Perspektif Eksistensialisme dalam Pendidikan

whatsapp image 2022 09 24 at 13.13.30
Dyta Diana.

Peran guru bagi kalangan eksistensialis tidaklah sebagaimana peran guru dalam paham tradisional. Guru eksistensialis bukanlah sosok yang melulu memperhatikan alih pengetahuan kognitif dan sosok yang mempunyai jawaban-jawaban ´benar´ tak terbantahkan.

Oleh Dyta Diana Yusuf, Guru SMA N 1 DARMA Kabupaten Kuningan

Eksistensialisme adalah salah satu dari pendatang baru dalam belantika filsafat. Ia hampir seluruhnya adalah produk abad XX. Dalam beberapa hal ia lebih dekat terkait dengan susastra dan seni daripada dengan filsafat formal. Tak diragukan lagi hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa eksistensialisme sangatlah memperhatikan emosi-emosi manusia daripada memperlihatkan secara ‘scrius’ terhadap intelek.

Eksistensialisme, berkaitan dengan wataknya, dinilai sulit jika tidak mustahil untuk dirumuskan. Walter Kaufman, salah seorang eksistensialis Amerika yang lebih cerdik, memperkenalkan karyanya Eksistensialisme from Dostoevsky to Sastre dengan menuliskan:

Eksistensialisme bukanlah sebuah filsafat melainkan sebuah sebutan untuk berbagai pemberontakan yang beragam secara luas terhadap filsafat tradisional. Sebagian besar kalangan eksistensialis  yang hidup tak mau mengakui sebutan ini, dan orang luar yang kagum mungkin dengan baik menyimpulkan bahwa satu-satunya hal yang mereka miliki secara umum adalah sebuah keengganan (ketidaksetujuan) yang membekas antara satu sama lain.

Eksistensialisme janganlah dilihat sebagai sebuah aliran pemikiran dalam pengertian yang sama dengan pemikiran-pemikiran empat kefilsafatan lainnya yang telah dikaji di atas.

Kaufman mengidentifikasi inti dasar eksistensialisme sebagai berikut: 1) penolakan untuk dimasukkan ke dalam aliran pemikiran apapun, 2) penyangkalan akan memadainya sistem-sistem kefilsafatan dan rangkaian kepercayaan, dan 3) ketidakpuasan yang membekas terhadap filsafat tradisional sebagai hal yang superfisial, akademis, dan jauh dari kehidupan.

Individualisme adalah pilar utama eksistensialisme. Kalangan eksistensialis tidak mencari tetek bengek sebagai tujuan di alam ini. Hanya manusia, selaku individu, memiliki tujuan.

Eksistensialisme menemukan pijakan dasar dalam karya-karya Soren Kierkegaard (1813-1855) dan Friedrich Nietzsche (1844-1900). Kedua tokoh ini menentang impersonalisme dan formalisme ajaran Kristen gerejawi dan filsafat spekulatif Hegel.

Kierkegaard berupaya merevitalisasi ajaran Kristen dari dalam dengan meninggikan kedudukan individu dan peran pilihan dan komitmen personal. Nietzsche, di sisi lain, mencela ajaran Kristen, mendeklarasikan kematian Tuhan dan mengangkat gagasannya tentang superman (manusia super).

Eksistensialisme secara khusus sangatlah berpengaruh semenjak Perang Dunia II. Sebuah upaya baru pencarian makna tampak sedemikian krusial dalam dunia yang telah mengalami depresi panjang dan dikoyak-koyak oleh dua perang dunia yang kedahsyatannya tak pernah terjadi sebelumnya.

Rangsangan lebih jauh bagi upaya baru pencarian kalangan eksistensialis terhadap makna dan arti guna adalah bersumber dari dampak dehumanisasi industrialisme modern. Eksistensialisme secara umum merupakan sebuah pemberontakan terhadap masyarakat yang telah terampas individualitasnya. Beberapa juru bicara yang berpengaruh dari eksistensialisme abad XX meliputi Karl Jaspers, Gabriel Marcel, Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, dan Albert Camus.

