Pluralisme Agama, Anugerah atau Bencana?

Whatsapp Image 2022 05 04 At 00.20.39
Umbu Tagela. Foto/dok ist.

Adalah tugas kita bersama untuk mengembangkan landasan moral, etik dan spiritual yang kokoh bagi kebersamaan kita sebagai bangsa.

Oleh Umbu Tagela, Pengajar di FKIP UKSW Salatiga

Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan the founding fathers bangsa ini pada dasarnya merupakan kesatuan dari berbagai suku, agama, bahasa daerah, budaya, dan sosial, yang sepakat untuk menyatu dalam satu wadah negara kesatuan yang namanya Republik Indonesia. Bung Karno (1951) pernah mengatakan “Negara kita Republik Indonesia akan hidup kekal abadi.” Ortega Gasset (1961) mengingatkan bangsa Spanyol, negara mereka tidak ada lagi. Andrei Amalrik (1969), sejarawan Soviet, menulis sebuah esai yang menelaah sebuah pertanyaan, apakah setelah tahun 1984 Uni Republik Soviet Sosial yang dibentuk Lenin pada akhir tahun 1922 masih akan hidup?

Pada tahun 1918 dibentuk sebuah Republik Jerman sebagai negara baru, tetapi hanya dapat hidup sampai 1933 setelah Hitler berkuasa. Yugoslavia yang dibangun dengan susah payah oleh Tito terpecah belah oleh persolan etnis dan agama. Di Asia Tenggara kini juga ada negara-negara yang mengalami gejolak perpecahan seperti suku Moro di Filipina, Myanmar: Kerajaan Kamboja yang kecil sempat didestabilisasikan Vietnam tahun 1978.

Karya Amalrik menunjukkan, negara besar Uni Soviet dapat pula dipertanyakan eksistensinya telah terbukti tidak bertahan. Beda dengan Amerika Serikat yang hingga kini telah berusia 228 tahun. Hal yang mengesankan adalah konstitusi Amerika Serikat belum pernah diganti dengan konstitusi lain sedangkan negara Indonesia tahun 1950 ketika baru berusia lima tahun telah mengalami dua kali pergantian konstitusi.

Kendati demikian sampai kapan negara-negara bagian di Amerika Serikat dapat bertahan hidup seperti saat ini, tetap menjadi persoalan serius bagi para Sosiolog dan Futurulog seperti Toffler dan Naisbitt.

Toynbee (1955) sejarawan besar Inggris pernah meramalkan, Amerika Serikat mengalami nasib sama dengan nasib Astro-Hongaria yang dibentuk tahun 1867 sebagai sebuah negara besar di Benua Eropa yang tahun 1918 mengalami disintergrasi akibat revolusi Perang Dunia I, dimana terjadi benturan kebudayaan antara budaya Eropa Utara dengan budaya Eropa Selatan. Bukti-bukti sedang terjadi gejolak sosial budaya pada masyarakat pluralis dalam suatu negara masih berlangsung hingga kini seperti juga di Indonesia (Umbu Tagela, 2000).

Dalam sebuah pidato tahun 1959 Bung Karno mengatakan akhirnya negara kita akan menghilang (will be withering away). Saat itu tidak ada yang mengetahui teori Lenin tentang negara dan revolusi dalam bukunya The State and Revolution (1917). Ungkapan Bung Karno itu lebih menyerupai ucapan diplomatis guna menyenangkan golongan Komunis di Indonesia sesuai target Lenin, pada akhirnya tidak ada lagi negara Rusia tetapi yang ada hanya masyarakat komunis.

Kini setelah 45 tahun, ucapan Bung Karno yang sekadar meniru Lenin perlahan-lahan muncul kepermukaan. Masyarakat Sulawesi Selatan, masyarakat Papua,  masyarakat Aceh, dan daerah lain mungkin menyusul ingin merdeka. Berbagai gejolak sosial silih berganti dengan derajat intensitas tinggi mendera kehidupan masyarakat di daerah.

Pertanyaan yang segera muncul adalah akankah negara Indonesia bertahan sebagai negara kesatuan? Dalam kondisi galau dan gamang seperti itu muncul otonomi daerah sebagai solusi untuk meredam disintegrasi bangsa. Pertanyaannya, benarkah otonomi daerah dapat menjadi perekat kesatuan dan persatuan?

