dalam pendidikan adalah Asosiasi Pendidikan Progresif (1919-1955 M). Pendidikan progresif harus dilihat, baik sebagai gerakan terorganisir maupun sebagai teori jika seseorang berupaya memahami sejarah dan pengaruhnya. Dalam kedua sisi itu, pendidikan progresif mencuatkan inti prinsip-prinsip pokok. Beberapa ide-gagasan progresif telah diperbaharui dalam humanisme pendidikan akhir dekade 1960-an dan awal 1970-an.
Prinsip-prinsip progresif
Proses pendidikan menemukan asal-muasal dan tujuannya pada anak.
Pendapat ini berada dalam kebalikan langsung dari pendekatan tradisional terhadap pendidikan. Sekolah tradisional mengawali dengan serangkaian materi pengajaran yang tersusun dan kemudian berupaya ‘menyodorkan’ panduan belajar ini pada subjek didik. (tidak peduli) Apakah ia setuju ataukah tidak.
Kalangan progresif membalik model ini dengan menempatkan subjek didik pada titik sumbu sekolah. Mereka lalu berupaya mengembangkan kurikulum -metode pengajaran yang berpangkal pada kebutuhan, kepentingan, dan inisiatif subjek didik.
Menurut teori progresif, anak (subjek didik) mempunyai suatu keinginan alami untuk belajar dan menemukan berbagai hal tentang dunia di sekelilingnya. Ia tidak hanya mempunyai keinginan bawaan lahir (inborn), melainkan juga mempunyai kebutuhan-kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi dalam hidupnya. Keinginan dan kebutuhan itu memberi anak ketertarikan untuk mempelajari berbagai hal yang akan membantunya memecahkan problem-problem.
Dengan demikian, ketertarikan anak adalah titik tolak bagi pengalaman belajar. Ini tidak berarti bahwa ketertarikan anak dalam menjadi satu-satunya faktor dalam menentukan apa yang harus dipelajari anak. Yang jelas anak masih belum matang dan mungkin tidak sanggup menentukan tujuan-tujuan yang berarti.
Di sisi lain, doktrin ketertarikan anak tidak menetapkan bahwa anak secara alamiah cenderung menentang apa pun yang disodorkan padanya oleh orang lain. Oleh karena itu, ketertarikan anak harus dimanfaatkan oleh kalangan guru yang akan mengembangkan suatu lingkungan belajar. Di mana dorongan yang memotivasi secara alamiah akan mengarahkan pada hasil-hasil belajar yang diinginkan.
Guru menggunakan ketertarikan alamiah anak untuk membantunya belajar berbagai keterampilan yang akan mendukung anak menemukan kebutuhan dan keinginan terbarunya. Hal ini pada gilirannya membantu anak (subjek didik) mengembangkan keterampilan-keterampilan pemecahan masalah dan membangun ‘gudang’ kognitif informasi yang dibutuhkan untuk menjalani kehidupan sosial.
Dari sudut pandang progresif, bermula dari anak (subjek didik) adalah cara/jalan paling mudah dan alamiah bagi pendidikan untuk beroperasi. Di sini pendidikan menggunakan daya motivasional dari ketertarikan asal anak. Karena itu membantu subjek didik dan guru bekerja sama bukan malahan ‘mengadu’ mereka satu sama lain dalam hubungan yang berlawanan. Hal ini membuka jalan untuk lebih humanis (manusiawi) dalam ruang kelas dan mengizinkan guru untuk berhubungan dengan anak dalam keseluruhan kompleksitasnya –sebagai subjek yang mempunyai kebutuhan, keinginan, perasaan, dan sikap.
Subjek-subjek didik adalah aktif bukan pasif.
Anak bukan makhluk pasif yang sekadar menanti guru mengisi akal pikirannya dengan banyak informasi. Para subjek didik adalah makhluk dinamis yang secara alamiah berkeinginan untuk belajar dan akan belajar jika mereka tidak dibuat frustasi dalam belajar mereka oleh orang-orang dewasa yang berusaha menyodorkan kemauannya. Dewey mencatat bahwa, “anak selalu siap aktif, dan persoalan pendidikan adalah persoalan memandu keaktifannya dan memberikan arahan.”
