Polarisasi Politik Kian Meluas Menuju Tahun 2024

Pius Rengka. Dok detakpasifik.com

Sialnya, permainan ini merangsek juga partai-partai lain, agar konsolidasi internalnya terganggu dan tidak diajak main di panggung permainan politik 2024.

Oleh Pius Rengka, Pemimpin Umum detakpasifik.com

Atmosfer politik Indonesia belakangan ini, kian keruh. Bagaimana tidak. Partai Demokrat diganggu isu coup d’etat. Hingga hari ini partai berlambang mercy itu masih tak putus dirundung gangguan.

Sebelumnya, FPI dilarang. Akibatnya, Habib Rizieq tak lagi berisik sebagaimana biasa. Kini dia diam nyaris sempurna dalam kamar penjara seadanya. Gelagat memerdekakannya dari penjara, tidak sepi juga.

Sementara, Munarman, Sekretaris General FPI, terkesan sakti, kuat. Meski oligarki kelompok garis keras sepertinya terkesan telah bubar berantakan menyusul jalur bantuan keuangan kaum ini ditelisik petugas hukum, tetapi, jangan salah duga. Serentak setelah FPI dinyatakan sebagai organisasi terlarang, di arus bawah, sempalan dan para cecunguknya, sesungguhnya, justru kian terkonsolidasi. Munarman tetap eksis tak tersentuh. Diduga kuat, dia didukung orang sangat kuat.

Di pihak lain, banjir Jakarta, mengerikan. Tetapi, peristiwa banjir bandang yang melanda nyaris hampir semua wilayah di ibu kota, tak sedikit pun membuat Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan bergeming.

Meski sebaran informasi ribuan rumah terendam banjir, tumpukan mobil penghuni Jakarta terjebak dalam banjir lumpur bau amis, tetapi Anies Baswedan, sebagaimana biasa, piawai menyusun argumen yang berujung pada pembenaran diri. Dia tampil klimis di televisi, sambil senyum mengucapkan rentetan kata-kata ritmis bagai langit biru yang dirias lembayung senja. Tetap kalem, seolah-olah dunia kerjanya bermutu tinggi dan solutif pula.

Terpaan bully di media sosial, dan aneka meme yang menyindirnya dengan cara yang amat sarkastis, tidak sedikit pun membuat Gubernur Anies terganggu. Dia tenang dan tetap menyebar senyum di kulum. Dia fokus dalam ketenangannya, dan dia tenang dalam fokus yang dipilihnya.

Lalu, sudah tentu ada yang bertanya. Ada apa gerangan sesungguhnya gejala ini? Apakah Anies Baswedan orang sungguh tolol dan bodoh? Tentu saja tidak. Pasti mutlak tidak. Dia tidak tolol. Tetapi mengapa dia begitu? Pertanyaan itu sepertinya tidak menemukan jawaban jelas.

Sementara itu, sebelumnya langit politik Indonesia pun diwarnai berita raibnya Masiku. Orang bertanya-tanya, di manakah gerangan Masiku berada? Adakah dia raib dari pergaulan sosial karena nasar rohani, misalnya, menepi pergi bertapa ke sebuah gua persembunyian, seperti kaum asketik yang hendak menimba ilmu agung hingga ke nirwana dalam rangka pemurnian hidup?

Ataukah dia memang telah sungguh tiada dalam makna hilang sempurna dalam diam nan agung? Ataukah Masiku, sesungguhnya, kini sedang senyum bersimpuh di sebuah tempat mewah sambil menonton TV di kursi serba malas, tempat di mana dan dari mana tak seorang jua pun aparat hukum sanggup menjangkaunya, kecuali orang dekatnya di PDIP atau mastermind-nya.

Masiku lalu dikesankan sebagai orang sangat hebat. Dia bak makhluk ajaib, tokoh misterius jauh dari jangkauan tangan para penegak hukum. Mainan cilukbanya luar biasa gesit. Ataukah, Masiku memang telah dibunuh kaumnya sendiri sebagai metode klasik untuk menghilangkan jejak kesaksian yang mungkin akibatnya lebih luas nan rumit.

