“Kebenaran tidak sedang dicari. Dia sudah dijadikan milik. Dan justru di sinilah masalahnya. Yang satu masih berjuang meraih kebenaran. Yang lain telah pastikan dirinya sebagai pemenang dan bahkan regim kebenaran itu.” – (Anonim).
Oleh P. Kons Beo, SVD
Barabas. Nama itu bisa terbaca dalam ke empat kisah Injil-Alkitab. Dijamin, tak ada satu nama baptis yang dihubungkan dengan sosok Barabas. Itu sudah pasti.
Barabas adalah pemberontak keji. Ia jadi ancaman serius bagi keamanan umum. Pun sungguh jadi teror kenyamanan kepemimpinan Pilatus. Pilatus itu wali negeri, pembesar Romawi yang kuasai wilayah Yudea, Samaria dan Idumea. Ia berkuasa sekitar tahun 26 hingga tahun 36 M.
Sosok Barabas itu tampil di kisah Injil bersama Yesus di pengadilan Pilatus. Pilatus tahu benar bahwa Yesus sungguh tak bersalah. Ini semua bergerak dari rasa benci. “Pilatus memang mengetahui bahwa imam-imam kepala telah menyerahkan Yesus karena dengki.” (Mrk 15:10).
Di pengadilan itu, Pilatus sama sekali tak putuskan satu kata akhir nan pasti. Bayangkan, seorang pembesar wilayah akhirnya harus tanpa kepastian hukum! Sebab ia serahkan kedaulatan suara putusannya pada keinginan elitis dan desakan massa yang sungguh keji! Lalu, dengan entengnya Pilatus biarkan Yesus untuk disalibkan.
Dan Barabas? Bukannya dapatkan keringanan atau beratnya hukuman, Barabas malah Pilatus bebaskan. Padahal, seturut catatan penulis Injil Lukas, “Barabas ini dimasukkan ke dalam penjara berhubung dengan satu pemberontakan yang telah terjadi dalam kota dan karena pembunuhan.” (Luk 23:19). Si ‘otak di balik banyak pembunuhan’ ini justru melenggang ke alam bebas murni.
Dapat dibayangkan duka nestapa di hati Maria, sang Ibu Yesus. Hati seorang ibu yang sungguh terluka. Betapa anaknya mati tragis dengan tiada bersalah sedikit pun.
Demikian pun kaum sederhana yang sungguh voiceless untuk melawan arus gaung teriakan berjamaah, “Bebaskan Barabas! Jangan DIA!” (cf Yoh 18:40). Dalam karyanya, Jesus of Nazareth, sutradara Franco Zeffirelli, tampilkan wajah senyum penuh lega si Barabas saat ia dinyatakan bebas.
Namun, tidakkah perlu ada imajinasi bahwa sosok Barabas bukanlah sosok tunggal? Dan bisa saja terjadi bahwa ada ‘Barabas kolektif’ yang berzig-zag di balik sikap tak bernyali Pilatus itu? Apakah tak mungkin bahwa area istana Pilatus telah disusup-susupi anggota gang Barabas? Agar Barabas dapat keringanan hukuman atau malah dibebaskan? Entahlah.
Padahal, orang teramat dekat Pilatus, yakni istrinya sendiri, sudah berbisik, “Jangan engkau mencampuri perkara orang benar ini, sebab karena Dia aku sangat menderita dalam mimpi semalam.” (Mat 27:19).
Sayangnya, orang sewibawa Pilatus itu justru harus kehilangan wibawanya dengan ‘mencuci tangan’. Dan Pilatus sendiri malah harus berlari dari kenyataaan, “Aku tidak bersalah atas darah Orang ini.” (Mat 27:24).
Bila direnungkan, kisah pengadilan ala Pilatus bentangkan serial drama penuh emosi yang tak bisa ditutup-tutupi. Tuduhan palsu genjar didakwah pada Yesus. Padahal si Nazaretan itu sedikit pun berbuat salah. Pun bikin yang aneh-aneh. Yesus malah mengajarkan dan berbuat kebaikan.
