Kisah Pata Seca menggambarkan salah satu bentuk perbudakan seksual yang terjadi pada masa itu, ketika budak diperlakukan lebih seperti alat produksi ketimbang manusia.
Disadur Oleh Pius Rengka
Pada dunia super modern kini, pembicaraan tentang hubungan sex, telah menjelma menjadi tema tanpa tabu. Semua orang berbicara tema ini tanpa batas usia dan sekat budaya.
Lantaran itu, fenomena deviasi seksual terhadap anak-anak, guru terhadap murid, orangtua kandung dengan anak sendiri, rohaniwan terhadap istri orang atau anak gadis orang, tidak lagi menjadi kisah sembunyi-sembunyi yang asyik di lapangan kasak kusuk.
Tahun lalu, misalnya. Media sosial viral dikejutkan oleh peristiwa pastor berselingkuh dengan istri sahabat karibnya persis di rumah tinggal sahabat yang adalah umatnya itu. Malu sudah tak lagi perlu dan cukup. Ajaran moral dan etika tak lagi pantas dipakai. Panggilan suci tak lagi sanggup menahan magma yang melimpah ruah menderu gemuruh. Tetapi, selera sex pun tidak pernah bebas dari serat tubuh daging manusia apa pun mungkin status sosial, etnik dan seruan moral yang mesti dihayatinya. Kehangatan badan perlu dibagi, suhu tubuh patut dipadu.
Media sosial sungguh terbuka lebar bahkan banal. Teknologi super canggih yang dialami hari ini, sanggup menghubungkan satu dengan lainnya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Makin mini alat komunikasi, kian luas jangkauan akses. Janji main sex maya masuk ke relung sunyi di kamar masing-masing tanpa harus ada bersama jasad yang berhasrat.
Mungkin inilah super realitas dunia tanpa batas. Kenichi Ohmae dalam bukunya “The End of the Nation State” yang pertama kali diterbitkan pada 1995, mengemukakan argumen bahwa negara-bangsa (nation-state) tradisional tidak lagi relevan di dunia global yang semakin terhubung, di mana ekonomi dan teknologi telah melampaui batasan geografis dan politik negara. Peran negara dalam mengatur ekonomi global semakin tergerus, sementara aktor-aktor non-negara, seperti perusahaan multinasional, semakin berpengaruh. Dia juga menekankan bahwa integrasi ekonomi global lebih kuat dibandingkan dengan identitas nasional yang sebelumnya menjadi dasar negara-bangsa.
Tahun 1978, Indonesia heboh lantaran novel “Orexas” karya Remy Sylado. Novel itu laris manis di pasar buku. Remy Sylado menggambarkan kehidupan remaja di Bandung dengan fokus pada kelompok pemuda yang terlibat dalam kenakalan remaja. Beberapa pembaca membandingkannya dengan novel “The Outsiders” karya S.E. Hinton, karena keduanya mengeksplorasi dinamika sosial dan konflik antarkelompok remaja. Orexas dipelesetkan menjadi singkatan organisasi sex bebas.
Selain “Orexas”, Remy Sylado juga dikenal dengan karya-karya lainnya seperti “Ca-bau-kan: Hanya Sebuah Dosa” dan “Kembang Jepun”. “Ca-bau-kan” mengisahkan tentang kehidupan komunitas Tionghoa di Indonesia pada masa penjajahan, sementara “Kembang Jepun” berfokus pada sejarah dan budaya peranakan Tionghoa di Indonesia.
Remy Sylado, lahir 12 Juli 1945 di Malino, Makassar, Sulawesi Selatan, dikenal sebagai penyair dan penulis produktif. Ia telah menulis berbagai genre, termasuk puisi, novel, esai, dan naskah drama, serta terlibat dalam seni musik, seni rupa, dan teater. Tetapi, bukan hanya Remy Sylado yang menulis dengan tema yang sama. Penulis lain menulis genre yang relatif sama di tempat nun jauh di Eropa.
Sebutlah kisah Theodora dalam roman sejarah karya Paul I. Wellman berjudul The Female. Tokoh utamanya Theodora. Pelacur jalanan nan cantik molek. Para pria jatuh terjerembab dalam pelukannya lantaran pesona molek tubuhnya yang menggelinjang merangsang di ranjang, entah di tepi jalan atau masuk di rumah bordil. Puncak reputasi Theodora ketika dia berhasil menaklukan raja istana, menguasainya melalui jalan menjadi permaisuri di panggung sejarah Konstantinopel, dan merancang perang tetapi menang.