Peran guru adalah sebagai penasihat, pembimbing, dan pemandu, daripada sebagai rujukan otoriter (tak bisa dibantah) dan pengaruh ruang kelas.
Posisi ini terkait erat dengan kepercayaan kalangan pragmatis akan perubahan terus-menerus dan pendapat kalangan progresif tentang sentralitas anak dalam pendidikan. Guru tidak bisa sebagai ‘rujukan’ dalam pengertian tradisional, yaitu sebagai penyalur informasi esensial. Ini benar karena realitas utama eksistensi manusia itu berubah, dan sebagai akibatnya tak seorang pun mengetahui bentuk masa yang akan datang dan informasi esensial (baku tak berubah) yang dibutuhkan di masa depan. Jadi, tidak bisa ada pengajaran otoritatif pun tentang serangkaian terbatas pengetahuan esensial.
Pada sisi lain, guru mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang lebih banyak dibandingkan subjek didik. Hal inilah yang menempatkannya pada posisi sebagai pemandu di wilayah yang pernah ia lalui: sebagai penasihat dalam keadaan para subjek didik menemui jalan buntu, dan sebagai pengawal perjalanan di lingkungan yang baru baginya dalam dunia yang berkembang dan berubah terus-menerus.
Guru adalah orang yang mau belajar bersama para subjek didiknya sambil ia berupaya memanfaatkan energi dan ketertarikan langsung mereka dalam keseriusan pengalaman belajar. Peran guru dapat dilihat sebagai peran membantu subjek didik belajar bagaimana belajar mandiri sehingga ia akan menjadi sosok orang dewasa yang mandiri dalam lingkungan yang berubah.
Sekolah adalah sebuah dunia kecil (miniatur) masyarakat besar.
Sekolah tidak akan dilihat sebagai suatu setting sosial yang berbeda di mana pendidikan terselenggara dalam cara yang betul-betul unik. Pendidikan dan belajar secara ajeg berlangsung dalam kehidupan seseorang. Sebagai contoh, seorang anak mengamati ayahnya mengganti ban kendaraan. Ia belajar dari pengalamannya ini karena rasa kebutuhannya, keingintahuan alamiahnya, dan ketertarikannya.
Ini adalah sebuah pengalaman belajar, dan pengalaman belajar berlangsung dengan cara yang sama di dalam lingkungan sekolah. Sebagaimana juga di dunia luar belajar dan pengalaman-pengalaman pendidikan dalam dunia keseharian tidaklah secara artifisial dibagi-bagi ke dalam potongan-potongan waktu, ruang, dan isi. Karena itu, pendidikan yang ditawarkan di sekolah-sekolah tidak secara artifisial dibagi-bagi dengan memisahkan bahasa Inggris dari kajian-kajian sosial dan dengan memberhentikan yang tidak alamiah lewat membunyikan bel pada saat yang telah ditentukan sebelumnya.
Di dunia yang lebih luas, materi kajian sosial, bahasa Inggris, dan matematika terpadukan dalam penggunaannya, dan seseorang tetap berada pada satu tugas hingga ia merampungkannya atau sampai pada saatnya berakhir.
Pendidikan di sekolah-sekolah perlu dilihat bagaimana orang-orang itu dididik dan diajar dalam dunia yang lebih luas di sekeliling mereka. Karena pendidikan berarti adalah kehidupan itu sendiri dan tidak mengambil tempat pada dunia tersendiri dalam dinding-dinding sekolah. Pendapat semacam ini berbeda dengan pendapat kalangan tradisional yang melihat pendidikan sebagai sebuah persiapan untuk hidup –saat akal budi seseorang diisi dengan informasi yang akan ia butuhkan untuk menghadapi kehidupan nyata.
Pemikiran semacam ini didasarkan pada penekanan kalangan pragmatis terhadap pengalaman dan epistemologi pemecahan masalah mereka. Pengetahuan, tandas kalangan progresif, tidak datang lewat penerimaan informasi sebagai sebuah substansi abstrak yang entah bagaimana dialihkan dari guru kepada murid. Pengetahuan tutur mereka, adalah suatu instrumen untuk mengelola pengalaman.
