Oleh Pius Rengka
The common good is that good proper to, and attainable only by, the community, yet individually shared by its members = Kebaikan bersama adalah kebaikan yang hanya bisa dicapai oleh komunitas, namun dapat dirasakan oleh setiap anggotanya secara pribadi (Thomas Aquinas).
Teks filosofis di atas, tentu saja, bukan tanpa konteks. Sedangkan kontennya mendalam dan menukik jauh ke tubir kebenaran. Bukan pula tanpa sengaja. Hal itu direnungkan pemikir besar (great thinker) Thomas Aquinas. Ia mengajak semua pihak menarik diri dari lalu lintas keramaian profan dan pergi ke sebuah tepi, ke ruang renung agar kita merefleksikan makna hakiki hidup ini. Entah kah nanti refleksi itu membuahkan metanoiya (pertobatan) total di seluruh anak negeri. Begitulah.
Belumlah terlalu lama, sebelum hari ini, ketika suatu masa tatkala kepercayaan rakyat kian tergerus oleh kisah-kisah kelam di balik meja kekuasaan, nama Pertamina mencuat bagai meteor melesat ke langit biru. Bukan ceritera tentang prestasi energi yang membanggakan dan memuliakan kehormatan diri bangsa, melainkan aib anyir yang mengendap dan membusuk hingga bau amis menyebar ke seantero negeri bahkan melumer nun jauh hingga ke pelosok dunia: korupsi yang menyeret nama-nama penting dalam jejaring negara. Maka dari lubuk kesadaran publik nan gundah dan resah, muncul seketul pertanyaan purba, apa yang telah rusak dalam kepemimpinan kita?
Dalam kepungan gelombang kabar muram itu, terasa amat relevan untuk membuka kembali lembaran pemikiran filsuf abad 13, tetapi pikirannya tetap bernapas dalam ruang-ruang etika publik: Thomas Aquinas. Ia adalah peziarah akal dan iman, yang merajut benang filsafat Aristoteles dengan kehangatan teologi Kristen, dan darinya pula lahir pandangan yang tak lekang oleh rentang benang sejarah waktu.
Aquinas percaya bahwa di dalam diri manusia terdapat hukum alamiah, lex naturalis, sebuah bisikan moral yang dapat dikenali oleh akal budi. Ia bukan hukum yang dituliskan dalam pasal-pasal, melainkan tertulis dalam hati nurani setiap insan yang berkar jauh hingga ke relung jiwa. Ia menuntun manusia agar manusia sanggup membedakan antara yang adil dan yang curang, antara pengabdian dan pengkhianatan.
Dan, tatkala para pejabat publik di Pertamina memperalat wewenangnya demi keuntungan pribadi dan keluarganya, melawan hukum yang mereka bersumpah untuk junjung, mereka sejatinya telah merobek lex naturalis itu. Mereka tidak hanya melanggar undang-undang buatan manusia, tetapi juga hukum batin yang membentuk martabat manusia sebagai makhluk rasional dan etis.
Keutamaan telah mati
Aquinas menempatkan keutamaan (virtues) sebagai fondasi kehidupan bersama. Keadilan, kebijaksanaan, keberanian, dan penguasaan diri adalah bintang-bintang gemerlap yang bercahaya yang menuntun pemimpin agar tidak tersesat dalam gelapnya kekuasaan. Namun, hari ini, kita hidup di zaman ketika virtue telah digantikan oleh rente, dan jabatan bukan lagi amanah, melainkan peluang untuk memperkaya diri. Bisnis wewenang adalah keniscayaan massif tanpa pikul moral hakiki yang berarti. Bisnis wewenang melibatkan banyak pihak dan aneka sektor tanpa sedikit pun rasa malu. Entah kah itu melibatkan penegak hukum yang seharusnya tunduk pada palu godam keadilan, tetapi merekalah justru berdiri di garis depan menghina dirinya sendiri dengan melecehkan keadilan, kebaikan, demi kenikmatan harta dengan dagang kuasa dan kekuasaan yang berdagang.