Indonesia merupakan negara yang masyarakatnya pluralis. Setiap masyarakat pluralis merupakan suatu masyarakat ideal. Masyarakat terbentuk berdasarkan modal demokrasi liberal klasik ciptaan John Stuart dan John Richard Green yang dalam abad 19 masih dipandang sebagai suatu masyarakat ideal. Kini bagi kaum penganut teori empiris, model demokrasi liberal klasik yang didasarkan pada konsep-konsep Mill dan Green berkesimpulan, negara merupakan cermin sifat pokok manusia (the essential nature of man).

Hal ini akan merujuk pada pendapat Jermy Bentham, Thomas Hobbes. Mengacu pada pandangan ini masyarakat dianggap sebagai bentuk persaingan secara bebas (freely competive market relations). Bentham dan Hobbes menempatkan manusia sebagai titik sentral. Pada abad ke-20 Mill dan Green memandang manusia dari sudut moral yang makin hari makin tidak dapat dipertanggungjawabkan. Konsep Mill dan Green tidak sesuai dengan konsep humanisme yang makin memiliki kecenderungan yang kuat.

John Rawls (1971) seorang penganut teori empiris terkemuka dengan karyanya A Theory of Justice dan Robert Nozick (1974) dengan karyanya Anarchy, State and Utopis, mengecam demokrasi liberal klasik sebagai suatu masyarakat pluralis yang tidak sesuai nilai humanisme.

Klik dan baca juga:  Merindukan Suara Agung Azan Masjid yang Membumi

Namun seperti dilihat CB Machpherson (1977) para penganut teori empiris akan berhenti di tengah jalan dengan teorinya tentang negara, karena akan membahayakan posisi mereka sebagai juru bicara demokrasi liberal klasik, mengingat model manusia dan masyarakat yang mereka ciptakan secara moral makin tidak disukai orang, sehingga kesimpulannya adalah penganut teori empiris tidak memerlukan teori tentang negara.

Namun, dalam kecaman-kecaman yang mereka lakukan hanya merupakan konsep teori keadilan pemerataan (distribution justice), yakni pembagian yang adil dari barang-barang primer atau teori kebebasan, yakni besaran dan macam kebebasan individu yang dapat diperbolehkan dan secara moral dapat diinternalisasikan.

Para penganut teori empiris ada di persimpangan jalan, di satu pihak mereka mengecam demokrasi liberal klasik dilihat dari sudut nilai humanisme, tetapi di pihak lain mereka tetap menjadi juru bicara masyarakat pluralis. Hal seperti itu tidak terjadi pada penganut teori empiris, mereka bersedia mengambil risiko untuk meninggalkan negara pluralis.

Kecaman-kecaman seperti dilancarkan Lenin terhadap demokrasi liberal klasik sebenarnya tidak asing bagi pengecam konsep yang sama. Bedanya, bila yang pertama bersedia meninggalkan masyarakat yang pluralis maka yang terakhir tetap konsisten menolak konsep kediktatoran.

Bagi penganut empiris, jalan keluar yang menjebak kediktatoran akhirnya ditolak dan menerima atau mempertahankan eksistensi masyarakat pluralis. Bagi Lenin kediktatoran kaum proletar hanya bersifat sementara, karena hanya merupakan salah satu tahap dalam proses peralihan masyarakat komunis. Berbeda dengan kediktatoran yang ada pada masyarakat kapitalis yang berakhir jika masyarakat kapitalis itu berakhir.

Pluralisme agama

Toleransi berarti suatu kerelaan untuk menerima realitas adanya orang lain di samping kita. Hidup manusia merupakan suatu realitas yang menunjukkan adanya saling tindak (interaction) antara berbagai manusia. Atas dasar itu maka toleransi mesti teranyam rapi dalam suatu jalinan kerja sama dengan mengambil bentuk yang beraneka ragam.

Almarhum Prof Sijabat dalam bukunya ”religion tolerance and the christian faith” menakrifkan toleransi sebagai endurance atau ketabahan, yang tidak hanya membiarkan orang lain hidup di sekitar kita tanpa larangan apalagi intimidasi, tetapi juga  kerelaan dan kesediaan memahami pemeluk agama lain dengan penuh hormat dalam suatu dialog yang seakrab mungkin. Dialog seperti ini bukan merupakan monolog bilateral. Dialog yang sebenarnya adalah kesediaan untuk mendengar dari kedua belah pihak namun tanpa jatuh ke dalam bahaya sinkritisme, skeptisisme dan relativisme.

Ada banyak contoh dalam alkitab Perjanjian Baru, tentang perjumpaan agama Kristen dengan agama-agama lain (Yahudi, bidat-bidat, agama suku). Dalam perjumpaan itu sering terlihat keinginan orang Kristen untuk menarik orang lain.