Sebagai pendatang baru dalam dunia filsafat, eksistensialisme utamanya memberikan perhatian pada isu-isu kefilsafatan dan belum begitu gamblang pada praktik-praktik kependidikan. Hubungan yang masih samar dengan pendidikan yang tak diragukan lagi juga dipengaruhi oleh besarnya perhatian eksistensialisme terhadap individu daripada terhadap kelompok sosial. Percikan pemikiran tentang topik-topik kependidikan ditemukan dalam karya-karya para penulis seperti Martin Buber, Maxine Greene, George Kneller, dan Van Cleve Morris.

Eksistensialisme berpendapat bahwa filsafat bukanlah sebuah aktivitas spekulatif yang dapat secara perlahan dipisahkan dari acuan (sumbu) realitas-realitas fundamental kematian, kehidupan, dan kebebasan. Filsafat yang bertumpu sepenuhnya pada intelek ditolak oleh kalangan pemikir eksistensialisme. Filsafat harus diwartakan oleh kepuasan karena ia berada dalam kondisi perasaan yang meluap di mana realitas-realitas puncak berhasil diungkapkan.

Dengan demikian, eksistensialisme bukanlah sebuah filsafat ´sistematis´. Sebagai akibatnya, eksistensialisme tidak mengomunikasikan kepada para pendidik serangkaian aturan untuk dikuasai dan tidak pula serangkaian program untuk dilembagakan. Di sisi lain, eksistensialisme memberikan semangat dan sikap yang bisa diterapkan pada kegiatan pendidikan.

Dari perspektif ini kita akan melihat hal penting dari filsafat eksistensialisme. Pembaca akan menyadari, tatkala mengkaji materi kajian tentang eksistensialisme, bahwa kalangan eksistensialis secara umum tidak membingkai pemikiran mereka dalam peristilahan metafisis, epistemologis, dan aksiologis. Namun demikian, ada sebuah titik tolak pemikiran yang menjadi pijakan pembicaraan mereka. Kiranya dalam semangat kehati-hatian itulah analisis berikut ini dibuat, dengan pengakuan bahwa kalangan pemikir eksistensialis akan keberatan terhadap bentuk analisis apapun.

Tugas ini dilakukan untuk pemula kajian filsafat yang memang memerlukan titik pijak yang bisa diberikan dengan analisis dan labeling (penamaan), karena dari sini ia mendapatkan landasan untuk mengembangkan pemahaman dan membuat penilaian dan perbandingan.

Pemikiran filosofis eksistensialisme

Eksistensi individu adalah titik bidik pandangan eksistensialisme tentang realitas. Sebuah cara untuk melihat dasar metafisis eksistensialisme adalah membandingkannya dengan diktum neoskolastik bahwa esensi itu mendahului eksistensi dalam hubungannya dengan waktu.

Sebagai contoh, beberapa kalangan neoskolastik memandang Tuhan sebagai Sang Pencipta segala sesuatu, termasuk manusia. Ketika Dia menciptakan manusia, tutur mereka, Dia telah mempunyai gagasan tentang manusia (esensinya) dalam logos seperti sebelum benar-benar menciptakannya.

Klik dan baca juga:  Pojok Literasi Peserta Didik SMPK Frateran Ndao Sebagai Sebuah Inovasi dan Kado di HUT Ke-73

Eksistensialisme mulai membalik prioritas itu sehingga eksistensi mendahului esensi. Manusia lebih dulu ada dan kemudian dia harus berupaya memutuskan ´keapa-an´ atau esensinya. Ia dihadapkan dengan persoalan-persoalan semisal “Siapakah saya?” dan “Apa makna eksistensi itu?” dalam sebuah dunia yang tidak memberikan jawaban-jawaban.