Dia mungkin telah tewas mengenaskan di sebuah tempat nan jauh dari Jakarta. Mungkin? Entahlah. Tetapi waktu akan menyaksikan nanti. Dan, Ketua PDIP Megawati pasti tahu sungguh pasti. Mengapa Ibu Megawati diam soal Masiku?

Selain itu, ruang politik Indonesia kian berbau amis ketika peristiwa korupsi beruntun terjadi di tanah air. Tak tanggung-tanggung, uang bantuan sosial diduga dikorup politisi PDIP, partai dari mana selalu berseru diri sebagai partai pembela kaum cilik (bukan kaum licik), kaum hina dina dan kaum sandal jepit.

Dana yang seharusnya diberikan kepada kaum susah, kaum papa, kaum miskin, kaum hina dina rakyat jelata, -yang selalu- konon dibela PDIP, tetapi malah dijarah sedemikian serakah tak terlukiskan begitu saja oleh makhluk yang dengan enteng pula menyebut diri politisi tanpa secuil belas kasih.

PDIP terkesan kini mendapat bergelar baru sebagai pembela koruptor, menyusul rentetan peristiwa ini, terutama di kandang raja korupsi.

PDIP adalah partai orang “kecil” tempat dari mana para pelaku yang diduga maling itu, hingga kini PDIP belum mengapa-apakan para pelaku yang diduga mencuri uang itu. Internal PDIP tidak sebagaimana biasa, cerewet sekali soal ini, tetapi dalam urusan Masiku, korupsi dana bansos, sepertinya sedang mengidap penyakit bisu. Para pelaku yang diduga maling ini pun belum diapa-apakan aparat hukum.

Akibatnya, mudah saja ditarik tafsir bahwa para pelaku yang diduga korup ini tak dapat diapa-apakan lantaran katanya, sangat dekat dengan oligarki partai politik. Oligarki politik di PDIP tak jauh beda dengan trah keluarga di partai itu. Ya, Megawati dan Puan Maharani. Tetapi itu tafsir sungguh tergesa-gesa. Jangan salah kaprah.

Sementara itu, khalayak ramai di seantero negeri ini, terlanjur mengutuk dengan sumpah serapah sambil lainnya mungkin membuang ludah, lantaran jenuh dengan peristiwa beruntun seputar ceritera maling ini. Tetapi, sekali lagi, hukum lambat laun terkesan amat majal.

Klik dan baca juga:  Bau Amis Dagang Wewenang pada Rekrutmen Polisi Polda NTT

Maka tak ayal lagi, lantaran para maling dari partai politik kuat, atau oknum yang diduga maling dari partai kuat itu pun serta merta dianggap sakti. PDIP pun dianggap partai ajaib nan sakti.

Lalu, jauh sebelum itu, Kiai Kanjeng, sejenis ariolis kontemporer, kini masih meringkuk di bui, ketika mesin ajaib gaib produksi duit dihentikan petugas di tempat kediamannya.

Kiai Kanjeng adalah mesin pencetak duit. Duitnya asli. Bukan palsu. Karena ulahnya itu, Kiai Kanjeng masuk penjara. Tetapi duit yang diproduksinya, tidak pernah jelas disiarkan entah telah digeser ke mana dan kepada siapa saja duit itu diamankan. Diamankan di mana dan berapa banyak, tak pernah jelas. Sunyi senyap. Maka negeri ini seperti dianggap negeri “setan” yang selalu gemar dengan ketidakjelasan peristiwa.

Maka kita bertanya. Adakah hubungan antara kelakuan Kiai Kanjeng dengan rencana dan gosip pencucian uang? Adakah juga hubungan logis antara keributan lain yang sempat muncul menyusul rencana pemerintah menarik uang pecahan 100.000 dari pasaran itu?

Kiai Kanjeng, mungkin saja palsu atau dipalsukan, tetapi uang yang disimpannya, sungguh tidak palsu. Lalu, uang milik siapakah itu sebenarnya? Untuk kepentingan apakah uang sebanyak itu?

Kemudian belum lama berselang, dan terkesan sangat beruntun, lembaga-lembaga survei silih berganti menyiarkan hasil surveinya masing-masing. Hasilnya, PDIP tetap bertengger di papan atas, meski persentasenya terus tergerus menurun, bahkan cenderung terjun bebas. Tetapi partai kepala banteng gendut mulut putih besutan Megawati itu pun masih tetap di depan.

