Satu Pesta Dua Versi

Di bawah langit Kupang yang usai menangis hujan membara rindu memeluk bumi, di antara sampah jalanan yang menari bersama banjir, kabar itu menyebar cepat dari warung kopi ke meja rapat, dari pasar ke grup WhatsApp keluarga: Gubernur Melki Lakalena akan menggelar pesta rakyat. Kita sambut dengan dahaga yang sama.

Surat Dari Dapur Redaksi- Para pembaca nan bijak. Lama nian ya kami tidak berkabar tentang isi dapur kami. Para pembaca, mungkin saja, seperti juga kami di redaksi, sibuk dengan urusan masing-masing. Tetapi, dari jendela dapur redaksi detakpasifik.com diperoleh seketul kabar tentang bakal digelar pesta akbar yang diwartakan dari hati ke hati. Media sosial pun menyambutnya dengan tambur warta gegap gempita.

Kabar itulah yang kini kami bagikan untuk para pembaca. Siapa tahu kabar itu ada gunanya untuk direnungkan bersama sambil berharap segala sesuatu berjalan baiklah adanya. Tidaklah baik jika selembar pengetahuan tidak dibagi, apalagi jika dibagi tanpa kebijaksanaan. Seperti kata pepatah Afrika, Knowledge without wisdom is like water in the sand = pengetahuan tanpa kebijakasanaan bagaikan air di pasir. Begitulah.

Di bawah langit Kupang yang usai menangis hujan membara rindu memeluk bumi, di antara sampah jalanan yang menari bersama banjir, kabar itu menyebar cepat dari warung kopi ke meja rapat, dari pasar ke grup WhatsApp keluarga: Gubernur Melki Lakalena akan menggelar pesta rakyat. Kita sambut dengan dahaga yang sama.

Pesta yang katanya terbesar dalam sejarah NTT. Sebuah perayaan bagi rakyat, dengan musik, hiburan, dan jamuan. Gratis. Tak perlu undangan, tak ada tiket masuk. Sebuah perayaan yang, kata wartawan, adalah bentuk cinta sang gubernur kepada rakyatnya.

Di warung kopi kecil di sudut Pasar Oeba, beberapa pria duduk mengitari meja kayu yang sudah mulai rapuh dihajar pantat yang sama. Asap rokok murahan berputar pelan di udara. “Pak Gub bilang ini dari kantong pribadinya,” kata Soni, sebut saja namanya begitu, seorang pemuda yang duduk dengan kaki bersilang, matanya tak lepas dari layar ponsel. Ia baru saja membaca pernyataan yang diperolehnya dari aneka media online.

Klik dan baca juga:  NTT Baru: Manfaatkan Kekayaan, Bangkit dari Kemiskinan

Pak Asbanu, sebut saja begitu, lelaki tua yang rambutnya memutih, tersenyum tipis. Ia tidak punya ponsel pintar, tapi ia punya ingatan panjang. “Begitu, ya?” katanya, pelan. “Tapi, Sekda bilang ada Rp 200 juta dari APBD. Mana yang benar”.

Seketika, warung kopi itu senyap sejenak. Hanya suara kipas tua yang menggerutu dari langit-langit. “Jadi, yang benar yang mana?” tanya Magda, ibu penjual jagung rebus yang baru saja menurunkan dagangannya dari gerobak rusak. Soni mengangkat bahu. “Mungkin uangnya turun dari langit,” sahutnya.

Di seberang mereka, seorang pegawai negeri rendah hati yang baru saja menerima gaji mencoba menghitung dalam hati. Dua ratus juta. Itu berapa kali gajinya? Berapa ton beras bagi keluarga-keluarga yang masih bertahan dengan nasi jagung? Berapa sekolah yang atapnya bisa diperbaiki? Tapi, ia tidak bicara sekata pun. Ia tahu, di negeri ini, pertanyaan seperti itu hanya akan membuat orang dicap cemburu atau kurang bersyukur pada kemurahan Ilahi.