Tindakan kehidupan sehari-hari adalah sebuah proses perumusan esensinya. Setelah ia mengalami hidup, ia membuat pilihan-pilihan dan mengembangkan kesenangan dan ketidaksenangannya. Melalui tindakan itu ia merumuskan siapa dirinya sebagai seorang individu. Lewat proses ini ia sampai pada kesadaran bahwa dia adalah apa yang ia pilih untuk ada. Ia menghadapi eksistensi yang ia tidak mempunyai pilihan dalam menerima dan ia dihadapkan pada keharusan mutlak yang tak dapat dielakkan untuk membuat pilihan-pilihan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Fokus realitas berada pada diri (the self) person manusia individual. Mengada (existing) adalah titik bidik utama filsafat eksistensialisme. Manusia dihadapkan dengan realitas-realitas senyatanya dari kehidupan, kematian dan makna, dan ia mempunyai kebebasan yang tak terucap untuk bertanggung jawab atas esensi dirinya.

Ia tidak mempunyai otoritas eksternal yang dijadikan sandaran dan ia melihat sistem-sistem kefilsafatan sebagai ´pemberontakan´ yang tak autentik. Filsafat-filsafat tradisional menyerahkan keautentikan manusia kepada sebuah sistem logis, umat bersandarkan pada Tuhan, kalangan realis memperhatikan alam karena makna, dan kalangan pragmatis bertumpu pada masyarakat.

Semua aliran-aliran itu adalah cara-cara mengangkat (memindahkan) manusia dari realitas nyata sebagai makhluk yang bertanggung jawab atas pilihan-pilihannya. Aliran-aliran itu mengangkat (memindahkan) individu dari upaya mengatasi realitas utama dan krusial dari eksistensi (keberadaan) dirinya sendiri dan maknanya dalam sebuah dunia tanpa makna terlepas dari eksistensi tadi.

Jean–Paul Sartre, seorang eksistensialis ateis, meletakkan keadaan pelik manusia pada alur berikut:

Jika manusia, sebagaimana pemahaman kalangan eksistensialis, adalah sesuatu yang tak terumuskan, maka karena ia awalnya bukanlah sesuatu pun. Hanya selanjutnya ia akan menjadi sesuatu, dan ia sendiri yang membuat ia akan jadi apa. Dengan demikian, tidak ada fitrah manusia, karena tidak ada Tuhan yang perlu dipercayai. Manusia bukanlah semata-mata api yang ia anggapkan tentang dirinya, melainkan juga apa yang ia inginkan tentang dirinya untuk ada setelah keluar menerobos eksistensi. Manusia bukanlah sesuatu pun selain apa yang ia ´cipta´ tentang dirinya. Demikianlah prinsip pertama dari eksistensialisme.

Beberapa pembaca akan menanggapi perspektif kalangan eksistensialis dengan anggapan bahwa hal itu tidaklah masuk akal. Beberapa kalangan eksistensialis tidak begitu menggubris persoalan ini –bagi mereka hidup tidaklah harus dibuat diterima secara intelektual, dalam kenyataannya, hidup bahkan bisa disebut sebagai ´absurb´.

Kebenaran sebagai pilihan

Manusia adalah inti otoritas epistemologis dalam eksistensialisme -bukan manusia sebagai suatu spesies, melainkan manusia sebagai seorang individu. Makna dan kebenaran tidaklah lekat menyatu dalam alam. Agaknya, manusialah yang memberi makna terhadap sesuatu sebagai alam.

Sekadar contoh, tutur kalangan eksistensialis, bagaimana ´hukum-hukum´ alam telah berubah selama beberapa abad berjalan setelah manusia ´menempeli´ alam dengan beragam makna. Manusia mempunyai suatu keinginan kuat untuk percaya pada makna-makna eksternal dan sebagai konsekuensinya ia memilih untuk percaya pada apa yang ia ingini untuk dipercayai.

Jika eksistensi mendahului esensi, maka awal mula datang manusia dan kemudian datang ide–gagasan bahwa manusia diciptakan. Semua pengetahuan berada dalam kedirian individu dan kedirian inilah yang membuat putusan akhir sebagai sesuatu yang benar. Dengan demikian, kebenaran dapat dilihat dalam kaca mata pilihan eksistensial, yang berdasarkan pada otoritas individual.

