Oleh Pius Rengka
Hugo de Brugh, Profesor Jurnalisme di Universitas West Minster, London. Dia pun Direktur pada China Media Centre.
Pada tahun 2007, Brugh mengajar jurnalisme investigasi di Tsinghua University di bawah naungan The Chinese Ministry of Education’s International Leading Scholar Programme. Salah satu karya monumentalnya, buku Investigative Journalism, 2008.
Buku ditulis Brugh tidak hanya didedikasikan untuk para mahasiswanya. Ia juga menawarkan pengetahuan penting tentang jurnalisme bagi para jurnalis agar mereka sanggup menulis dengan standar kebenaran fakta yang tinggi. Kemudian hari, kita kenal dengan sebutan akurasi.
Jurnalisme investigatif merupakan suatu genre jurnalisme berkelas tinggi karena proses sampai ke penulisan laporannya dengan pendekatan ilmiah. Didahului mencermati fenomena, riset, membaca teks dan konteks, mencermati konten sambil melihat perspektif lalu menjahitnya sebagai laporan fakta. Para ahli menyebutnya indepthnews.
Maka kerja jurnalis investigatif adalah setara pekerjaan akademikus kampus. Ia periset. Bedanya, hasil riset periset kampus diumumkan ke publik relatif lebih lama dibandingkan hasil kerja jurnalis investigatif.
Karya jurnalistik diumumkan segera setelah jurnalis menemukan fakta. Dia melaporkan proses penemuan fakta agar pembaca menangkap konteks. Biarkanlah pembaca membangun perspektifnya sendiri.
Karena cara kerja jurnalis investigatif persis sama dan sebangun dengan cara kerja peneliti di lembaga riset atau perguruan tinggi, maka jurnalis dituntut bernalar tinggi, badan sehat, lincah, tetapi serentak dengan itu hasrat ingin tahu dikipas supaya terus mendidih, bergelora, disertai keberanian pergi jauh ke kedalaman yang lebih ke dalam (duc in altum), sambil merawat kemurnian objektivitas.
Jurnalis tidak diberi wenang membenci siapa pun. Bahkan termasuk lawan politiknya. Jurnalis membenci semua jenis keburukan dan semua bentuk sebab kejadian buruk yang merugikan kepentingan banyak orang.
Jurnalis adalah jembatan pembawa kabar sesuai fakta. Bahkan dalam bahasa Kitab Suci, pada mulanya adalah sabda. Sabda itu kata. Jurnalis juga menghindari emosi pribadi, apalagi menakar orang lain dengan takaran pribadi.
Seperti kata Uskup Agung Filipina, Jaime Sin, yang ikut menggerakkan people power menumbangkan Ferdinand Marcos, “saya menolak komunisme, tetapi saya tidak membenci orang komunis”. Atau jurnalis boleh belajar dari jurnalis Italia, Oriana Falaci yang selain cerdas, tetapi juga berani menembus sumber nan sulit.
Jurnalis tidak boleh menyalahkan angin. Gusar terhadap gelombang lautan, atau dengki pada sinar terik mentari atau galau redup rembulan yang tampak tidur di balik selimut kegelapan malam. Jurnalis menulis angin, gelombang lautan, sinar mentari atau redup rembulan sebagai fakta empirik yang tidak dapat ditolak.
Kata “deskripsi” penting. Melukiskan apa adanya. Biarkanlah pembaca menilai seperti apa adanya. Para pembaca punya cara sendiri membaca karya jurnalistik dengan perspektif pembaca yang amat beragam. Itu urusan mereka.
Urusan jurnalis, menulis saja apa adanya. Diksi deskriptif, bukan preskriptif. Tulisan jurnalis itu seperti janji matahari. Tepat datang pagi, tetapi juga pas tenggelam di balik senja.
Jurnalisme investigatif pertama kali dikenal pertengahan abad 19 ketika rasionalisme sedang diaduk perdebatan ilmiah, relasi rakyat dengan para politisi memburuk. Jurnalisme investigatif sebagai sebuah genre jurnalisme ilmiah yang lahir pada konteks sosial tertentu. Proses menuju kebenaran fakta sebagai fakta adanya pun pasti tidak gampang.
Sebaliknya jurnalisme paling gampang dan tentu saja sangat sederhana ialah jurnalisme press release. Press release dibuat orang lain, lalu ditulis ulang, bahkan difotocopi persis sama dengan press release yang dibuat lembaga pemerintah atau swasta. Perpindahan berita dari meja penulis asli ke jurnalis hanyalah perpindahan kertas atau pesan berisi tulisan lewat japri, kemudian dilengkapi unsur-unsur berita 5W plus 1H, lalu diupload ke publik. Ini jurnalisme humas pemerintah atau humas swasta. Jurnalis yang berkelas adalah jurnalis yang tidak hanya meneruskan press release, tetapi juga menemukan fakta di tengah massa rakyat jelata.