Korupsi yang melanda Pertamina bukanlah tindakan insidental, dadakan atau sekadar kecelakaan, melainkan gejala dari suatu krisis jiwa, erosi moral. Ia lahir dari rahim ketamakan (avaritia), disuburkan oleh pupuk kesombongan (superbia), dan disahkan oleh pangkat kerakusan (gula). Maka benarlah kata Aquinas, bahwa tanpa keutamaan, kekuasaan hanyalah alat untuk meneguhkan disorientasi jiwa yang kacau. Tanpa kontrol moral, penegak hukum menjadi alat bagi manusia liar dan gelojo.
Hilang Arah
Dalam bayangan Aquinas, negara bukanlah perkakas sekelompok elite, melainkan wadah untuk memperjuangkan bonum commune, kebaikan bersama. Negara adalah tatanan yang berakar pada keadilan, bukan transaksi; pada pelayanan, bukan penguasaan.
Namun hari ini, kita menyaksikan bagaimana institusi-institusi negara menjelma menjadi arena barter kekuasaan. Di dalamnya, hukum tak lagi berakar pada keadilan, melainkan pada negosiasi. Bahkan lex posita, hukum positif, terasa kosong, karena kehilangan ruh dari lex naturalis yang seharusnya menopangnya.
Kepemimpinan begitu juga. Dalam pandangan Aquinas, kepemimpinan adalah pengabdian moral, bukan sekadar manajemen kekuasaan. Ia menuntut pembentukan karakter, kebiasaan baik yang dibentuk oleh latihan spiritual dan disiplin etis, habitus virtutis. Namun kini, jabatan tampak tak lagi mengandung panggilan etis. Ia sekadar alat untuk menumpuk kekuasaan, membangun dinasti, dan melanggengkan patronase. Dia berubah menjadi organisasi para pecundang negara. Perihal mengapa hal itu menjadi mungkin? Penjelasan aneka madzab pastilah jamak tafsir.
Namun, ketika akal sehat publik dicederai, tatkala integritas tak lagi menjadi syarat kepemimpinan, kita lalu berhadapan dengan krisis yang lebih mengerikan dari sekadar tata kelola: kita mengalami krisis akal budi. Aquinas berpendapat, krisis akal adalah krisis moral. Karena itu diperlukan seruan untuk kembali ke jalan benar.
Seruan kembali
Apa yang harus dilakukan di tengah zaman yang demikian gulita ini? Andaikan Aquinas sedang duduk di samping saya tatkala saya menulis artikel pendek ini, mungkin saja dia berbisik begini dari sebuah lorong waktu: kembalilah pada keutamaan. Reformasi birokrasi bukan hanya tentang sistem, melainkan tentang jiwa. Tanpa etika yang tertanam dalam hati para pemimpin, setiap sistem akan dikorupsi.
Kita lalu tak cukup hanya memperbaiki aturan; kita harus membentuk manusia baru, manusia pemimpin yang hidup dengan keutamaan, bukan nafsu apalagi membiarkan hasrat serakah membiak beranak pinak. Karena seperti yang diyakini Aquinas: hanya dengan jiwa yang tertata, kita bisa menata masyarakat yang adil.
Kini, ketika retorika keadilan hanya semacam mesin produksi kata-kata, bahkan terdengar hampa di tengah padang kepercayaan publik yang terus menipis, mungkin inilah saatnya kita menggali ulang warisan pemikiran klasik. Dari balik reruntuhan etika politik, suara Aquinas menggema: bahwa tanpa cinta kepada keadilan, tanpa pengabdian pada kebaikan bersama, maka kekuasaan hanya akan menjadi jalan pintas menuju kehancuran moral.
Jika demikian, barangkali kini saatnya kita menuntut lebih dari sekadar teknokrasi yang handal. Kita sesungguhnya, dan mungkin memang hanya begitu, memerlukan kepemimpinan yang berhati, yang berakar pada lex naturalis, dan berjalan menuju bonum commune. Karena hanya dengan itu, politik kembali menemukan maknanya yang sejati: sebagai jalan dan instrumen menuju keselamatan bersama. Semoga.