Oleh P. Kons Beo, SVD
Turbulensi politik di pesawat presiden?
Tarung pendapat tak terelakkan. Elit Indonesia kembali ribut. Ini bukan lagi soal Covid-19 yang masih mendera. Soal Covid-19, sepertinya kita sudah belajar pasrah pada keadaan. Jiwa raga nampaknya sudah mampu beradaptasi. Walau seadanya dan tetap tertekan.
Indonesia kini punya heboh baru. Ada soal menyangkut pesawat presiden. Soal di darat seperti Covid-19 dengan konsekuensi PPKM dengan segala ekor akibatnya belumlah tuntas, kita rela melenting ke masalah pesawat di udara.
Herannya, ini bukan masalah teknis serius berkenaan dengan keamanan pesawat presiden. Bukan! Sebenarnya ini soal sepele saja. Cuma menyangkut warna pesawat presiden. Dari biru yang mau berubah jadi merah. Itu saja.
Gara-gara ubah warna itulah, pesawat design khusus seharga total 91,2 juta USD (Rp 820 M) sudah picu masalah. Belum sekalipun terdengar pernah terjadi soal gawat di udara dengan pesawat itu. Tetapi di darat, ada perang opini yang timbulkan goncangan politik. Ya, walau Mochtar Ngabalin punya pendapat bahwa, yang bawa-bawa agenda warna cat pesawat presiden ke ranah politik itu “betul-betul kampungan.”
Soal ubah warna pesawat presiden kini lagi dikeroyok ramai-ramai oleh para kader Partai Demokrat. Ini petunjuk terang menderang adanya api politik dalam bongkahan asap sosial kemasyarakatan yang lagi tersengal, napas satu-satu tersumbat oleh si Covid-19.
Baca juga: Covid-19, Seroja dan Pembangunan di NTT
Di masa Pemerintahan SBY (2004 – 2014), dominasi warna biru pada pesawat itu memang sudah ada dan dipertahankan. Tak ada yang diributkan dan meributkannya. Toh, kini kenapa jadinya heboh? Roy Suryo punya kritik menukik. Ini hanya tanda bahwa pemerintah tak punya empati. Tidak usah dipaksakan!
“Momentum yang kurang pas” kata Alvin Lie, seorang pengamat penerbangan. Kita ketiadaan ‘sense of crisis’. “Bukan soal warna!,” kata Lie.
Herzaky Mahendra Putra, Kepala Badan Komunikasi Strategi Partai Demokrat, punya pertanyaan terukur, “Apakah penting dan prioritas mengecat pesawat presiden saat ini? Apakah kalau tidak dicat saat ini, membahayakan nyawa presiden saat memakai?”
Sementara, argumentasi sikap pro untuk ubah warna pesawat presiden tak kalah tajamnya. Jalani saja bila sudah direncanakan matang. “Pemborosan dari mana? Uangnya sudah disiapin,” kata Chappy Hakim. Jelang peringatan Proklamasi RI ke 76, pesawat presiden mesti tampil beda dan elegan. Sesuai dengan warna bendera RI, merah-putih. Itu lebih menyapa dan mewakili seluruh tumpah darah Indonesia. Ketimbang pilihan akan warna-warna lain yang terkesan eksklusif dan limited jangkauannya.
Kita memang sudah terbiasa dan terpola dalam cara pandang terkotak-kotak! Identitas dan citra sektarian (group-isme) sulit untuk dihindari. Soal warna pesawat presiden saja kita ribut! Bayangkan kalau sampai memilih angkutan publik yang mesti sesuai dengan dukungan politik pada partai pilihan? Betapa warna-warninya Republik ini. Syukurlah tetap ada spirit Bhineka Tunggal Ika.
Baca juga: Pancasila Rumah Kita
Tetapi, apakah ubah warna pesawat presiden dari biru ke merah hanya beralasan pada warna bendera nasional? Apa ini tak jadi petunjuk bahwa Megawati-Jokowi-PDIP (Merah) sampai kapan pun akan tetap berseberangan kontra SBY-Cikeas-Demokrat (Biru)? Entahlah!
Di titik lain yang agaknya usil, mungkin saja Pemerintahan Jokowi yang akan berakhir 2024 ini tak ingin dikenang hanya sebatas segala bukti nyata kemenangan dan kemajuan di darat. Tetapi bahkan di udara pun mesti tergambar dan terpahat sky victory.
Sementara itu, keluarga besar Partai Demokrat yang kini lagi menatap langit harapan untuk bangkit dari segala kemerosotan, mesti sekian terganggu dengan pesawat RI 01 yang tak biru lagi.
Karena biru bagi Demokrat tak sekedar warna. Biru adalah identitas, pesan, harapan, motivasi dan perjuangan! Sayangnya, kalau yang di udara itu telah berubah jadi merah.
Tetapi dalam politik, kata teman saya, tak ada kata menyerah! Warga Demokrat tak usah berkecil hati dan bermuram durja. Bisa saja terjadi bahwa reaksi terlalu mengguntur soal warna pesawat presiden bisa kontra produktif untuk Pilpres atau Pileg mendatang.
Pikir yang praktis dan simpel-simpel saja. Entah mau warna apa saja si pesawat elit presiden, toh langit di udara tetaplah biru. Sama saja, walau kapal perang RI hendak dicat warna apa saja, tak akan pernah ubah biru nya warna lautan. Bagaimanapun ini tentu tak mudah. Riak-riak politik adalah produk, konsumsi, serta instrumentum yang tak mudah ditebak geraknya walau sekian nyata akibatnya.
Baca juga: Mari Pulangkan Agama pada Misteri
Tetapi, di atas segalanya, sense of crisis mesti jadi atensi bersama. Di jalanan, ambulans masih bersuara dengan frekuensi yang tinggi. Pandemi Covid-19 masih menerjang. Apa pun elemen dalam kehidupan bersama terpanggil untuk taat, setia dan proaktif untuk keadaan miris yang dihadapi bersama. Iya, dari pada harus ribut-ribut soal warna pesawat.
Jelang peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2021, seorang ‘bapa keluarga’ di pedalaman lagi serius berpikir untuk memutuskan: Entah kah harus membeli cat untuk mengecat pagar rumahnya agar terlihat indah di jelang HUT RI? Atau kah bahwa ia harus membeli seragam merah putih bagi anaknya untuk bisa ikuti apel bendera dengan percaya diri di lapangan desa? Untuk sikapnya yang arif mesti kah kita coba bertanya pada rumput Pancasila yang bergoyang?
Verbo Dei Amorem Spiranti