Pada abad ke IV-XV di Eropa terjadi perjumpaan agama Kristen dengan agama suku yang relatif lemah, mengakibatkan agama Kristen bersikap superior dan triumfalistik bahkan totaliter. Dan ketika perang salib berakhir dengan kemenangan Islam, kalangan gereja melihat Islam sebagai musuh yang paling besar.

Karena itu, penginjilan makin diintensifkan, dan pandangan seperti ini bertahan hingga abad ke XIX. Kemudian terjadi perubahan pengertian terhadap penginjilan, yaitu dari pengertian mentobatkan orang kepada agama Kristen, menjadi “sharing of experience” (membagikan pengalaman tentang karya Kristus yang sotereologis).

Dalam tautan makna yang sama Singgih (2000:17) mengatakan gereja begitu lengket dengan masa lalu adalah sikap dan pandangan banyak orang Kristen terhadap mereka yang berada di luar kelompok mereka, sikap terhadap orang lain, sikap terhadap “the other”. Selanjutnya dikatakan bahwa orang Kristen terbiasa dengan ungkapan mengasihi sesama yang diartikan sebagai se-agama, se-ras, se-aliran, se-gereja dan sebagainya.

Pandangan ini menurut Singgih (2000) amat menyesatkan. Puncaknya adalah munculnya Hendrik Kraemer, yang di satu pihak menekankan bahwa memang agama Kristen tidak punya keunggulan dibandingkan dengan agama lain, karena pada hakikatnya semua agama termasuk agama Kristen adalah hasil upaya manusia, dan sebagai yang demikian semua itu adalah “ketidakpercayaan“ (unglaube). Selanjutnya, Kraemer menekankan bahwa bukan agama yang menyelamatkan, melainkan Kristus. Jadi yang harus diberitakan kepada orang lain adalah Kristus.

Toleransi agama berdasarkan Pancasila adalah toleransi agama secara positif dan tidak memberi peluang bagi: politheisme, atheisme dan nihilisme

Pancasila bukanlah idealisme, melainkan ia adalah “ideologi” dan “falsafah” negara. Karena dalam Pancasila ada ide-ide: “koeksistensi, proeksistensi dan toleransi” dengan tujuan agar masyarakat yang beraneka ragam itu dapat hidup rukun sebagai bangsa yang senasib seperjuangan. Pengertian koeksistensi itu khas Indonesia yang memberi tempat bagi perorangan dalam kebersamaan dan dengan demikian dimungkinkan adanya proeksistensi, artinya seseorang harus mampu hidup bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk/demi kepentingan orang lain.

Klik dan baca juga:  Perguruan Tinggi di Indonesia: Lembaga Sosial atau Lembaga Ekonomi

Sebagai proses lanjutan dari proeksistensi, menuntut adanya sikap tenggang rasa masyarakat. Dengan koeksistensi, proeksistensi dan toleransi positif, memungkinkan bangsa Indonesia bersikap reseptif dan terbuka terhadap hal-hal yang datang dari luar, yang kemudian membaur dalam suatu kebersamaan.

Dalam kaitan dengan hal tersebut Singgih (2000:154-155) mengatakan bahwa orang Kristen baru menyadari kemajemukan agama sekitar tahun 80-an dan baru pada tataran diskursus (wacana).

Sebelumnya orang Kristen cenderung mendiskusikan konteks keagamaan Indonesia dalam wacana mengenai “kebangsaan” sementara tetangga-tetangga kita adalah orang Indonesia yang beragama lain dan yang juga ingin menonjolkan agamanya dan menyangkali kenyataan pluralisme keagamaan yang hidup dalam masyarakat Indonesia.

Di dalam melaksanakan kebebasannya agama-agama itu harus memperhitungkan keberadaan agama-agama lain, sehingga tidak terjadi konflik, tidak merusak keserasian, kesatuan dan persatuan bangsa. Persoalan dapat saja mencuat kepermukaan apabila kedua prinsip tersebut di atas hendak dilaksanakan bersama-sama secara serasi dan seimbang.

Dalam praktik kebebasan beragama tidak jarang ditemukan konsekuensi terganggunya kerukunan beragama. Dalam hubungan yang sama Stevi Lumintang (2002:35) mengatakan bahwa kesadaran masing-masing agama mengenai fakta kemajemukan agama, tidak hanya sampai pada tingkat mengakui kehadiran atau keberadaan agama-agama lain, melainkan juga dituntut kesiapan dan kemauan untuk membangun hubungan yang baik atau toleransi agama.