Ini bukanlah suatu penyangkalan materi kajian tradisional, melainkan suatu penolakan metode tradisional yang berupaya mengalihkan materi kajian tadi kepada generasi muda (para murid). Kalangan progresif mendasarkan pendekatan pengajaran dan kurikuler mereka pada persoalan-persoalan signifikansi (nilai guna) bagi para subjek didik. Dalam rangka melakukan ini, mereka mengembangkan metode pengajaran proyek.
Metode proyek dapat digambarkan dengan sebuah kelas tingkat empat yang berkeinginan mengkaji orang-orang Indian (suku Indian) dan memutuskan untuk membangun sebuah perkampungan Indian. Dalam proses membangun sebuah perkampungan itu, mereka menghadapi berbagai persoalan. Sebagai contoh, mereka harus memutuskan Indian macam apa yang mereka inginkan. Hal ini mengarahkan mereka pada dunia pembacaan dan kemudian memasuki (wilayah) geografi dan antropologi setelah mereka mendapati kenyataan bahwa suku-suku yang berbeda-beda ‘menggumuli’ lingkungan hidup mereka dalam keanekaragaman cara.
Jika mereka memutuskan untuk membangun suatu macam pilihan, mereka akan mempunyai pengalaman industrial dalam penyamakan kulit, sebuah pengalaman geometris dalam mengembangkan pola-baku, sebuah pengalaman matematis dalam membuat pengukuran, sebuah pengalaman biologis dalam memutuskan tipe kayu apa yang akan dipakai untuk tiang pancang, dan sebuah pengalaman menulis dalam menyusun laporan berkenaan dengan hasil pencapaian mereka.
Dari contoh singkat dan sederhana itu, terbukti bahwa pembangunan suatu perkampungan akan menghadirkan pada anak-anak (subjek didik) serangkaian persoalan yang menarik mereka untuk memecahkannya karena putusan memilih mengkaji suku Indian pada awalnya berasal dari mereka. Proses pemecahan persoalan-persoalan demikian menuntut bimbingan guru yang piawai-terampil untuk mengarahkan para subjek didik melampaui sebagian besar muatan kurikulum tradisional dengan cara yang hampir tidak menyulitkan.
Melalui proses pemecahan masalah, para subjek didik tidak hanya mempelajari fakta-fakta, akan tetapi lebih penting mereka mempelajari bagaimana berpikir dan bagaimana menggunakan pemikiran mereka dalam dunia pengalaman. Sebuah proyek kemungkinan bisa berlangsung hanya tidak sehari atau malah selama satu tahun tergantung pada jenis proyeknya, ketahanan para subjek didik, dan keterampilan (kepiawaian) guru.
Atmosfer sosial sekolah harus kooperatif dan demokratis.
Pemikiran semacam ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari kepercayaan kalangan progresif bahwa sekolah adalah sebuah miniatur dari masyarakat yang lebih luas (besar). Bahwa pendidikan adalah kehidupan itu sendiri lebih dari sekadar sebagai sebuah persiapan untuk hidup. Sekolah-sekolah, tandas kalangan progresif, berlomba secara tak wajar.
Dalam dunia kerja, jika seseorang mempunyai persoalan, ia biasanya berusaha mencari bantuan dari kawan kerjanya. Namun dalam sekolah, anak-anak dihukum karena bergerak-gerak, berbicara atau bahkan berupaya saling membantu satu sama lain dalam memecahkan suatu persoalan. Adanya penekanan semacam itu dalam pendidikan tradisional mencuatkan perhatian yang tidak semestinya terhadap kompetisi yang tidak sehat secara sosial dan tidak efisien secara kependidikan. Kompetisi mendapatkan tempat jika ia memberikan kebaikan secara luas: akan tetapi masyarakat dan belajar agaknya lebih sering mengalami kemajuan melalui koperasi.
