Sekadar Menimbang Sekolah Jam 5 Pagi

Ilustrasi Pixabay.

NTT mungkin saja miliki mimpi-mimpi dan harapan ke depan yang indah menjulang. Tak ada yang salah dengan semuanya itu. Bagaimanapun segala langkah dan terapan praktis mesti didesain secara nyata.

Oleh P. Kons Beo, SVD

Tiba-tiba teringat kata-kata Mgr Anton Pain Ratu, SVD. Bila tak keliru, di tahun 1989, ada seminar seputar misi di Seminari Tinggi Ledalero-Maumere. Kala itu, Mgr Anton, yang masih menjabat sebagai Uskup Atambua, gelontorkan satu kalimat tanya. Jika tak salah ingat, kalimat itu diungkapkan pada misa pembuka untuk seminar itu.

Tentu persisnya bunyi kalimat itu sudah tak teringat. Namun isinya kira-kira begini: “Bagaimana kita bisa maju, kalau ternyata sapi-sapi sudah bangun lebih dulu untuk cari makan, dan kita sendiri masih tidur lelap?” Terkesan humoris. Tapi sebenarnya tentu tak sesederhana itu.

Terdengar seram dan tak elok di kuping. Mana bisa Bapak Uskup bandingkan manusia dengan sapi-sapi? Namun, bukan hal ini juga mengundang satu perenungan dan perhatian serius? Pagi-pagi itu harusnya ‘bangun lebih awal’. Manusia mesti kuasai segala makhluk lainnya dengan ‘bangun pagi-pagi’.

Teringat lagi orang di kampung halaman. ‘Pagi-pagi orang su urus kasih makan ayam dan babi. Kambing, kerbau, sapi, kuda sudah dieret ke padang.’ Atau juga segera ke sawah untuk ‘lihat air, jaga burung pipit atau pantau hama-hama lainnya yang berbahaya untuk tanaman.’

Dapat dibayangkan bila manusianya bangun kesiangan? Dan hal itu sudah jadi kebiasaan? Dampaknya tentu menantang dan mengkhawatirkan. Tetapi, itulah, manusia memang harus mengatur dan mengelola irama hidupnya yang berdampak pada hal-hal lainnya.

Jika memang harus ‘bangun pagi-pagi’, maka itu berarti harus diatur ‘tidur malam pada waktunya’. Artinya, mesti dihindari ‘mete malam’ dengan rupa-rupa alasannya. Sebab hari baru mesti diawali dengan wajah segar. Dengan semangat membara untuk bekerja atau berbuat sesuatu. Yang kreatif dan produktif.

Klik dan baca juga:  Biarkan Daniel Mananta Menantang

Saat-saat belakangan ini lagi seru ide dan terapan kegiatan masuk sekolah jam 5 pagi untuk sejumlah SMA/SMK negeri di Kupang. Ragam komentar sudah terhembus sana-sini. Wajarlah! Yang jelas, sikap pro dan kontra pasti tak terhindarkan!

Apa sebenarnya di balik gagasan ini untuk diterapkan? Yakinkah Kadisdikbud NTT, Linus Lusi bahwa ini, “Utamanya untuk melatih karakter agar anak-anak kita bisa disiplin belajar?” Pak Gubernur Viktor sekian yakin akan diktumnya bahwa anak mesti dibiasakan bangun pukul 04.30 Wita, dan jam 05.00 Wita sudah harus ke sekolah. Dan ini sejajar dengan mengikuti etos kerja.

Kalkulasi Pak Gub dan harapan Linus Lusi bolehlah sedemikian. Tetapi apakah harapan penuh semangat ini (ambisi) telah dikaji dari sekian banyak sudut pandang serta pertimbangan tertentu? Mari kita buat saja ‘hitungan kasarnya’. Iya, sesuai dengan alam dan suasana NTT seadanya.

