Kupang, detakpasifik.com – Prof. Daniel Kameo, Ph.D mengatakan, substansi pembuatan grand design pembangunan peternakan di NTT haruslah mengacu pada orientasi dasar dan utama pembangunan yaitu kesejahteraan rakyat. Karena itu seluruh kegiatan pembangunan di NTT mengarah pada percepatan dan peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat NTT. Pendekatan pembangunan (ekonomi) haruslah inclusive, local resource based dan sustainable.
Terkait dengan orientasi itu, maka kebijakan investasi haruslah membuka peluang investasi, tetapi tetap selektif. Semua mata rantai basis atau hulu yang strategis dalam sistem rantai pasok (global supply chains) harus berbasis di NTT (locally based) antara lain misalnya, komoditi perdagangan antarpulau/ekspor berupa barang olahan (setengah jadi atau barang jadi), promosi dan belanja produk lokal serta peningkatan dan kompetensi sumber daya manusia yang mumpuni. Begitu pun dengan industri pembenihan dan pembibitan, serta industri pakan ternak.
Prof. Daniel Kameo, Ph.D, mengatakan hal itu di Kupang, Rabu (23/2/2022) pekan lalu dalam diskusi catatan penyempurnaan grand design pengembangan sektor peternakan NTT yang dihadiri sejumlah stakeholders terkait antara lain Asisten II Sekda NTT, Kadis Pertanian NTT, Kadis PUPR, Karo Umum, Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Kadis Pemerintahan Desa, Kepala Biro Ekonomi dan para Staf Khusus Gubernur NTT. Diskusi melalui jaringan zoom meeting itu dipimpin oleh Kepala Dinas Peternakan NTT, Johana Lisapali, S.H, M.Si.
Dijelaskan, untuk membangun dan memperkuat basis ekonomi NTT, maka prime mover (penggerak utama) adalah industri pariwisata, tetapi sektor-sektor strategis lain seperti pertanian tanaman pangan, peternakan, dan perikanan tangkap dan budidaya serta UMKM berperan penting di dalamnya sebagai satu-kesatuan kolaboratif dan sinergis.
Hal ini diperlukan untuk memacu pertumbuhan ekonomi melalui antara lain peningkatan produksi dan produktivitas bidang usah pelaku ekonomi mayoritas melalui optimalisasi skala ekonomi yang bermakna mengoptimalkan efek multiplier ekonomi melalui upaya meminimalisasi kebocoran (impor) belanja barang dan jasa, pengembangan bidang usaha melalui pendekatan hulu-hilir dalam rantai pasok, penerapan prinsip skala keekonomian (economic scale) serta meningkatkan posisi/peran NTT dalam sistem tataniaga dari spoke ke hub.
Untuk itu diperlukan strategi yang kokoh seperti pembentukan, penguatan dan pemberdayaan berbagai bentuk kelembagaan ekonomi masyarakat, seperti Bumdes, koperasi, kelompok tani, asosiasi kolaborasi antar-stakeholders dalam satu ekosistem.
Periodesasi perencanaan grand design pun harus terukur dan jelas. Karena periode perencanaan grand design adalah 2021-2028. Mengapa? Karena tahun 2021 adalah tahun koleksi basis kekuatan sedangkan tahun 2022-2023 adalah sisa periode pencapaian target RPJMD, sehingga fase penguatan basis industri peternakan NTT adalah 2024-2028, siapa pun mungkin yang bakal menjadi gubernur nantinya.
Tahun 2024-2028 adalah periode pencapaian target jangka menengah di mana peternak sejahtera, terbangunnya sistem rantai pasok peternakan sehingga cita-cita NTT sebagai lumbung protein hewani nasional terwujud.
Karena itulah maka strategi pengembangan sektor peternakan mengutamakan jenis ternak utama seperti sapi, babi dan ayam. Untuk sapi orientasi utamanya ialah peningkatan populasi, kualitas dan produktivitas. Sedangkan untuk jenis ternak babi diperlukan pembibitan, peningkatan kualitas sedangkan untuk ayam peningkatan populasi.