Pesta tetap harus berlangsung. Di ruang konferensi pers yang ber-AC dingin, seorang juru bicara menegaskan kembali bahwa gubernur menanggung biaya sendiri. Seorang wartawan mengangkat tangan. “Tapi Pak Sekda bilang ada dana APBD…”
Juru bicara itu tersenyum. “Oh, itu maksudnya kontribusi. Anggaran dan kontribusi itu beda”. Wartawan itu mengernyit. “Begini,” lanjut si jubir, “dana APBD itu bukan anggaran formal, hanya bentuk gotong royong pemerintah untuk menyukseskan acara ini”.

Klik dan baca juga:  Kolaborasi Pemerintah dan Gereja Majukan NTT

Di luar sana, rakyat sudah bersiap berpesta. Musik akan dimainkan, makanan akan disajikan, tawa akan mengisi udara. Gubernur akan berpidato tentang kebersamaan, persatuan, dan bagaimana pesta ini adalah bukti kepemimpinan yang melayani rakyat.

Di sebuah gang kecil, Pak Asbanu kembali ke gubuknya duduk di kursi kayu depan gubuk yang disebutnya rumah itu, mendengar anak-anak tetangganya menyanyikan lagu daerah dengan riang. “Pesta tetaplah pesta,” gumamnya. “Yang berubah hanya siapa yang membayar.” Dan esok, pesta akan usai. Jalanan akan kembali sepi, meja-meja katering akan dilipat, dan panggung-panggung akan dibongkar. Yang tersisa hanyalah tagihan.

Tapi siapa yang peduli soal itu? Pesta sudah selesai, dan ingatan rakyat pendek.
Pesta terjepit sukarela. Warga Nusa Tenggara Timur bersiap menyambut Pesta Rakyat Akbar yang dijanjikan akan menjadi perayaan terbesar sepanjang sejarah provinsi ini. Namun, kegembiraan ini sedikit terganggu oleh teka-teki anggaran yang lebih rumit daripada soal matematika anak kelas enam.

Media massa dengan penuh semangat mengumumkan bahwa pesta ini adalah wujud kemurahan hati sang pemimpin. “Ini murni dari kantong pribadi Pak Gubernur! Satu rupiah pun tak menyentuh APBD,” kata sumber yang tidak mau disebutkan namanya.

Namun, pernyataan ini mendadak goyah ketika Sekretaris Daerah Cosmas Lana ikut angkat bicara. “APBD juga berkontribusi Rp 200 juta,” katanya santai, seolah angka itu hanya setara dengan uang jajan mingguan anak pejabat seperti dilukiskan media Tribun Kupang.

Klik dan baca juga:  Manusia Spiritual Tak Akan Pernah Menyerah Meski Tantangan Besar Menghadang

Mendengar hal ini, rapat darurat dibuat. Seorang anggota tim tampak berkeringat dingin, sementara yang lain sibuk mencari cara agar pernyataan sebelumnya bisa tetap masuk akal. Akhirnya, solusi pun ditemukan: Dana APBD bukan bagian dari anggaran, melainkan donasi rakyat yang dikumpulkan melalui mekanisme birokrasi!
Sementara itu, rakyat NTT hanya bisa menghela napas panjang.

Seorang warga Kupang, Pak Amos, yang sehari-hari berjualan pisang goreng di pinggir jalan, hanya bisa tersenyum miris. “Yang penting ada hiburan, toh nanti kita juga yang bayar lewat pajak,” katanya sambil membalik pisangnya yang mulai gosong.

Di media sosial, perdebatan sengit terjadi. Pendukung gubernur menyebut bahwa angka Rp 200 juta itu adalah hoaks yang sengaja disebarkan kaum pesimis. Sementara yang lain bertanya-tanya: Jika benar dari kantong pribadi, kenapa harus diumumkan? Jika dari APBD, kenapa awalnya bilang tidak?

Terlepas dari itu semua, yang pasti pesta tetap akan berlangsung. Rakyat boleh bersuka cita. Selamat berpesta, NTT!