Namun, Jude Lorenzo Taolin, berbeda. Dia melakukan investigasi tentang desas-desus. Bahwa ada pemain bahan bakar minyak ilegal di berbagai tempat di NTT, khususnya di wilayah perbatasan negara Timor Leste dan Indonesia.
Desas desus, awalnya berpangkat sama seperti kentut. Bau tercium, tetapi tidak tahu sumber bau itu bermula. Lalu asumsi dibangun, dengan logika amat sangat biasa. “Tidak mungkin ada bau busuk tanpa ada bangkai, atau tanpa ada juru kentut”.
Desas-desus tentulah bukan berita bernilai. Bahkan tidak bernilai berita. Karenanya, Jude Lorenzo Taolin melakukan investigasi dengan modal sejumput pertanyaan dan hasrat ingin tahu yang mendidih. Juga keberanian mencari kebenaran di tengah kegelapan para mafia minyak.
Dia menelisik, mencatat. Lalu ditelisik lagi dan mencatat lagi. Kemudian menemukan fakta sebenarnya. Siapa melakukan apa, di mana, kapan dan bagaimana. Tulisan standar jurnalistik yang pakem.
Karena jurnalisme selalu mengabdi pada prinsip clarity dan certaninty (kejelasan dan kepastian), Jude pun melakukan serial pertanyaan kepada para pihak atas nama prinsip lain jurnalistik yaitu cover bothsides atau cover multisides dengan metode check and recheck bahkan cross check.
Namun, pemain minyak ilegal benci jurnalis. Mereka benci pertanyaan. Orang takut pertanyaan. Pertanyaan ditakuti karena jawaban atas pertanyaan itulah yang mengancam komplotan dan para kompradornya. Artinya, mengganggu kepentingan mereka.
Singkat ceritera, Jude Lorenzo Taolin mendapatkan fakta. Ditemukan fakta para pemain dan jenis mainannya. Para juru selundup. Komplotan ini bagai tikus comberan yang bermain di dunia kotor. Cara legal tidak pas, karena legalitas selalu meminta keabsahan atau dasar wenang. Pastilah cara itu selain tidak legalistis, tetapi juga tidak meraup legitimasi.
Demi menerangkan lebih jelas ceritera Jude Lorenzo Taolin, sejumlah penegak hukum ikut turun tangan. Mereka memburu para pelaku. Dan, itu benar. Penegak hukum bertugas menegakkan hukum agar negara tertib. Bukankah satu dari tiga tugas pokok negara ialah menjaga ketertiban sosial?
Tulisan Jude Loenzo Taolin adalah sebuah protes, sebuah kritik terhadap kelakuan warga negara yang tidak patuh hukum. Lalu soalnya di mana?
Andaikan laporan Jude Lorenzo Taolin tidak akurat, ada dua cara yang dapat ditempuh oleh orang yang merasa dirugikan berita itu. Pertama, ajukan hak jawab dan kedua ajukan ke pengadilan jika ada prinsip-prinsip jurnalisme yang dilanggar.
Jude Lorenzo Taolin menemukan pelaku lain yang sungguh mencengangkan pembaca. Oknum aparat negara diduga terlibat jauh untuk urusan ini. Maka isu rent seeking mencuat jua. Dagang wewenang itu gampang. Caranya, mengangkangi kewenangan.
Jude menulis temuannya itu dengan bahasa yang amat sangat santun. Dia melaporkan “dugaan” penimbunan dan penjualan ilegal bahan bakar minyak subsidi jenis solar oleh komplotan para setan yang melingkar di dalam lingkaran setan.
Temuannya jelas. Tetapi, akibatnya juga jelas. Jude Lorenzo Taolin diancam. Para pengancam meminta jurnalis cerdas ini mencabut beritanya. Cara terbaik mencabut berita ialah dengan meniadakan sumber berita. Sumber berita ialah kelakuan buruk. Agar berita sejenis ini tidak ada lagi, bukan mengancam penulis fakta. Tetapi, meniadakan peristiwa buruk. Atau berhenti berkelakuan buruk. Sesimpel itu.
Jude Lorenzo Taolin menulis fakta, standar kerja jurnalisme dipenuhi, prinsip jurnalisme pun dipatuhi. Lalu, mengapa Anda marah pada kebenaran?
Seharusnya Jude Lorenzo Taolin diberi apresiasi tinggi. Jika perlu Jude Lorenzo Taolin diberi hadiah sepantasnya, bukan dihadiahi ancaman, karena setiap ancaman hanyalah sejenis kekerdilan sosial yang tidak patut di masyarakat beradab.
Begitulah pleidoi ini kutulis buat Jude Lorenzo Taolin. Kepadanya aku sungguh berkenan. Viva democratia.