Sehingga terjadi apa yang disebut scaling up (skala keekonomian) menuju efisiensi kolektif yang membawa konsekuensi modernisasi manajemen pemeliharaan, clustering (koloni), ketersediaan pakan (pabrik pakan babi dan ayam; produksi silase untuk ternak sapi), pendampingan quick yielding untuk ternak ternak babi dan ayam KUB.
Juga mengikuti perkembangan itu terjadi penguatan dan penguasaan/pengendalian sektor hulu strategis yaitu bibit dan pakan, kolaborasi dalam format ekosistem, pengembangan peternakan terintegrasi dengan sektor pertanian dan peningkatan kualitas ternak sapi melalui program IB dan mendatangkan sapi bibit dari luar NTT.
Karena itu, program-program strategis berupa input seperti pakan ternak di mana ketersediaan dan persebaran bahan baku pakan ternak, lokasi, luas areal, volume, waktu ketersediaan seperti jagung, batang padi, sorgum, kelor, tepung ikan, bungkil kelapa, tepung belalang (Sumba), pabrik pakan ternak babi dan ayam; silase untuk sapi (dan kambing), penelitian dan inovasi pakan ternak, kualitas genetik, pembibitan berupa penetapan wilayah prioritas dan pelaku utama serta permodalan yang di dalamnya penetapan partner utama seperti BPD NTT, kelompok bank Himbara.
Sedangkan dalam konteks proses, sangat diperlukannya adanya pendampingan yang solid, manajemen pemeliharaan terencana berupa konsolidasi basis-basis peternakan rakyat, peternakan berbasis koloni dan mini ranch. Maka output yang diharapkan berupa ketersediaan pasar (offtaker), peningkatan daya tawar peternak (NTP): penguatan kelembagaan, intervensi melalui sistem paket komprehensif (hulu – hilir: bibit/bakalan, dana/kredit, asuransi, pakan, pendampingan, pemasaran) yang terintegrasi dalam satu ekosistem.
Terkait dengan hal itu semua maka perlu dicermati data statistik seperti sapi, impor daging sapi Indonesia: Data yang diperoleh mengungkapkan bahwa Januari – Juli 2021 Rp 5,2 triliun, kebutuhan daging sapi Indonesia 2021: 700.000 ton atau setara 3,6 juta ekor sapi.
Produksi dalam negeri 2021: 400.000 ton ketergantungan Indonesia pada impor daging sapi: hampir 50 persen. Sedangkan NTT menempati urutan ke-6 dalam jumlah populasi sapi di Indonesia setelah Jatim, Jateng, Sulsel, dan NTB.
Untuk jenis ternak babi, NTT merupakan provinsi dengan populasi babi tertinggi di Indonesia, tapi Bali peringkat pertama dalam produktivitas. Negara Cina produsen babi terbesar di dunia (36 juta ton tahun 2020), tapi konsumsinya 42,5 juta ton. Nah, data ini memperlihatkan betapa besarnya peluang NTT untuk tampil sebagai salah satu pemain ternak di tanah air.
Prof. Kameo menyebutkan, meski grand design ini tidak dikenal dalam konteks kebijakan RPJMD, tetapi grand design dapat dipakai semacam buku saku petunjuk tindakan yang terukur. “Ini buku manual semacam pegangan bagi OPD terkait,” ujar Guru Besar Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga ini.
Dr. Lerry Rupidara, dalam cermatannya mengingatkan agar dalam penyusunan grand design diperlukan untuk cermat memperhatikan tiga hal utama yaitu terkait periodesasi, treatment dan kapasitas pendampingan dan kolaborasi yang selalu terkait dengan hitungan untung rugi.
Pius Rengka menambahkan, dalam seluruh grand design yang bakal disempurnakan itu, perlu ikut dipertimbangkan di dalamnya terkait penempatan sumber daya manusia yang mumpuni (the quality of staff processing) agar rencana dapat dieksekusi dengan tepat dan cepat.
Apalagi tuntutan politik percepatan pembangunan selalu pasti berhubungan dengan leadership di setiap jenjang dan jejaring birokrasi eksekutif. Perlu juga dipikirkan pola dan cara sosialisasi yang efektif dan efisien sehingga prinsip demokrasi terlibat dalam pembangunan itu tergambarkan dalam seluruh proses dan hasil pembangunan.
(dpr)