Jauh-jauh hari para supporter dungu berteriak. Mereka, bahkan menjamakkan akun palsu, karena dengan akun palsu mereka mudah menghindari diri dari tanggung jawab moral, tanggung jawab intelektual, manakala pikirannya diserang opini massa.
Oleh Pius Rengka
Meski pemilihan presiden, gubernur, bupati/walikota masih nun jauh di sana (November 2024), tetapi riak gelombang gosip kini mulai bertabur menghempas di tepian diskursus publik. Tampaklah sangat jelas, para supporter (dungu lugu dan serius prestisius) berlaga di media sosial dengan diksi minimalis, sarkastis, jorok konyol, bahkan bengis.
Begitu pun yang terjadi di langit politik NTT. Tampak amat sangat jelas, para supporter saling memanah narasi ke panggung media sosial. Media sosial dipakai sebagai medan laga. Tarung tempur gambar wajah para bakal kandidat dipajang sebelum perang sesungguhnya terjadi.
Senyuman para calon yang diusung pun, tampak seperti dipaksa-paksa agar ditimbang masuk ke laga komentar melambungkan pujian dan pujaan. Jagoannya dibela, pas saja. Sepertinya jagoannya dibela habis-habisan, ngos-ngosan, sampai-sampai akal sehat pun habis terpakai. Dan, yang tersisa hanyalah tumpukan narasi yang diproduksi oleh mesin akal sakit.
Jauh-jauh hari para supporter berteriak. Mereka, bahkan menjamakkan akun palsu, karena dengan akun palsu mereka mudah menghindari diri dari tanggung jawab moral, tanggung jawab intelektual, manakala pikirannya diserang opini massa. Kelompok pemilih akun palsu, memang mudah berkomentar sekenanya meski tanpa dasar argumen akal budi kuat dan sehat. Maka, seiring dengan gosip pemilihan umum, buih akun palsu membuncah tajam.
Misalkan, saya ditanya. Apakah gerangan kiranya perspektif para politisi di dalam seluruh aktivitas politiknya? Saya tak akan pernah ragu menjawab: Bagi mereka yang sedang berkuasa, re-eleksi (reelection) atau terpilih kembali. Bagi mereka yang belum berkuasa, berjuang mati-matian meski nyaris semaput dengan narasi yang dihafal-hafal tanpa pemahaman mendalam.
Thomas Dye and Harmon Zeigler (1996) pernah menulis sangat baik tentang ironi demokrasi. Dalam The Irony of Democracy, Dye dan Zeigler berpendapat, meski demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat, tetapi dalam cara untuk mempertahankan hidup, demokrasi bersandar di pundak para elit.
Apa itu artinya? Artinya, elit yang sedang berkuasa (baik di lingkungan partai politik atau rezim kekuasaan eksekutif dan legislatif) lebih cenderung berpeluang re-eleksi dibanding para pendatang baru, meski para pendatang baru itu memproduksi dan merajut narasi politik, bahkan yang bombastis sekalipun.
Maka elit dalam perspektif Dye dan Zeigler merupakan representasi tentang dua masyarakat terbelah. Yaitu beberapa di antaranya yang memerintah dan orang ramai yang diperintah. Atau dalam Bahasa Gaetano Mosca (1939) disebut elit dan massa. Two classes of people appear – a class that rules and a class is ruled.
Kelas pertama selalu berjumlah sedikit orang, sedangkan massa adalah kelas kedua yang selalu berjumlah banyak orang. Pembagian ini mestinya dilawan sangat keras melalui masifikasi gerakan sosial pendidikan politik rakyat oleh semua lapisan lembaga-lembaga politik (partai politik, lembaga pendidikan dan keluarga dst….). Pendidikan politik memproduksi kesadaran politik dan partisipasi politik.
Perspektif terpilih kembali itu, amatlah lumrah. Para anggota legislatif (daerah sampai pusat), misalnya, satu-satunya perspektif yang memacu jantung gerakan politiknya ialah karena adanya alasan cukup agar dirinya dapat terpilih kembali. Narasi politik (juga dibalut sedikit janji dan norma perilaku), hadiah dan ole-ole pembangunan serta ongkos seremonial politik, hanyalah syarat pemberi isyarat. Tetapi, soalnya adalah ini: Apakah politisi itu dapat (masih dapat) dipercaya, diandalkan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat?
Jurnal Public Performance and Management Review edisi 25 tahun 2005 menyiarkan tulisan Tom Christensen dan Per Laegreid, di bawah judul Trust in Government: The Relative Importance of Service Satisfaction, Political Factors, and Demography. Fokus bahasannya pada kepercayaan pada pemerintah. Pemerintah di sini termasuk gubernur, bupati/walikota, parlemen, dewan lokal, partai politik, dan politisi.
Kepercayaan diukur melalui dukungan khusus -seperti ditunjukkan oleh kepuasan masyarakat dengan layanan publik tertentu- dan kontras dengan dukungan yang lebih umum, ditentukan budaya politik dan faktor demografis. Konteks tulisan ini adalah data survei massal warga Norwegia tahun 2001.