Dalam berbagai peradaban kuno, dari Mesir hingga Roma, Yunani, dan India, perempuan dan laki-laki diperbudak dengan tujuan tertentu, yang kadang termasuk pemanfaatan tubuh mereka untuk reproduksi atau eksploitasi seksual.
Perbudakan di Amerika Utara mencatatkan peristiwa “Breeding” Budak: di perkebunan kapas, terutama di wilayah Selatan Amerika Serikat, praktik yang disebut sebagai “breeding” untuk memperbanyak jumlah budak. Pemilik perkebunan menginginkan budak-budak berkemampuan fisik yang kuat dan menganggap bahwa memperbanyak keturunan budak dari pasangan yang dipilih adalah cara untuk meningkatkan populasi tenaga kerja mereka. Hal ini terjadi terutama setelah perdagangan budak internasional dilarang. Salah satu contoh terkenal dari praktik ini adalah Jim Crow dan anak-anak dari budak yang dipilih untuk reproduksi demi keuntungan ekonomi.
Di wilayah Karibia, khususnya di Jamaika dan Haiti, praktik serupa juga terjadi dalam konteks perbudakan tebu. Pemilik budak di daerah ini melakukan pemilihan pasangan untuk pembiakan budak. Tujuannya adalah memperkuat tenaga kerja di perkebunan.
Beberapa kerajaan dan kekaisaran di Afrika dan Timur Tengah, praktik perbudakan seksual juga tercatat, meskipun konteksnya berhubungan dengan harem atau penggunaan budak untuk melayani sex kelas atas. Namun, ada pula contoh di mana perempuan dijadikan bagian dari sistem pembiakan yang direncanakan, meskipun dengan cara yang lebih tersembunyi dan berbeda.
Praktik pemilihan budak untuk pembiakan juga ditemukan dalam kolonialisme Eropa, di mana banyak negara-negara kolonial di Afrika dan Asia memanfaatkan sumber daya manusia untuk bekerja di kebun-kebun besar atau dalam aktivitas yang melibatkan tenaga kerja paksa. Meskipun tidak sejelas dan seformal di Amerika, ada bukti bahwa tubuh perempuan budak seringkali digunakan sebagai sumber pembiakan untuk menjaga ketahanan tenaga kerja.
Hitler bahkan pernah punya gagasan, para pilot angkatan perang dunia pertama boleh bebas kawin dengan perempuan di desa demi pembibitan manusia unggul Arya.
Pata Seca
Pata Seca, dikenal sebagai Roque José Florêncio, adalah budak di Brasil pada awal abad ke-19. Berbeda dengan tugas budak pada umumnya, ia dibeli khusus oleh majikannya untuk menghamili para budak wanita. Tujuan dari tindakan ini adalah untuk meningkatkan populasi budak yang dimiliki oleh sang majikan.
Selama masa perbudakannya, Pata Seca tidak memiliki pilihan selain melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan banyak wanita budak. Akibatnya, ia memiliki 249 anak dari hubungan tersebut.
Kisah Pata Seca menggambarkan salah satu bentuk perbudakan seksual yang terjadi pada masa itu, ketika budak diperlakukan lebih seperti alat produksi ketimbang manusia. Memang tidak ada kisah kalau power sex Pata Seca kemudian dimanfaatkan oleh wanita dari kalangan atas karena tidak ada bukti sejarah.
Perbudakan di Brasil pada abad ke-19 memang praktik eksploitasi seksual. Tetapi, tidak ditemukan catatan bahwa perempuan dari kelas elite memanfaatkan Pata Seca secara pribadi atau bahwa ia menjadi objek dahaga seksual bagi mereka. Narasi yang berkembang justru lebih menyoroti bagaimana ia dipaksa menghamili budak perempuan untuk kepentingan ekonomi pemiliknya, bukan sebagai individu yang mendapat keuntungan sosial atau seksual dari kemampuannya. Itu berarti motif yang ada hanyalah memperbanyak jumlah budak dengan kapasitas yang sama atau sekadar pertumbuhan populasi budak.