Partai lain, seperti Gerindra berada di lapisan atas tengah, tetapi turun tajam sehingga disalib Demokrat. Golkar sepertinya tetap tenang-tenang mendayung berada di lapisan atas mengikuti PDIP.

Nasdem, partai tengah tak berubah banyak. Nasdem, jika toh harus bergeser, tetapi bergeser serba satu digit. Jika survei Nasdem naik, naik satu digit. Jika turun, juga begitu, satu digit. Stabil. Partai Nasdem dikenal sebagai partai antimahar Indonesia. Tak suka menjadi partai kolekte.

PKB juga demikian, stabil sebagai partai kanan tengah. PKS malah naik perlahan, tetapi pasti, menjadi satu dari partai besar. PAN dan PPP, tampaknya dirundung gundah gelisah serius. Gelinya sah. Kira-kira begitulah mainan lembaga survei belakangan ini.

Hasil-hasil perolehan rangking partai menurut survei itu, tentu saja, untuk kalangan tertentu menguatkan sekaligus meneguhkan, terutama bagi partai politik gelisah selama ini.

Apalagi, angka-angka hasil survei itu pasti saja memacu riang gembira para penggiat partai politik. Ada partai lain yang berharap-harap cemas. Lainnya menghitung matang soal batas parliamentary threshold. Pertanyaan selalu sama. Apakah parliamentary threshold (PT) pemilu mendatang naik atau tetap 4 persen?

Jika nanti ambang batas PT naik menjadi 5 persen, maka perolehan hasil survei belakangan dapat diduga kalau partai politik mana sajakah yang tembus ke angka 5 persen PT itu.

Paling tidak, 7 partai politik tembus PT. Lainnya, hanya cukup menjadi dayang-dayang penggembira saja berdiri di samping kursi kekuasaan. Dari situlah, nantinya kalkulasi pilihan pola koalisi partai-partai politik. Mereka akan mulai menentukan siapakah gerangan calon presiden yang bakal diusung.

Spekulatif

Tulisan ini sekadar analisa spekulatif. Karena spekulatif, pastilah berbeda dengan uraian dogmatis verifikatif, falsifikatif atau sejenisnya yang lain yang mungkin. Sebagai analisa spekulatif, basis materialnya, berupa percikan berita-berita yang disusun tidak kronologis, sporadik, bahkan semacam percikan fenomena.

Meski demikian, gejala-gejala yang tampak itu mengundang perhatian saya untuk dirajut dan dicermati lebih serius. Beberapa berita yang disebutkan tadi tampak mencar-mencar terpecah, seolah-olah berdiri sendiri-sendiri. Tidak ada hubungannya satu dengan lainnya.

Meminjam perspektif Rene Descartes (1641), makna spekulasi sebagai sesuatu yang mendasari keragu-raguan tentang segala sesuatu, khususnya tentang hal-hal yang bersifat material. Sifat keragu-raguan ini dapat membebaskan kita dari berbagai macam prasangka, dimana prasangka ini dapat melepaskan akal dari pengaruh panca indra. Sehingga dapat memberikan jalan sederhana atau komponen-komponen (kesimpulan) yang membentuk keseluruhan.

Nah, tulisan saya, di situ saja. Lainnya, silakan dirajut sendiri oleh para pembaca sambil menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lain dengan kerangka logis yang lain lagi.

Tetapi, saya coba melakukan analisis peristiwa-peristiwa itu satu-satu, dengan sikap skeptis, jangan-jangan semua peristiwa ini sesungguhnya terhubungkan dengan peristiwa tahun 2024 nanti. Intinya, semua yang telah dan sedang terjadi selalu terkait dengan peristiwa tahun 2024.

Misalnya, kasus di Partai Demokrat. Jika dilihat dari pola peristiwa godaan atau gangguannya, maka peristiwa serupa dengan yang dialami Demokrat sesungguhnya bukan barang langka. Juga tidak aneh. Apa yang dialami Demokrat hari ini, dialami pula oleh PDI yang melahirkan PDIP dan pecahan lainnya lagi. PDI pernah dirancang agar pecah berantakan. Pecahan itu melahirkan PDIP sekarang ini.