Temuannya, pertama, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah bersifat umum. Kedua, variabel politik – budaya, memiliki pengaruh yang paling kuat terhadap variasi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Di sini, satu-satunya faktor terpenting adalah kepuasan umum terhadap demokrasi. Ketiga, warga yang puas dengan pelayanan publik tertentu di daerah mereka, memiliki tingkat kepercayaan yang lebih tinggi dibandingkan warga yang tidak puas karena tak tersentuh pembangunan. Kepercayaan terhadap pemerintah juga dipengaruhi oleh faktor demografi, seperti usia, pendidikan, dan pekerjaan. Artinya, pelayanan terhadap kepentingan masyarakat (secara merata) adalah kunci utamanya.
Saya kira temuan Christenses di Norwegia 2001, similar dengan pandangan David Easton (1981) sebelumnya. Urusan rakyat itu cuman tiga. Mengeluh – keluhan (grievances), menuntut (demand) dan mendukung (support). Hubungan timbal balik antara keluhan, tuntuntan dan dukungan politik sebagai keniscayaan politik. Makin tinggi pemenuhan keluhan dan tuntutan rakyat, makin besarlah kemungkinan aktor politik mendapat dukungan rakyat. Sebaliknya, makin rendah pemenuhan keluhan dan tuntutan rakyat, makin rendah pulalah dukungan politik. Sesimpel itu saja.
Kota Kupang, sebagai misal. Pertanyaannya apa kepentingan utama masyarakat Kota Kupang? Siapa kompetitor perebut kursi walikota? Dua pertanyaan inilah, saya kira yang sedang menghantui banyak kalangan di Kota Kupang, sebagaimana tampak jelas melalui cermin media sosial dengan informasi seliweran disiram para supporter.
Meski demikian, aktor utama, biasanya memiliki langkah sendiri. Kadangkala langkah yang ditempuhnya tidak diucapkan kepada the core team sekalipun, karena khawatir kelakuan para the core team ditentukan oleh fluktuasi ongkos (apalagi para supporter dungu). Tetapi, meski tidak diucapkan terus terang, langkah politiknya dapat dijajaki melalui siklus penggunaan anggaran pembangunan.
Anggaran pembangunan dipakai dan dimanfaatkan oleh siapa saja. Bagaimana gerangan gelontoran anggaran itu dicurahkannya dan ke arah siapa curahan anggaran itu ditumpahkan. Tulisan Klein F. A. (2010) mungkin baik untuk sekadar inspirasi bandingan, apalagi Klein menulis praktek penggunaan anggaran di beberapa walikota di Brazil, Amerika Latin.
Menurut Klein, imajinasi walikota dapat dilacak melalui keberadaan siklus anggaran politik. Kebijakan pembangunan pasti diikuti (dipaksa atau diselundupkan) dengan menggelontor anggaran lebih besar pada satu atau beberapa sektor kepentingan yang terbimbing imajinasi pemilihan ulang (re-election). Pengalaman Brasil menarik justru karena besarnya anggaran dan konsistensi penggunaan anggaran bervariasi, tergantung pada saat mana anggaran itu digunakan.
Pilihannya cuman dua. Tahun pemilu dan tahun non-pemilihan. Temuan Klein menyebutkan, rata-rata, walikota yang dipilih kembali menghabiskan hampir 3% lebih banyak di tahun-tahun mendekati pemilihan daripada tahun yang jauh dari momentum pemilihan umum. Taktik ini dipakai justru karena aktor politik terbimbing dalam jaringan jebakan imajinasi terpilih kembali.
Selain itu, orang-orang yang dapat dipilih kembali menghadirkan variasi dalam pembelanjaan yang mendekati 5% lebih tinggi dari sebelumnya. Maka, hasil menunjukkan bahwa walikota yang meningkatkan pengeluaran publik selama periode pemilihan memiliki peluang lebih besar untuk dipilih kembali, selama pengeluaran tersebut dilakukan dalam batas defisit yang dapat diterima pemilih.
Siklus anggaran politik secara umum dipahami sebagai siklus ekonomi yang disebabkan oleh motivasi politik, dan datang dalam berbagai bentuk: melalui peningkatan belanja publik, peningkatan lapangan kerja, pengurangan pajak, atau bahkan melalui perpindahan pengeluaran dari layanan publik yang kurang terlihat ke yang lebih terlihat (Drazen dan Eslava, 2004, 2005; Eslava, 2005). Umumnya, anggaran didorong oleh insentif pemilihan ulang. Salah satu contoh umum adalah politisi petahana mencoba untuk mempromosikan ekspansi ekonomi yang lebih besar selama periode mendekati pemilihan untuk meningkatkan peluang terpilih kembali.
Pertanyaan selanjutnya ialah mengapa banyak petahana di beberapa pawai pemilihan umum tidak terpilih kembali? Misalnya, mengapa para bupati dua periode, walikota, gubernur dua periode, tidak terpilih kembali dalam sirkulasi politik elektoral?
Juan J. Linz dalam Political Parties Old Concepts and New Challenges (2002), menulis bahwa umumnya mereka yang tidak terpilih kembali karena selama kepemimpinannya mereka tidak merepresentasikan kepentingan para pemilihnya. Tulis Linz, they do not care about the interests and the problems of people.
Singkatnya, isu-isu yang mempengaruhi masyarakat secara langsung di daerah pemilihan diabaikan dalam proses pembuatan kebijakan publik. Dengan demikian, telah jadi jelas, siapa kiranya di antara para bupati/walikota yang kini sedang running dapat terpilih kembali atau tidak, ditentukan oleh apakah terandalkan atau tidak. Atau dalam terminologi Hans Daalder (1991), good leader or bad leader. Itu saja.