Motif utama eksploitasi Pata Seca adalah untuk memperbanyak budak dengan kualitas fisik yang unggul. Ini adalah strategi ekonomi para pemilik budak untuk memastikan ketersediaan tenaga kerja tanpa harus membeli budak baru dari perdagangan internasional, terutama setelah perdagangan budak Atlantik mulai dilarang pada awal abad tersebut. Dengan kata lain, eksploitasi Pata Seca bukan sekadar untuk pertumbuhan populasi budak secara umum, tetapi lebih sebagai breeding strategy (strategi pembiakan) yang terencana.
Majikannya menganggapnya sebagai “individu unggulan” karena postur fisiknya tinggi dan kuat, sehingga keturunannya diharapkan mewarisi karakteristik serupa. Praktik ini mencerminkan bagaimana budak dalam sistem perbudakan transatlantik seringkali diperlakukan seperti hewan ternak—diukur dari nilai ekonominya, bukan kemanusiaannya. Tidak ada indikasi bahwa eksploitasi ini berkaitan dengan kepuasan seksual pemilik atau kelas elite, melainkan sepenuhnya bersifat ekonomi dan berbasis kontrol atas tubuh budak untuk mempertahankan tenaga kerja yang kuat dan produktif.
Pata Seca, lahir pada tahun 1828 di Sorocaba, São Paulo, Brasil. Ia menjadi budak milik Joaquim José de Oliveira, seorang pemilik lahan pertanian. Selain bekerja sebagai buruh ladang, Pata Seca juga dipaksa menjadi “budak pembiakan”, di mana ia diharuskan menghamili banyak budak perempuan untuk menghasilkan lebih banyak anak yang nantinya akan dijadikan budak.
Anak-anak yang lahir dari hasil “pembiakan” ini diharapkan memiliki fisik yang kuat dan sehat, sehingga dapat bekerja dengan baik di ladang atau perkebunan.
Joaquim José de Oliveira berbisnis di bidang pertanian, dan eksploitasi terhadap Pata Seca merupakan bagian dari strategi ekonominya untuk meningkatkan jumlah dan kualitas budak yang dimilikinya.
Menentukan harga pasti budak di Brasil pada abad ke-19 cukup menantang karena variasi yang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin, keterampilan, kesehatan, dan kondisi pasar saat itu. Namun, secara umum, harga budak laki-laki dewasa yang sehat dan kuat cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan budak perempuan atau anak-anak.
Selain itu, permintaan terhadap budak meningkat, yang kemungkinan besar menyebabkan kenaikan harga di pasar domestik. Keunggulan utama Pata Seca, adalah postur fisiknya yang luar biasa. Ia tinggi 2,18 meter, tubuh kuat dan sehat menjadikannya sosok yang langka di kalangan budak pada masanya. Itulah yang membuatnya dianggap sebagai kandidat unggul untuk strategi “breeding” yang diterapkan oleh pemiliknya.
Namun, jika melihat dari perspektif yang lebih luas, keunggulan sesungguhnya dari Pata Seca bukan hanya terletak pada fisiknya, tetapi juga pada kemampuannya bertahan hidup di tengah eksploitasi brutal. Ia dipaksa menghamili banyak budak perempuan tanpa memiliki kendali atas kehidupannya sendiri, tetapi tetap bertahan dalam sistem yang memperlakukannya seperti alat produksi. Kisahnya mencerminkan daya tahan luar biasa seorang manusia dalam menghadapi ketidakadilan struktural yang mengerikan.
Di luar aspek fisik, tidak banyak catatan mengenai kecerdasan, keterampilan kerja, atau sifat kepribadiannya. Pata Seca sebagian besar dikisahkan dari sudut pandang pemiliknya dan sistem perbudakan, sehingga sulit mendapatkan gambaran utuh tentang dirinya sebagai individu.
Pata Seca dibebaskan dari kerja fisik di perkebunan atau ladang pertanian, tetapi satu-satunya tugas Pata Seca adalah mengawini perempuan budak siapa saja tanpa harus disukainya ataukah tanpa seleksi. Pata Seca dibebaskan dari kerja fisik di perkebunan atau ladang pertanian, tetapi bukan berarti ia memiliki kebebasan untuk memilih pasangan sesuka hatinya. Tugasnya sebagai “budak pembiakan” (breeding slave) sangat terstruktur dan dikendalikan oleh pemiliknya.