Bahkan eksistensialis religius lebih percaya pada persepsi mereka tentang perjumpaan personal dengan keilahian daripada terhadap wahyu yang otoritatif. Pendapat epistemologis ini adalah sebuah lompatan radikal dari pendekatan-pendekatan tradisional terhadap kebenaran keagamaan.

Nilai-nilai dari individu

Fokus filsafat eksistensialisme adalah pada dunia aksiologi, sementara inti filsafat tradisional ada pada metafisika dan tekanan utama pragmatisme adalah pada epistemologi. Jika metafisika eksistensial dapat diringkaskan dalam ungkapan kata ´eksistensi´ dan jika konsep epistemologinya dilihat dari kaca mata kata ´pilihan´, maka eksistensialisme berpaham bahwa porsi utama aktivitas hidup dan perhatian filsafat harus ditemalikan dengan interes-interes aksiologi individu yang adalah seorang pemilih eksistensial.

Kalangan eksistensialis dihadapkan pada tugas pelik menghasilkan nilai-nilai dari ketiadaan (nothing). Manusia terlempar ke dalam kehidupan tanpa persetujuannya dan ia bebas untuk menjadi apa pun yang diingininya. Ia tidaklah ditentukan. Agaknya, ia memang ´dikutuk untuk menjadi bebas´. Karena ia bebas, ia bertanggung jawab atas pilihan-pilihan dan tindakan-tindakannya.

Senada dengan ini, Carl Rogers menuliskan bahwa manusia tidak bisa bersandar pada Kitab Suci ataupun para nabi, pada Freud ataupun hasil riset, pada wahyu-wahyu Tuhan atau pada putusan-putusan orang lain. Manusia, sebagai individu, mempunyai pengalaman-pengalaman personal dan membuat putusan-putusan pribadi yang otoritatif. Manusia tidak dimaafkan atas tindakan-tindakannya. Manusia, dalam pandangan Sartre, tidaklah keluar dari kebebasan dan tanggung jawabnya.

Dalam dunia etika, tidak ada di sana sesuatu pun yang absolut, dan tidak ada seorang pun yang bisa menguraikan secara rinci hakikat perilaku yang baik. Jika di sana terdapat suatu otoritas eskternal demikian, hidup akan menjadi lebih gampang, semua orang tentunya akan bertindak selaras dengan tuntutan-tuntutan yang ada. Beban berat dari kebebasan untuk membuat putusan-putusan etis individual terjadi karena manusia harus membuat pilihan-pilihannya itu. Ia tidak dapat bersandarkan pada sumber otoritas apa pun selain dirinya sendiri.

Klik dan baca juga:  Manajemen Pembelajaran yang Sesuai dengan Karakteristik Peserta Didik

Beban berat dari kebebasan yang bertanggung jawab kian dirasakan oleh semua tatkala disadari bahwa masing-masing individu dapat membuat pilihan-pilihan yang berbahaya di kala diwujudkan dalam tindakan nyata. Sungguh, jika masing-masing individu dapat membuat pilihan-pilihan yang berbahaya, mereka dapat juga membuat pilihan-pilihan etis yang mengkonter balikkan ide–gagasan dan tindakan yang terbukti akan membahayakan. Manusia mempunyai potensi yang besar untuk menjadi baik, buruk atau bahkan membinasakan eksistensi sesama.

Menjalani hidup bertanggung jawab juga mencakup bertindak atas keputusan sendiri, sekiranya seseorang ingin menjadi benar atau autentik bagi dirinya sendiri. Konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan bagi seseorang yang bertindak di luar pendirian etiknya tidaklah menjadi perhatian utama sorotan kalangan eksistensialis. Bertindak tidaklah untuk menjadi tak bertanggung jawab- bertindak adalah untuk mengupayakan sebuah dunia tanpa ketegangan dan penderitaan.

