Oleh Pius Rengka, Pendiri detak-pasifik.com
Ia melintas sambil menebar kebaikan. Per transiit benefaciendo. Seperti itulah kira-kira cara orang-orang tua di masa silam menggambarkan pemimpin yang tak hanya lewat, tetapi meninggalkan jejak kebajikan.
Kini, adagium klasik itu menemukan tafsir kontemporer nya dalam figur muda Gubernur Nusa Tenggara Timur, Melki Laka Lena, yang lebih akrab disapa Melki. Sejak usia muda, dia dikenal sangat aktif di organisasi Mahasiswa, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), di Cabang Yogyakarta di bawah naungan perlindungan dan semangat St. Thomas Aquinas yang beralamat di Jl. Dr. Wahidin, 48.
Moderator PMKRI Cabang Yogyakarta biasanya diutus dari kalangan pastor Jesuit yang dikenal sangat biasa melatih mahasiswa untuk berpikir kritis berbasis ilmu pengetahuan, dengan keberpihakan etis yang sangat jelas pada kaum terpinggirkan. Paus Leo XIII menyebutnya Option for the poor.
Mobilitas Melki Laka Lena sejak dinyatakan menang dalam kontestasi Pilgub NTT ibarat gerak ombak yang tak pernah lelah mencium bibir pantai. Ia sepertinya menolak diam yang tidak berhenti dalam seremoni pelantikan. Kegemarannya membangun tiang konsolidasi kekuatan politik, bukan kisah baru.
Tak menunggu lama, ia menapaki jalan-jalan sempit desa dan kabupaten, memeluk debu jalanan dan berdialog dengan kerut wajah rakyat yang penuh duka lara. Ia mengelilingi NTT sambil menyiram optimisme yang diraciknya sendiri: keyakinan bahwa NTT bisa berubah, bisa bangkit, bisa berlari mengejar ketertinggalan sejarah.
Optimisme itu masuk akal. Sejarah optimisme itu telah dimulai sejak El Tari dan dr. Ben Mboi. Seperti yang pernah diucapkan Gubernur sebelumnya, Dr. Viktor B. Laiskodat, NTT ini sejatinya provinsi kaya raya. Bagaimana tidak.
NTT memiliki segalanya. Pariwisata, sedikitnya 45 destinasi pariwisata yang unik, khas dan mempesona. Lahan pertanian luas, tetapi belum digarap tuntas sejak era Ben Mboi sampai Viktor Laiskodat. Bahkan Viktor menyebutkan, seharusnya tidak ada ceritera lahan tidur di NTT. Tetapi, yang tidur pulas itu adalah manusianya.
Sementara kekayaan laut berlimpah. Potensi garam, rumput laut dan ikan yang dimiliki perairan NTT melimpah. Dari sepuluh jenis ikan yang masuk dalam pasaran global, sembilan di antaranya dimiliki provinsi NTT. Begitu pun dengan peternakan. NTT dalam rentang temali sejarah menjadi provinsi terdepan dalam pasokan ternak ke banyak wilayah. Karena itulah masuk akal jika tiap gubernur terpilih di NTT selalu menarasikan potensi daerah ini. Masuk akal pula jika tingkah laku dan narasi para gubernur memberi sejenis optimisme. Optimisme yang sama kini datang dari Melki Laka Lena mengingat laku politiknya yang memberi harapan, dan menuangkan anggur dambaan bagi rakyat NTT.
Optimisme itu bukan sekadar kata. Ia menjelma menjadi narasi yang disiarkan masif oleh media lokal dan nasional. Berita perjalanan Melki Laka Lena tersebar seperti angin musim barat, melintasi pulau-pulau dan membelai wajah para orang susah, disambut harap oleh petani, nelayan, buruh harian, hingga birokrat yang mulai belajar mendengar kembali suara desah rakyat jelata.