Toleransi positif di dalam masyarakat Pancasila, adalah toleransi positif yang dilaksanakan di dalam semangat dialogis, artinya agama-agama tidak berjalan sendiri-sendiri di dalam kebebasannya masing-masing, tetapi kebebasan itu dilaksanakan di dalam dialog yang terus-menerus dengan penganut-penganut agama lain.

Toleransi positif yang diadakan dengan semangat dialogis yaitu dimana segala sesuatu dibicarakan bersama dalam suasana penuh kebebasan, sikap mau mendengar dan belajar, dan ketulusan untuk memberi dan menerima. Dalam hubungan dengan hal tersebut di atas, John Hick dan Paul F Knitter (2001:3) mengatakan bagaimana orang-orang dan komunitas-komunitas yang berbeda dengan berbagai perbedaan bisa tiba pada pemahaman dan penghargaan atas cara-cara mereka satu sama lain dalam keadaan sebagai manusia? Pada hal mereka memiliki konsep-konsep yang berbeda tentang dunia dan hidup manusia.

Dialog antar umat beragama di Indonesia sangat penting oleh karena agama-agama mempunyai tempat dan peranan yang sah di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dan peranan itu menjadi konstitusional, karena dalam GBHN 1998, ditetapkan bahwa agama-agama mempunyai tugas untuk secara bersama-sama dan terus-menerus meletakkan kerangka landasan etis, moral, dan spiritual bagi pembangunan nasional.

Dalam kaitan yang sama Franz Magnis Suseno (2001:35) mengatakan untuk menangani pluralisme modern itu, masyarakat perlu mengembangkan kemampuan-kemampuan psikis dan etis tertentu: kemampuan untuk dalam hidup sehari-hari hidup dan bekerja sama dengan orang-orang yang beradat (beragama, bersuku) lain secara enak dan rileks, kemampuan untuk bertoleransi untuk menghormati keyakinan-keyakinan religius dan politik yang berbeda, untuk merasa solider dengan saudara sebangsa sebagai manusia, meskipun barangkali termasuk suku atau umat atau kelas sosial yang lain.

Operasionalisasi dari dialog agama, didahului oleh beberapa proses yaitu: proses re-edukasi ke dalam, proses menciptakan kondisi objektif yang kondusif dan proses penyadaran tentang urgensi. Operasionalisasi dari dialog agama itu sendiri dapat disebutkan:

  1. Terus mengubah diri dan menciptakan kondisi nyata menyadarkan tentang urgensi dari dialog agama itu sendiri.
  2. Program-program yang dilakukan sedapat mungkin dilakukan dengan mengundang orang-orang dari kelompok agama lain.
  3. Mengadakan proyek-proyek studi maupun praktis yang melibatkan orang-orang dari berbagai kelompok agama.
  4. Mendorong dan membantu kelompok-kelompok diskusi khususnya dikalangan cendekiawan, generasi muda dan kelompok profesi, (Umbu Tagela, 2001).

Sehubungan dengan hal tersebut di atas Paul F Knitter (2003:13) mengatakan terlepas dari berbagai kesulitan menyangkut “dialog pembebasan” semacam itu di sebuah negara dimana agama berhasil dipakai untuk mendukung “komunalisme” atau faksionalisme seperti yang terjadi di India dimana umat Hindu, Kristen dan Muslim bersatu memerangi penindasan atau komunalisme, dan saling belajar dalam pergumulan bersama mereka.

Selanjutnya Paul F Knitter (2003:49) mengatakan semua agama harus berbicara dan bertindak bersama walaupun diakui ada perbedaan dan partikularitas radikal dan tak terhindarkan di antara semua agama.

Klik dan baca juga:  Profesi Konselor: Stres atau Tidak?

Pluralisme sebagai anugerah

Dari segi filosofi, pluralisme senantiasa mengandung nilai positif, artinya pluralisme merupakan aset yang tak ternilai harganya jika dipahami dengan baik oleh setiap manusia yang berbeda latar belakang agama, sosial budaya dan ras berbeda.

Di samping itu pluralisme dapat pula menumbuhkan rasa solidaritas sosial yang tinggi, kesetiakawanan sosial yang tinggi, rasa kebersamaan yang tinggi manakala setiap orang yang berbeda latar belakang tersebut menempatkan konsep manusia dengan segala kemanusiaannya pada suatu tataran pemahaman yang benar sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa pluralisme pada dirinya merupakan suatu perbedaan yang secara hakiki ingin mengembangkan suatu pola hidup yang variatif sesuai dengan kondisi objektif yang melingkupi.