Kalangan eksistensialis mencatat bahwa tidak ada ketegangan setelah kematian dan bahwa banyak orang berusaha membuat kehidupan mereka seperti kematian dengan menghindari konflik sekecil apa pun. Lawan dari kematian adalah kehidupan, dan kehidupan bagi kalangan eksistensialis meniscayakan suatu tingkat ketegangan selama seseorang bertindak di luar pendirian–pendirian etisnya.

Sudut pandang estetik kalangan eksistensialis dapat diterangkan sebagai sebuah penyimpangan dari standar umum. Setiap individu adalah ´mahkamah´ utama berkenaan dengan “apa itu indah?” Sebagaimana dalam lingkup-lingkup eksistensi lainnya, tak seorang pun dapat membuat putusan untuk orang lain. Apa yang indah buatku adalah indah, dan siapa dapat menentangku?

Eksistensialisme dan pendidikan

Kaitan eksistensialisme yang tidak begitu lugas dan jelas tentang pendidikan, sebagaimana diungkapkan sebelumnya, janganlah dilihat sebagai kepuasan terhadap aliran-aliran. Sebaliknya, kalangan eksistensialis benar-benar ´terganggu´ akan apa yang mereka dapatkan pada kemapanan pendidikan.

Mereka dengan segera menegaskan bahwa banyak dari apa yang disebut pendidikan sebenarnya tidaklah apa-apa kecuali propaganda yang digunakan untuk memikat audiens. Mereka juga mengungkapkan bahwa banyak dari apa yang dewasa ini dianggap pendidikan sejatinya adalah sesuatu yang membayakan, karena ia menyiapkan peserta didik untuk konsumerisme atau menjadikannya sebagai tenaga modern. Bukan malah mengembangkan individualitas dan kreativitas, keluh kalangan eksistensialis, banyak pendidikan justru memusnahkan sifat-sifat kemanusiaan yang pokok tadi.

Dalam suatu filsafat yang memberontak pada pengekangan individu-individu, satu-satunya hal yang diharapkan adalah bahwa individu akan menjadi pusat usaha serius kependidikan. Van Cleve Morris berpendapat bahwa perhatian utama pandangan pendidikan kalangan eksistensialis adalah upaya untuk sampai pada realisasi yang lebih utuh menyangkut preposisi berikut:

  1. Aku adalah subjek yang memilih, tidak bisa menghindari memilih caraku menjalani hidup.
  2. Aku adalah subjek yang bebas, sepenuhnya bebas untuk mencanangkan tujuan-tujuan kehidupanku sendiri.
  3. Aku adalah subjek yang bertanggung jawab, secara pribadi mempertanggungjawabkan akan pilihan-pilihan bebasku karena hal itu terungkapkan dalam bagaimana aku menjalani kehidupanku.

Peran guru bagi kalangan eksistensialis tidaklah sebagaimana peran guru dalam paham tradisional. Guru eksistensialis bukanlah sosok yang melulu memperhatikan alih pengetahuan kognitif dan sosok yang mempunyai jawaban-jawaban ´benar´ tak terbantahkan. Ia kiranya lebih sebagai seseorang yang berkemauan membantu para subjek didik mengeksplorasi jawaban-jawaban yang mungkin.

Guru bersedia memperhatikan keunikan individualitas masing-masing subjek didik. Ia menyadari bahwa tidak ada di antara dua subjek didik yang sama dan karena itu tidak ada di antara keduanya membutuhkan pendidikan yang benar-benar sama.

Kalangan eksistensialis mengupayakan terjalinnya relasi tiap-tiap subjek didik dalam apa yang diistilahkan Buber sebagai pola relasi “Saya-Kamu” (I-Thou) daripada “Saya–Dia” (I–It). Yakni, ia memperlakukan subjek didik sebagai individu yang dengannya ia dapat mengenali secara personal daripada sebagai “Dia sesuatu” (It) yang secara eskternal perlu diarahkan dan diisi dengan pengetahuan.