Bentuk-bentuk sekolah, pengarahan (aturan), dan kontrol ruang kelas yang demokratis juga disuarakan oleh kalangan progresif. Mereka adalah pendukung yang getol terhadap demokrasi politik dan mereka menuturkan bahwa para subjek didik tidak akan dapat disiapkan menjadi orang-orang dewasa yang demokratis jika mereka tumbuh berkembang dalam institusi pendidikan yang otokratik.
Sekolah harus mengembangkan kepemimpinan subjek didik, diskusi yang bebas tentang berbagai ide-gagasan, dan pelibatan subjek didik dan kejuruan (fakultas), baik dalam belajar maupun dalam perencanaan pendidikan.
Kaitan humanisme pendidikan dengan progresivisme
Progresivisme yang terorganisir berkembang hingga akhir pertengahan dekade lima puluhan. Akan tetapi ide pemikirannya tetap eksis dan berpengaruh melalui berbagai gerakan yang secara umum mengacu sebagai humanisme kependidikan. Kalangan humanis mengadopsi sebagaian banyak prinsip-prinsip progresif yang mencakup keterpusatan pada anak, peran guru yang tidak otoritatif, pemfokusan pada subjek didik yang terlibat aktif, dan sisi-sisi pendidikan yang kooperatif dan demokratis.
Namun, progresivisme bukanlah satu-satunya sumber humanisme pendidikan. Eksistensialisme juga bertindak sebagai stimulan gerakan ini. Sebagai akibatnya, humanisme pendidikan lebih memberikan penekanan secara signifikan pada keunikan anak secara perorangan daripada yang telah diberikan kalangan progresif yang cenderung lebih memahami anak (subjek didik) dalam kaca mata unit sosial. Geliat kalangan eksistensialis dalam humanisme pendidikan telah membawa ke arah penekanan pada pencarian makna persoalan dalam eksistensi manusia.
Adanya pemusatan pada angka secara perorangan dalam pendidikan humanistik telah semakin dipertegas lagi oleh penyumbang utama ketiga terhadap humanisme pendidikan -kalangan psikolog eksistensial atau humanistik. Kalangan psikolog ini meliputi tokoh-tokoh semisal Carl Rogers, Abraham Maslow dan Arthur Combs.
Para psikolog ini, bersamaan dengan banyak kolega mereka, telah memberi pengaruh signifikan dan langsung terhadap pendidikan humanistik. Pemusatan (fokus) mereka adalah pada pemberian bantuan subjek didik agar dapat menjadi ‘terhumanisasikan’ atau ‘teraktualisasikan diri’ –membantu subjek didik secara perorangan (individual) dalam menemukan, menjadi, dan mengembangkan kedirian sejatinya, serta keutuhan potensinya.
Rangsangan keempat bagi humanisme kependidikan adalah kritikus-kritikus romantik. Para penulis kritis mengemuka selama gejolak sosial tahun 1960-an dalam suatu ketegangan protes terhadap keadaan sekolah-sekolah yang represif, tidak manusiawi, dan tidak bernalar. Mereka menandaskan bahwa sekolah-sekolah menjadi mematikan secara intelektual dan destruktif secara psikologis karena mereka lebih disibukkan dengan aturan dan hukuman daripada kesehatan dan perkembangan manusia.
Contoh tipikal jenis tulisan kependidikan mereka adalah karya John Holt How Children Fail (1964), karya Herbert Kohl 36 Children (1967), karya Jonathan Kozol Death at an Erly Age (1967) dan karya George Dennison The Lives of Children (1969). Karya susastra yang dihasilkan oleh kritikus-kritikus romantik sedemikian menarik, menyentuh perasaan dan populer. Sehingga, ia mampu memberikan pengaruh luas terhadap publik pembaca dan mengembangkan simpati lapisan bawah akan ekspresimentasi pendidikan humanistik.
Prinsip-prinsip humanistik.