Konteksnya persis sama yang dialami Demokrat, yaitu menjelang pemilihan umum. Partai berkuasa waktu itu, atau sekurang-kurangnya penguasa pada waktu itu, Golkar dan Soeharto, tidak ingin PDI solid, karena khawatir kekuasaan Orde Baru akan tergerus jika PDI kuat.

Klik dan baca juga:  Capres Elektabilitas Tinggi Dipertanyakan, Capres Alternatif Bisa Muncul

Tetapi, solidaritas internal PDI terbelah, kemudian melahirkan PDIP dan Megawati. Jika saja PDI tidak terbelah, tidak ada ceritera Megawati dan Puan Maharani hari ini dan keluarganya.

Namun, tampaknya belakangan ini Megawati, sedikitnya mengulangi jalan sejarah yang sama dengan yang dialaminya dari praktik Orde Baru. Nantinya, saya duga, jika Megawati tidak cukup siap menderita secara ideologis, maka partai-partai besutannya akan mengalami derita yang sama dengan pengalaman partai yang menderanya sebelumnya. Bahkan akan mengalami jalan sejarah yang sama dengan orang yang sangat tidak menyukainya pada waktu lalu.

Tampaknya Megawati dan trah keluarganya kian kuat menguasai tak hanya barisan birokrasi negara, tetapi juga mulai masuk menguat ke dalam godaan bisnis keluarga dan kelompok. Semua kalangan mengerti bagaimana kuatnya suami Puan Maharani dalam bisnis di tanah air hari-hari ini.

Godaan kuasa dan bisnis berimpitan seperti sekeping mata uang logam. Posisi Puan Maharani terkesan selalu di zona nyaman, karena di bawah lindungan sayap Megawati.

Semua orang tahu, Puan bukanlah satu tokoh sangat “kuat” di PDIP, tetapi dia dapat melenggang nyaman dari satu posisi politik ke posisi politik lainnya. Begitu pun dari posisi di kementerian. Saya kira banyak orang tahu bahwa Puan tak cukup punya prestasi saat dia memimpin kementerian.

Internal PDIP, saya duga menyadari hal ini. Karenanya mereka memilih “diam” tatkala badai kasus korupsi yang melibatkan orang-orang PDIP. Sikap diam, itu sangat bijaksana, karena terlanjur menepuk air di dulang permainan akhirnya memerciki muka sendiri.

Kasus serupa juga dialami Golkar. Golkar pecah menjadi beberapa versi. Partai beringin ini saya andaikan semacam kapal induk. Palka bocor di mana-mana. Meski demikian kapal bocor itu tetap saja berlabuh dengan tenang di pelabuhan kekuasaan meski diterpa amukan gelombang dan arus lautan.

Pos gerakan reformasi, Golkar bahkan pernah disarankan dilenyapkan. Tetapi, Akbar Tanjung dan kawan-kawannya, piawai merajut Golkar hingga hari ini Golkar eksis dan kian matang. Meskipun pecahan Golkar kini berkembang membaik, toh Golkar tetap jauh dari riuh.

Partai Amanat Nasional juga begitu. Urusan partai ini seputar perebutan ketua partai dalam bayang-bayang pendiri PAN, Amien Rais. Amien Rais kemudian tergusur. Bahkan sematan dirinya sebagai tokoh reformasi kian pudar seiring kelakuan politiknya yang condong ke kelompok garis keras. Dia tergusur.

Lalu dia membangun partai baru. Ocehan banyak pihak atas kelakuan politiknya, kian kuat dan sama sekali tidak meluputkan posisi politiknya. Amien Rais kian pudar, dan popularitasnya tergerus seiring kesadaran politik massa yang kian bertumbuh.

Meski saya telah menunjukkan beberapa gejala politik di atas, tetapi saya tetap berpikir bahwa Demokrat beruntung. Partai Demokrat beruntung karena dia telah mengalami peristiwa ini lebih awal dari jarak waktu tempuh Pemilu tiga tahun ke depan.

Karenanya Demokrat beruntung, lantaran masih ada waktu bagi Partai Demokrat untuk serius berbenah diri dan bersiap-siap menghadapi badai berikutnya.

Semua orang tahu bahwa gangguan utama ke Partai Demokrat, bukan tanpa hadirnya mastermind di baliknya. Belajar dari kasus PDI, mastermind politik tampaknya mengambil konteks yang pas ketika internal kepengurusan Demokrat kuat beraroma dinasti.