Guru eksistensialis kiranya dapat digambarkan sebagai apa yang disebut Rogers dengan ´fasilitator´. Dalam peran ini, guru mau menghargai aspek-aspek emosional dan irasional individu-individu dan mau berupaya serius mengarahkan subjek didik ke pemahaman yang lebih baik tentang diri sendiri.

Ia dan kaum muda subjek didik yang bersamanya akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan akhir (puncak) tentang kehidupan, kematian, dan makna seraya mereka mengeskplorasi pengalaman-pengalaman manusia dari beragam sudut pandang.

Dalam semua pengalaman-pengalaman itu, baik guru maupun subjek didik akan belajar dan berbagi peran seraya mereka meningkatkan kesadaran mengenai bagaimana menemukan dan menjadi diri sendiri dalam sebuah dunia mekanistik yang ´getol´ merenggut kedirian dan individualitas mereka.

Kurikulum dalam sebuah sekolah eksistensialis tentunya terbuka bagi perubahan karena konsepnya tentang kebenaran adalah selalu berkembang dan berubah. Dari perspektif ini, pilihan subjek didik akan menjadi sebuah faktor penentu dalam penyeleksian materi pengajaran. Namun, ini tidak berarti bahwa materi pengajaran tradisional tidak mendapatkan tempat dalam pendekatan kurikuler mereka. Hal ini agaknya lebih menunjukkan akan fleksibilitas kurikuler berlawanan dengan perjenjangan tradisional menyangkut materi pengajaran dalam pertimbangan kadar nilai guna.

Klik dan baca juga:  Kita Sebenarnya Sudah Terlalu Bebas Berbicara

Kalangan eksistensialis secara umum setuju bahwa dasar-dasar pendidikan tradisional, yakni tiga R (membaca, menulis dan berhitung), sains dan kajian sosial harus dipelajari. Hal ini, yang disebut sebagai dasar-dasar, adalah landasan bagi upaya kreatif dan kemampuan manusia untuk memahami diri sendiri. Namun, dasar-dasar materi kajian itu harus ditampilkan dalam hubungannya dengan perkembangan afektif subjek didik daripada diisolasikan dari makna dan tujuan individu sebagaimana seringkali terjadi dalam pendidikan tradisional.

Kajian humanities juga dianggap penting dalam kurikulum eksistensialis karena ia memberikan ´pencerahan´ yang besar akan persoalan-persoalan berat eksistensi manusia. Kajian humanities mengembangkan tema-tema seputar orang yang membuat putusan tentang seks, rasa benci, kematian, penyakit, dan aspek-aspek lain yang berarti dari kehidupan.

Mereka menghadirkan sebuah pandangan menyeluruh tentang manusia baik dari perspektif positif maupun negatif dan karenanya lebih unggul dibandingkan sains dalam membantu manusia memahami dirinya sendiri.

Di luar dasar-dasar tersebut dan kajian humanities, kurikulum kalangan eksistensialis terbuka luas. Materi kajian apa pun yang bermakna bagi individu bisa dibenarkan untuk ada dalam rencana kajian (pembelajaran).

Metodologi bagi kalangan eksistensialis memiliki jumlah kemungkinan yang tak terbatas. Mereka mencela keseragaman (penyeragaman) materi, kurikulum, dan pengajaran, serta menyatakan bahwa harus ada banyak pilihan-pilihan yang terbuka bagi subjek didik yang berkeinginan untuk belajar.

Pilihan-pilihan itu janganlah dibatasi secara kaku pada sekolah tradisional, akan tetapi kiranya dapat ditemukan dalam tipe-tipe alternatif dari sekolah, atau dalam lingkup bisnis, pemerintahan atau urusan-urusan pribadi. Ivan Illich telah menggagas beberapa usulan untuk keseragaman pendidikan dalam bukunya Deschooling Society (1970) yang bisa diapresiasi oleh banyak kalangan eksistensialis.