Sementara Barabas, si teroris itu, ternyata punya ‘nasib mujur’. Pilatus kelabakan dalam pengadilan yang syarat kepentingan dan manipulasinya. Takut pada orang banyak, gentar pada gang Barabas, cemas akan kehilangan kedudukan jabatan, dan mungkin saja tak berdaya pada suapan elitis Yahudi, Pilatus menyerah tak bernyali, yang berujung pada ‘cuci tangan itu’.
Krisis di arena pengadilan itu bikin Pilatus terasing dalam dirinya sendiri. Sebab, ia tahu Yesus tak bersalah. Ia tak mungkin tak paham akan alarm istrinya. Pilatus pasti tak buta mata akan betapa ganasnya teror dan daya kerja mafia-nya gang Barabas itu. Tetapi, itulah, dalam serba tak karuan hati, tempat yang ternyaman adalah bersembunyi dalam diri sendiri di balik aksi ‘cuci tangan’.
Di hari-hari belakangan ini, untuk sementara Sambo cs dipinggirkan sejenak. Dan adalah tim JPU, iya Jaksa Penuntut Umum, yang ditampilkan di area publik. Tuntutan Jaksa dianggap tebal kejanggalan di pengadilan Sambo cs.
Setiap orang, yang disebut pakar hukum, pengamat ahli, pengamat biasa, atau yang sekadar ‘intip-intip’ soal dakwaan dan tuntutan JPU, pada geleng-geleng kepala dan ‘makan hati dan makan gigi’ tak mengerti. Bisa begitukah si Ibu Putri Candrawathi hanya dituntut 8 tahun hukuman? Begitu pun untuk si Ricky Rizal dan Kuat Ma’ruf?
Sementara Richard Eliezer, yang sudah dianggap bagai justice collaborator, terdakwa yang lalu jadi pembuka tabir skenario Sambo, harus dituntut 12 penjara? Logika dan fakta seperti apa yang dipakai JPU untuk bermuara pada konklusi seputar lamanya masa hukuman untuk setiap terdakwa?
Adakah aroma suram dan pekat yang patut diendus dan disusuri? Media sosial hari-hari ini sungguh dibanjiri dengan segala rasa hati dan kepala yang tak mengerti dan penuh curiga ‘yang bukan-bukan’.
Logika apa pun yang beraroma pro JPU nampaknya tak sanggup menangkis gempuran sumpah serapah serta caci maki. Adakah yang tak beres dan penuh setingan di balik tuntutan JPU ini? JPU nampaknya dikejar-kejar untuk tak begitu gampang ‘cuci tangan’. Dan serahkan semua kata akhir pada Dewan Hakim yang mulia.
Sabang hingga Merauke dipaksa untuk kuraskan energi lagi. Setelah lelah dengan tumpahan air mata Ibu Putri Candrawathi dan ikuti logika rumit Ricky Rizal, di hari-hari ini segala daya perhatian mesti tercurah pada kata-kata tuntutan dan gelagat Jaksa Penuntut Umum.
Sesudah tahap ini? Entahlah apa dan bagaimana yang menjadi kata akhir putusan Dewan Hakim yang mulia? Inilah repotnya bila ‘kebenaran’ jadi posesif sifatnya. Kebenaran itu milikku dan milik kami. Dan bukannya milik mereka… Dan dengan cara apa pun mesti ‘aku dan kami’ pertahankan.
Tetapi, katanya, ini bukanlah krisis pengadilan. Yang benar adalah krisis hati nurani. Dan itu berdampak pada dehumanisasi yang sungguh menakutkan. Sebab citra dan martabat manusia sungguh ditenggelamkan ke dasar laut terdalam.
Bagaimana pun, kita tetap berharap pada citra penegakan hukum yang punya wibawa, berdaulat dan benar-benar memerdekakan. Apa dan bagaimana nanti, satu kepastian hukum mesti dijatuhkan!
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro – Roma