Keluarga SBY tampak selalu berada di lingkaran puncak oligarki partai itu, entah apa pun mungkin kriteria yang dipakainya. Tambahan pula, gosip busuk meluas. Disebutkan bahwa partai ini pun sangat gemar menggerus kadernya sendiri dengan kolekte uang Pilkada dan Pileg.

Kasus buruk ini diamplifikasi (sekurang-kurangnya oleh Jhoni Allen dkk) dengan maksud agar (tak hanya) penyelenggaraan KLB di Sumatera mendapatkan basis logisnya sendiri, tetapi juga kelompok KLB berusaha membongkar permainan buruk di internal Partai Demokrat.

Untuk itu Jhoni Allen selalu merujuk peristiwa Pilkada di beberapa tempat di Indonesia sebagai bukti. Jadi, demikian kesimpulan kelompok KLB, bahwa KLB itu adalah keharusan dan perlu serta niscaya karena Demokrat tidak demokratis. SBY kemudian dituding sangat dinastik, dan suka melakukan kooptasi demokrasi dengan metode pemilihan Ketua Demokrat yang beraroma pseudo-demokrasi.

KLB dianggap tidak sehat, justru karena penggagas KLB adalah mereka yang tak ditampung dalam wadah kepengurusan versi Agus Harimurti Yudhoyono. Karena itu, penggerak KLB dengan mudah dicemari sebagai kaum frustrasi politik.

Apakah gangguan ke Partai Demokrat akan berhenti setelah isu pencaplokan berhasil dipadamkan? Jawaban saya, tidak! Partai Demokrat masih akan terus digembosi sampai menjelang tahun 2024. Tujuannya jelas agar Partai Demokrat tak terlibat dalam pesta pembagian kue kuasa setelah Pemilu 2024.

Yang diperlukan oleh mastermind-nya sekarang ialah memodifikasi dan menambah jumlah versi gangguannya yang mungkin bukan saja berbeda, tetapi juga bervariasi. Dengan kata lain, Partai Demokrat pasti akan terus diganggu dan diganggu terus-menerus.

Klik dan baca juga:  Pembabatan Hutan Bowosie: Praktik Imperialisme Ekologi

Meski tercatat temuan semua lembaga survei, memperlihatkan bahwa partai besutan SBY ini terus menanjak naik. Tetapi kecenderungan inilah justru letak titik pengaruhnya. Bagaimana mungkin itu dimengerti?

Pertama, ada pihak di kalangan internal Partai Demokrat yang merasa tidak puas dengan demokratisasi pemilihan Ketua Umum AHY. Mereka menilai, Partai Demokrat tidak genuine membangun kultur dan suasana demokratis di dalam dirinya sendiri.

Akibatnya, hanya untuk urusan posisi ketua, Partai Demokrat rela mengambil jalan melawan arus demokratisasi common sense. Metode konsolidasi strukturnya pun dinilai serba menerabas. Maka kelompok ini, dengan enteng menilai pengaklamasian pemilihan AHY sebagai Ketua Umum Demokrat adalah sejenis pseudo-demokrasi. Mereka tidak puas, dan melawan.

Sementara itu, para pentolan pelaku internal KLB memiliki jaringan ke bawah dan ke “seberang”. Mereka tidak hanya menggerogoti konsolidasi internal partai, juga membangun jejaring dengan kelompok lain yang berkepentingan sama yaitu melemahkan Partai Demokrat.

Kedua, para pemain KLB justru berada jauh di luar tubuh partai. Mereka memainkan game konflik untuk mencari dan menemukan peluang mengambil alih kepengurusan Partai Demokrat. Gerakan ini, tidak terlalu makan ongkos, tetapi cukup mengganggu dengan sedikit ongkos. Karena itu, elit oligarki Demokrat dipaksa untuk tidak terlalu banyak tidur nyenyak hingga tahun 2024.

Menafsir Anis hingga bansos

Gejala Anies Baswedan itu menarik. Kita pastikan, dia tidak bodoh. Apalagi sekelas dungu. Meski kelakuannya, terutama dalam konteks urusan Jakarta, Anies dinilai banyak kalangan dungu sekali.