Kriteria metodologi kalangan eksistensialis berpusat pada konsep-konsep tiadanya ´pemaksaan´ dan metode-metode ini yang akan membantu subjek didik menemukan dan menjadi diri sendiri. Kiranya prototipe metodologi kalangan eksistensialis dapat dilihat lewat pendekatan-pendekatan sebagaimana Freedom to Learn Carl Rogers (1969) dan Summerhill:  A Radical Approach to Child Rearing  A.S. Neill (1960 M).

Kalangan eksistensialis pada umumnya tidak memperhatikan kebijakan sosial pendidikan atau sekolah. Filsafat mereka bertumpu sepenuhnya pada penekanan atas individu daripada atas aspek-aspek sosial eksistensi manusia.

Perspektif

Filsafat-filsafat modern pragmatisme dan eksistensialisme, selain perbedaan-perbedaan, mempunyai beberapa titik persamaan. Berbeda dengan filsafat-filsafat tradisional, keduanya menolak pertimbangan-pertimbangan epistemologis apriori, dan mengecilkan puncak akhir serta esensi metafisis yang berada di luar jangkauan manusia.

Di samping itu, keduanya adalah relativis dalam kaitannya dengan nilai-nilai dan kebenaran, dan keduanya adalah humanistik atau berpusat pada manusia. Perbedaan utama antara pragmatisme dan eksistensialisme adalah bahwa yang pertama mendasarkan relativisme dan humanismenya pada otoritas masyarakat, sedangkan yang belakangan menekankan peran individu.

Dalam pendidikan, filsafat-filsafat modern juga mempunyai kesamaan di samping perbedaan-perbedaan yang dibicarakan dalam bab ini. Sebagai misal, keduanya (pragmatisme dan eksistensialisme) memandang guru sebagai figur yang lebih berperan menjadi pemandu atau fasilitator daripada menjadi figur yang otoritatif, keduanya mengakui bahwa kurikulum haruslah berpusat pada kebutuhan-kebutuhan subjek didik daripada berpusat pada inti utama ´kebenaran´ yang tak berubah, dan keduanya menolak peran sekolah sebagai institusi utama pengalihan pengetahuan masa lalu bagi generasi-generasi mendatang.

Pragmatisme dan eksistensialisme telah mempengaruhi pendidikan abad XX. Sejauh ini, pengaruh pragmatis telah memberikan kesan kuat pada setiap aspek pendidikan modern dari arsitektur, perlengkapan kelas yang bisa dipindah-pindah, dan pusat-pusat kegiatan, hingga pada kurikulum semua jenjang pendidikan yang diperluas sampai mencakup keterampilan dan kemampuan praktis, selain kemampuan akademis.

Beberapa pengamat mencatat bahwa pragmatisme telah ´mentransformasikan´ persekolahan di Amerika Serikat dan negara-negara lain. Pengaruh eksistensialisme kiranya lebih belakangan, sehingga kurang dramatis. Namun, tentunya gerakan-gerakan alternatif pendidikan, humanisme pendidikan dan persekolahan yang mencuat pada dekade 1970-an telah menemukan bagian utama akar pemikiran dalam eksistensialisme.

Kesimpulannya, sebuah peringatan yang harus ditekankan dalam kajian sistem-sistem filosofis adalah bahwa tidak selalu mungkin atau bahkan dapat diharapkan untuk menyelaraskan baik diri kita ataupun filsafat-filsafat formal atau baku ke dalam susunan kotak-kotak kecil yang disebut idealisme, realisme atau eksistensialisme.

Sistem-sistem ini, sebagaimana telah dituliskan, hanyalah sebutan-sebutan untuk membantu pemikiran kita selama kita mengaitkan jawaban-jawaban yang mungkin dengan isu-isu mendasar yang dihadapi umat manusia selama berabad-abad. Bab V akan mengembangkan beberapa perluasan perbincangan pendidikan tentang filsafat-filsafat tradisional dan modern sebagaimana terungkapkan pada abad XX.