Pluralisme mesti juga dipahami sebagai realitas kehidupan yang tidak dapat ditolak oleh siapa pun yang hidup di atas muka bumi ini. Oleh karena itu, maka kesadaran akan adanya perbedaan termasuk pluralisme agama harus dipahami sebagai kodrat yang perlu disiasati untuk kemaslahatan hidup manusia di atas muka bumi ini.

Pluralisme sebagai bencana

Harus diakui, bahwa pluralisme dapat menjadi bencana dalam kehidupan manusia, seperti telah dilukiskan oleh para pakar seperti Almarik, Toynbee, Ortega Gasset. Pandangan ketiga pakar tersebut secara prinsipil lebih menyentuh aspek negara, tetapi secara linear dapat dijadikan pijakan untuk meneropong berbagai dimensi kehidupan manusia.

Pluralisme agama, seperti yang terjadi di negara-negara yang penduduknya menganut agama yang berbeda seperti Indonesia, dalam sejarahnya selalu saja menimbulkan konflik. Hal ini dapat disebabkan oleh pemahaman terhadap agama yang relatif sempit, atau bisa juga terjadi karena agama digunakan oleh para politisi untuk merebut kekuasaan, mempertahankan kekuasaan atau juga untuk menguasai bidang ekonomi.

Pada pilahan seperti ini, agama dijadikan sebagai alat kekuasaan atau juga alat untuk melegitimasi tindakan golongan mayoritas terhadap golongan minoritas pada negara tertentu. Fenomena empirik ini, cepat atau lambat akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan mayarakat yang hidup harmonis, rukun dan damai.

Kesimpulan

Pemimpin agama adalah pihak yang ikut menentukan perwujudan toleransi agama. Sikap intoleransi dari para pemimpin agama bisa terjadi karena pemutlakan keyakinannya. Intoleransi agama bisa menimbulkan konflik terbuka, tetapi juga bisa menimbulkan bentuk fanatisme yang dapat dikaitkan dengan kuasa politik. Sehingga dapat menimbulkan konflik terbuka secara fisik. Konflik demikian dapat terlihat dalam bentuk penganiayaan, hambatan bagi yang lemah, perang termasuk konflik horizontal.

Timbulnya kenyataan pluralisme dalam masyarakat Eropa dengan semboyan “cuius regio aeius religio”, yang mengandung toleransi politis teritorial. Walaupun secara lokal prinsip ini tidak dengan sendirinya menjamin toleransi terhadap keyakinan individual (bahkan bisa sebaliknya).

Misalnya Pangeran Albert V dari Bavaria (1550-1579) mewajibkan bangsawan-bangsawan untuk kembali ke dalam gereja Katolik. Di Inggris pada tahun 1689 diundangkan toleration act oleh Raja William dan Ratu Mary yang memberi kebebasan pribadi kepada berbagai mazhab Protestan. (Tidak berlaku bagi Katolik dan anti trinitarisan). Amerika Utara mulai menerima kebebasan beragama sebagai prinsip dasar masyarakat. Urusan agama dan negara dipisahkan secara tuntas.

Toleransi agama di Indonesia secara sistematis dipacu sejak tahun 1970-an dengan dibentuknya wadah musyawarah antar umat beragama yakni: MUI, Mawi, Parisada Hindu Dharma, Walubi dan PGI. Untuk pelaksanaan toleransi umat beragama dan dialog umat beragama di Indonesia para pemimpin agama perlu membekali diri dengan pengetahuan yang luas. Di samping meningkatkan rasa tanggung jawab dan berusaha mencegah peristiwa yang menimbulkan ekses yang memiliki daya bias (induksi).

Dialog antar umat beragama sangat penting dalam pembangunan nasional. Keluhan negara-negara maju berkisar pada efek samping dari kemajuan teknologi. Disadari adanya krisis yang parah sedang melanda masyarakat industri maju. Karena itu tentu kita tidak ingin mengalami pengalaman negara-negara maju.

Tetapi dalam usaha membangun, kita tidak dapat meniru begitu saja apa yang terjadi di negara-negara maju saat ini. Untuk itu bangsa kita harus memiliki tekad untuk memberikan sumbangan dalam upaya umat manusia untuk membangun dunia baru yang berpedoman “justice, peace and the integrity of creation”. Adalah tugas kita bersama untuk mengembangkan landasan moral, etik dan spiritual yang kokoh bagi kebersamaan kita sebagai bangsa.