Proses ini bukan sekadar aktivitas seksual biasa, tetapi merupakan strategi bisnis. Budak perempuan yang dipilih untuk “dikawinkan” dengan Pata Seca telah melewati seleksi kesehatan, kesuburan, dan fisik yang dianggap menguntungkan untuk melahirkan keturunan yang dapat bekerja lebih baik di ladang atau perkebunan.
Tidak ada unsur romantika dalam kehidupan seksualnya. Ia semata-mata “alat produksi” untuk menghasilkan lebih banyak tenaga kerja bagi pemiliknya. Dengan kata lain, hubungannya dengan perempuan budak lain terjadi dalam kondisi paksaan struktural, di mana dirinya maupun para perempuan budak yang ia hamili sama-sama menjadi korban eksploitasi brutal sistem perbudakan.
Pata Seca tidak memiliki otonomi dalam memilih pasangan, dan sistem yang menjeratnya diatur sepenuhnya oleh pemilik budaknya demi keuntungan ekonomi. Ia hanya memiliki satu tugas utama: menghamili perempuan budak sesuai instruksi tuannya, dalam sistem yang lebih mirip dengan program pemuliaan ternak dibandingkan hubungan manusiawi.
Setelah Brasil menghapuskan perbudakan pada tahun 1888, Pata Seca, akhirnya memperoleh kebebasannya. Setelah merdeka, ia menikah dengan seorang wanita yang dicintainya dan membentuk keluarga. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai sembilan anak. Siapa nama istri Pata Seca tidak dikenal.
Informasi mengenai kehidupan pribadi Pata Seca setelah masa perbudakan, termasuk identitas istrinya dan rincian tentang anak-anak mereka, tidak tersedia, tetapi diketahui ia meninggal pada usia 130 tahun pada 13 Juni 1958.
Kisah hidup Pata Seca mencerminkan ketabahan dan kemampuan beradaptasi yang luar biasa, dari masa perbudakan yang penuh penderitaan hingga akhirnya membangun keluarga yang dicintainya setelah meraih kebebasan.
Secara asumsi, mungkin saja ada pesepak bola dunia asal Brasil yang memiliki hubungan darah dengan Pata Seca, mengingat ia memiliki 249 anak dari hubungan yang dipaksakan selama masa perbudakannya, ditambah 9 anak dari pernikahannya setelah merdeka. Ini berarti ia memiliki ratusan keturunan yang kemudian berkembang dalam beberapa generasi.
Brasil adalah negara dengan populasi besar dan sejarah panjang percampuran etnis akibat kolonialisme dan perbudakan. Banyak penduduk Brasil saat ini memiliki nenek moyang yang merupakan budak Afrika. Jika keturunan Pata Seca terus berkembang dalam garis keturunan mereka, ada kemungkinan bahwa beberapa di antara mereka menjadi atlet profesional, termasuk pesepak bola.
Namun, tidak ada bukti atau penelitian genealogi yang langsung menghubungkan Pata Seca dengan pesepak bola Brasil terkenal seperti Pelé, Romário, Ronaldo, atau Neymar. Meskipun mungkin ada hubungan jauh secara genetik, hal itu sulit dibuktikan tanpa penelitian lebih lanjut menggunakan data sejarah keluarga dan tes DNA.
Meskipun Pata Seca adalah tokoh penting dalam sejarah perbudakan Brasil, dokumentasi visual tentang dirinya sangat terbatas. Namun, ada beberapa foto yang diyakini sebagai potret dirinya.
Jika pembaca tertarik untuk mengeksplorasi lebih jauh tentang praktik ini dalam sejarah, beberapa referensi yang bisa ditelusuri lebih dalam adalah: “The Half Has Never Been Told: Slavery and the Making of American Capitalism” oleh Edward E. Baptist, yang mengungkap tentang peran perbudakan dalam perekonomian Amerika dan praktik pembiakan budak.
“Slavery and the Birth of the American Republic” oleh Peter Kolchin, yang memberikan pandangan tentang perbudakan dan dinamisnya dalam kehidupan sosial dan ekonomi. “The Darker Side of the American Dream” oleh Robert W. Fogel yang membahas dampak ekonomi perbudakan, termasuk eksploitasi seksual.
Sekian.