Namun, Melki tidak sekadar bergerak. Ia mengatur orkestrasi yang lebih besar. Tak lama setelah dilantik, ia mengumpulkan seluruh bupati dan wali kota, mengajak mereka ke jantung kekuasaan nasional, Jakarta.
Di ibu kota Jakarta, yang penuh onak ganas dan gempita korupsi itu, ia mempertemukan kepala-kepala daerah dengan para menteri. Sebuah strategi politik yang tidak biasa, namun terasa segar. Ia tidak menunggu bantuan pusat seperti pengemis yang berharap belas kasihan. Ia menyeret seluruh kepemimpinan daerah untuk duduk setara dengan kementerian, berbicara tentang program, anggaran, dan masa depan bersama.
Apa yang dilakukan Melki adalah bentuk konsolidasi model baru. Ia menghapus sekat sektoral, menyatukan suara yang selama ini tercerai dalam birokrasi yang lamban dan ego sektoral yang mengakar. Ia menawarkan kolaborasi sebagai jalan tengah, menghindari politik saling sandera antara pusat dan daerah, menggantikannya dengan semangat sinergi dan kolaborasi.
Langkah ini bukan tanpa risiko. Ada yang menilai bahwa Melki terlalu cepat berlari, terlalu banyak bergerak, bahkan terlalu ambisius. Tetapi, bukankah sejarah selalu mencatat para pejalan yang keras kepala? Mereka yang menolak diam, yang menolak larut dalam protokoler kekuasaan, yang menabrak dinding formalitas demi membuka ruang-ruang baru bagi kemungkinan?
Sejarah pembangunan tidak boleh patah-patah dan mengalami patahan sejarah. Pembangunan adalah bagian dari rantai sejarah keberlangsungan, kontinuitas perubahan bermakna, dan janji manis kesejahteraan rakyat.
Melki tampaknya memahami bahwa NTT bukan hanya wilayah administratif. Ia adalah gugusan penderitaan dan harapan. Ia adalah ruang panjang ketimpangan yang diwariskan turun-temurun. Maka ia menjadikan dirinya sebagai jembatan yang menghubungkan ruang antara harapan rakyat dan kebijakan negara.
Geraknya melintas seperti doa yang menjelma kebijakan. Ia membisikkan kepada rakyat bahwa kemiskinan bukan takdir, dan bahwa pemerintah bukan menara gading yang hanya pandai membuat pidato. Ia sedang membalikkan cara kita memandang kekuasaan, bukan sebagai panggung ego, tetapi ladang pelayanan. Dan, terutama ini, menyatu dengan rakyat terlibat dengan penderitaan mereka. Sebaiknya tidur pula di rumah mereka untuk merasakan dan mendengar langsung desah sejarah hidup mereka. Tak perlu mengambil jarak dan membuat jarak dengan memisahkan tubuh kekuasaan dengan jiwa ucapan atau narasi perubahan.
Dalam konteks ini, per transiit benefaciendo bukanlah slogan romantis. Ia adalah kerja keras yang terus bergerak, berani menabrak zona nyaman, dan tak segan menggandeng semua orang dalam jalan panjang perubahan. Dalam sosok Melki Laka Lena, adagium Latin itu bukan sekadar kata mati. Ia hidup, tumbuh, dan menyapa kita semua.
Adalah contoh konkrit dalam arena gereja Katolik, Uskup Agung Keuskupan Kupang, mendiang Mgr. Petrus Turang, telah memberi makna bagi perubahan di tubuh gereja katolik dalam terang cahaya per transiit benefaciendo. Andaikan spirit itu disematkan pada tubuh ringkih manusia NTT, bukan mustahil harapan selalu datang mengetuk pintu hati manusia NTT dan bersemangat berjalan bersama. Tak hanya jalan bersama, tetapi juga bekerja sama sambil sama-sama bekerja. Tetapi, satu dari 12 murid Jesus, Rasul Thomas berkata: Saya melihat saya percaya.