Pembicaraan tentang humanisme kependidikan di sini tidak akan berupaya memberikan paparan terperinci mengenai prinsip-prinsip humanistik. Karena hal ini akan menuntut dimasukkan banyak materi yang ‘dijelajah’ dalam bahasan tentang progresivisme. Pembicaraan di sini tampaknya lebih menyorot pada penekanan-penekanan humanistik dan menguji beberapa bentuk kelembagaan yang menjadi sarana kalangan humanis dalam mengungkapkan gagasan dan pendirian mereka.
Hal inti bagi gerakan humanistik dalam pendidikan adalah keinginan untuk mewujudkan lingkungan-lingkungan belajar di mana para anak akan terbebas dari kompetisi yang seru, kedisiplinan yang keras, dan takut gagal. Kalangan humanis berupaya pindah dari hubungan berlawanan yang acapkali ditemukan di antara subjek didik dan guru, dan di sisi lain, mewujudkan hubungan kependidikan yang diresapi dengan kepercayaan serta rasa aman.
Mereka percaya bahwa suasana semacam itu akan membebaskan subjek didik dari ketakutan-ketakutan yang menghabiskan energi dan destruktif, dan akan memungkinkan energi lebih banyak dikembangkan ke arah penumbuhkembangan kreativitas. Holt mengutip pandangan humanistik tentang hakikat (watak dasar) manusia dan menghubungkannya dengan belajar ketika ia menuliskan:
Bahwa anak-anak itu pada dasarnya pintar, energik, ingin tahu, besar kemauan untuk belajar, dan baik dalam belajar; bahwa mereka tidak perlu disuap dan digertak untuk belajar; bahwa mereka belajar dengan baik ketika mereka senang, aktif, terlibat, dan tertarik pada apa yang sedang mereka lakukan; mereka belajar kurang baik, atau bahkan sama sekali tidak baik, ketika mereka bosan, takut (diancam), dihina, dan cemas.
Singkat kata, kalangan humanis bergerak melampaui ‘mentalitas penjara’ dari sebagian besar sekolah dalam upaya menghadirkan lingkungan-lingkungan belajar yang akan mengarah pada pertumbuhan individual. Dari sini, tujuan mendasar pendidikan bagi kalangan humanis lebih terpusat pada aktualisasi diri daripada sekadar penguasaan penuh pengetahuan sebagai tujuan akhirnya.
Dengan demikian, keterbukaan, penggunaan imajinasi, sementara pengujian yang dibakukan dan pengajaran massa (skala besar) tidak disetujui. Kalangan humanis mengusulkan bahwa para guru dapat secara amat gampang meraih tujuan mereka melalui kerja sama dengan individu-individu dan kelompok kecil. Sejalan dengan akar keberadaannya, humanisme kependidikan berupaya menghindari orientasi utama masyarakat modern.
Bentuk-bentuk kelembagaan.
Penekanan pada individualitas oleh para ahli pendidikan humanistik menimbulkan persoalan besar menyangkut keragaman dalam berbagai pendekatan persekolahan. Tiga pendekatan yang paling berpengaruh adalah ruang kelas terbuka, sekolah yang bebas, dan sekolah tanpa kegagalan. Hal-hal ini menjadi alternatif yang tersebar luas bagi pendekatan-pendekatan kependidikan tradisional di akhir 1960-an dan awal 1970-an.
Ruang kelas terbuka memberikan sebuah pengalaman yang berupaya membongkar kekakuan ruang kelas tradisional. Ruang kelas terbuka adalah sebuah ruang kelas yang terdesentralisasikan. Di mana meja-meja disekat-sekat ke dalam kluster-kluster dan ruang yang terbagi-bagi ke dalam wilayah-wilayah belajar. Wilayah-wilayah ini dipisah (disekat) oleh tempat-tempat buku, tabir-tabir, dan benda-benda lainnya.
Ruang kelas semacam itu bisa saja mempunyai wilayah kegiatan untuk membaca, berhitung (matematika), dan seni. Setiap wilayah belajar (kajian) dilengkapi dengan beragam bahan-bahan belajar yang para subjek didik dapat menggunakan, memainkan atau membacanya di kala perlu. Ruang kelas terbuka tidak mempunyai jadwal yang kaku, baik dalam hal waktu ataupun materi (bahan ajar). Peralatan pun cukup tersedia untuk kerja sama dan mobilitas fisik subjek didik.