Dari catatan reputasi akademiknya, Anies Baswedan bukanlah anak sekolahan berkelas dungu. Dia keluaran perguruan tinggi prestisius baik di tanah air maupun di luar negeri. Narasi yang dinyanyikannya selalu bernuansa kokoh akademik, meski tidak diterima semua orang.

Kawanan mainnya pun, tampaknya dari blok garis kencang. Kencang garis ideologis (radikalis), maupun kencang duit dukungan. Kuat kesan bahwa kekuatan Cendana, Jusuf Kalla dan lainnya terkonsolidasi mendukung Anies. Para pemilik duit, dari barisan pemain lama yang memperoleh untung dari rezim Orde Baru, memilih Anies sebagai tumpangan yang baik.

Kelompok pendukung Anies ini punya duit tak terhingga, sehingga jika Anies nantinya didorong maju ke kompetisi elektoral merebut kursi presiden, duit telah tersedia cukup. Jalan menuju ke sana, tak hanya lempang disediakan partai pendukung, tetapi juga disediakan massa pendukung dengan pasokan duit berlimpah.

Kelompok berduit ini, jelas sangat sakit hati dengan kebijakan Jokowi yang memungkinkan banyak duit mereka (entah hasil jarahan atau bukan) tak lagi beranak pinak sebagaimana biasa, sehingga metode bikin kacau adalah pilihan masuk akal. Gerakan Jokowi untuk mengambil uang jutaan triliun di Swiss sebagai salah satu yang merisaukan kelompok ini.

Musuh utama Anies ialah partai pendukung utama pembela Jokowi. Jokowi harus terus dilawan sebagai signal peringatan terutama kepada partai pendukung utamanya, PDIP. Maka reaksi PDIP atas kaum ini tidak saja melakukan konsolidasi partai politik dan kekuatan rakyat, tetapi juga konsolidasi kekuatan uang.

Konsolidasi kekuatan duit ini diperlukan karena disadari kelompok politik di barisan Anies adalah para pemain besar dengan duit banyak. Sementara kondisi keuangan PDIP belum cukup sanggup mengimbangi ini, maka relasi paling masuk akal adalah memakai semua kesempatan yang mungkin. Salah satu kesempatan itu adalah mencuri dana bansos.

Maka maling dana bansos itu tidak lain dari fenomena persiapan untuk membendung banjir bandang duit para pembela Anies Baswedan. PDIP menyadari akan kehilangan muka dan akan kehilangan banyak kesempatan jika memilih orang yang tidak tepat di barisan Pemilu 2024. Untuk kepentingan itulah, segala cara pun dihalalkan.

Sialnya, permainan ini merangsek juga partai-partai lain, agar konsolidasi internalnya terganggu dan tidak diajak main di panggung permainan politik 2024.

Lalu bagaimana menafsir Munarman? Munarman itu adalah “cecunguk” taktis yang dipakai karena bakatnya. Dia piawai nyerocos terus dengan tugas utama mengolok dan mengganggu Jokowi. Mengganggu Jokowi berarti mengganggu PDIP. Mengganggu Jokowi adalah juga mengganggu pilihan politik Jokowi atas Freeport.

Maka sangat mungkin Munarman bukan sekadar Sekjen FPI, tetapi FPI dijadikan instrumen yang dipakai kelompok kuat untuk melemahkan Jokowi dan terutama kaumnya.

Sedangkan Kiai Kanjeng, hanyalah pion kecil atau sejenis boneka yang dipakai untuk mencuci uang menyusul gosip bahwa pemerintah akan menghilangkan pecahan Rp 100.000 yang pernah diserukan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Jika rencana ini benar-benar diimplementasikan, maka barisan kelompok garis keras yang didukung kelompok sakit hati akan kehilangan pasar permainan. Maka sangat jelas perlawanan kian meluas.

Nah, sebagai tulisan spekulatif, kita semua diajak menemukan logika di balik semua peristiwa politik yang tampaknya terjadi secara sporadik dan terkesan tak berhubungan satu dengan lainnya. Tetapi, saya menyarankan agar cermati semua gejala ini, sambil mengaitkannya dengan peristiwa tahun 2024.

Selamat membaca tanda-tanda zaman.