Guru dan para asistennya sebagian besar menghabiskan waktu bersama beberapa orang dan kelompok kecil daripada dengan keseluruhan kelas. Ruang kelas terbuka berupaya menyediakan sebuah komunitas belajar di mana para guru dan subjek didik untuk bekerja bersama. Kohl mencatat bahwa dalam ruang kelas terbuka:
Peran guru bukanlah mengawasi siswanya, melainkan membantu mereka agar dapat membuat keputusan-keputusan dan mengajar apa yang menjadikannya tertarik. Dalam sebuah ruang kelas teruka, seorang siswa beritndak selaras dengan keinginannya sendiri daripada dengan apa yang diharapkan (guru, ed.) padanya.
Guru tidaklah harus mengharapkan hal yang sama kepada semua siswanya. Sebaliknya, guru harus belajar menerima perbedaan. Namun hal ini harus muncul dari apa yang secara nyata terjadi dalam ruang kelas selama tahun ajaran, dan tidak dari prakonsepsi-prakonsepsi.
Gerakan sekolah bebas dapat dilihat secara luas sebagai sebuah gejolak dari pendidikan publik (umum) yang tidak bisa memberikan kondisi yang layak untuk pendidikan humanistik karena corak ‘anak-manisnya’ (baby-sitting) dan fungsi-fungsi indoktrinasinya. Sekolah-sekolah bebas telah dikembangkan oleh kalangan orang tua dan guru yang tidak puas yang menginginkan anak-anak mereka terbebas dari sistem otoritatif dengan penekanannya pada kurikulum yang terstrukturkan dan tuntutan-tuntutan persesuaian.
Sekolah-sekolah bebas didirikan di seluruh tempat dari kawasan kumuh hingga ke barak militer. Tidak ada dua dari sekolah-sekolah semacam itu yang serupa dan masing-masing mempunyai alasan keberadaannya sendiri. Sebagian besar sekolah-sekolah semacam itu amat kecil ukurannya dan tingkat ‘keambrukannya’ sangat tinggi –beberapa ada yang hanya berjalan satu atau dua tahun.
Sekolah-sekolah bebas menarik bagi beragam kelompok sosial dari kalangan kulit putih pinggiran kota hingga kalangan kulit hitam tengah kota. “Beberapa tampaknya ingin kepastoran bebas dari riuh konflik modern, sedangkan yang lain merupakan uji coba sengaja dalam pendidikan yang multibahasa dan multi budaya.”
Semua mereka berupaya mengembangkan ‘anak-anak bebas’ yang akan menjadi orang-orang yang independen dan pemberani yang sanggup bergumul dengan kompleksitas dunia modern yang senantiasa berubah.
William Glasser, seorang psikiatri yang mengembangkan ‘terapi realitas’, mengajukan sebuah pendekatan humanistik bagi pendidikan dalam karyanya Schools without Failure. Glasser berpendapat bahwa ada dua macam kegagalan manusia, “gagal mencinta dan gagal meraih harga diri.” Menurut Glasser, sekolah-sekolah secara tradisional telah gagal karena mereka tidak membangun hubungan-hubungan interpersonal yang hangat yang melalui kebutuhan subjek didik akan cinta dan rasa harga diri terpuaskan.
Peran sekolah harus dimasudkan untuk menyediakan lingkungan yang hangat dan tidak mengancam sehingga dengannya kebutuhan subjek didik tersebut bisa terpenuhi. Atmosfer semacam ini akan memberikan konteks yang efektif bagi kegiatan belajar. Schools without Failure menyodorkan beberapa saran yang terperinci tentang bagaimana tujuan itu dapat dicapai.
Kelas terbuka, sekolah bebas dan sekolah tanpa kegagalan adalah (hanya) tiga dari sekian banyak ragam yang diajukan oleh kalangan humanis kependidikan untuk memanusiawikan persekolahan. Perlu dicatat bahwa sebagian besar usulan-usulan humanistik ditujukan pada pendidikan dasar.