Jam 5 sudah harus dimulai kegiatan di sekolahnya. “Anak-anak harus tertib istirahat malamnya. Para orangtua (pengasuh) mesti ingat baik-baik. Mesti bangun duluan. Sudah siapkan sesuatu demi sarapan yang wajar untuk anak-anak. Seragam sekolah juga sudah beres.”

Orangtua ingatkan anak remajanya untuk tak begadang kiri-kanan. Tidak kemalaman nonton TV, main game, kotak-katik HP tahu ukur waktu, atau terlarut hingga dini hari karena liga-liga di Eropa yang lagi sengit mesti dipadamkan! Masih ada hal lain lagi…

Tak boleh suruh-suruh kerja ringan ini itu. Ini belum lagi tentang siapkan air untuk mandi atau ‘cuci muka’. Supaya ke sekolah itu badan terasa segar. Dan bukannya muka pucat, apalagi kalau masih ada ‘tai mata yang melekat’ dan badan tidak segar.

Klik dan baca juga:  Menarasikan Kembali NTT: “New Tremendous Treasures”

Gawatnya, bila sang siswa cepat ke sekolah, namun bukannya untuk menuntut ilmu penuh semangat, namun ia hanya beralih-lokasi untuk ‘lanjutkan mengantuk dan tidurnya dari rumah ke kelas.’ Ini yang pasti bikin emosi pak dan ibu guru. Atau juga bahwa para guru jangan sampai mengajar namun banyak selingannya dengan menguap… Ini lebih repot nantinya. Mari lanjut…

Semoga saja para ojek sudah pada siap. Dan lagi, transportasi publik juga sudah lalu lalang ramai. Sekitar jam 5 pagi itu alam sudah tampakan terangnya, namun sama sekali belum menderangnya. Masih sedikit suramnya. Dan, ingat, bisa menjadi seramnya bila harus berjalan sendiri ke sekolah. Ibu-ibu tentu khawatir akan anak gadisnya jika harus ‘jalan sendiri’ di pagi sebelum jam 5 itu.

Kupang sudah aman benarkah sebelum jam 5 pagi itu? Tentu ada banyak pertanyaan di seputar wacana yang, katanya, sudah dimulai ini. Ini belum lagi bila harus disimak dari analisis dari para pakar seperti dokter, pendapat para pengamat psikologi remaja, dari kajian alam NTT yang berpengaruh pada stamina. Pun termasuk para analis masalah sosial lainnya di Kota Kupang.

Intensi mulia Pak Gub dan Pak Kadis Linus Lusi apakah wajib diterapkan seterusnya dengan kiat sekolah yang dimulai pada jam 5 pagi? Ataukah masih ada cara-cara lain hasil kajian serius demi menaikkan ‘martabat dan harga diri dunia pendidikan di NTT?’ Atau yang dilukiskan “demi masa depan anak-anak bangsa yang cerdas, gemilang dan berdaya saing?”

Untuk hasilkan sekian banyak orang pintar di NTT biarlah kita siapkan baik-baik segala hal praktis. Untuk tiba di sekolah tepat waktu saja sudah pada sulit, apalagi bila ‘dipaksa’ bahwa jam 5 sudah harus berada di sekolah.

Klik dan baca juga:  Parasitisme Negara atas Desa

Sarana transportasi itu mendesak. Itu belum lagi bagaimana cara agar para pendidik dan pengajar sekian dedikatif dan berjuang demi kemajuan bidang pendidikan.

Terekam lagi mimpi-mimpi lain yang harus jadi kenyataan. Hasilkan saja manusia NTT yang terampil dalam hal peternakan, pertanian atau perikanan, pun termasuk di sektor pariwisatanya.

NTT mungkin saja miliki mimpi-mimpi dan harapan ke depan yang indah menjulang. Tak ada yang salah dengan semuanya itu. Bagaimanapun segala langkah dan terapan praktis mesti didesain secara nyata.

Dengan itu, kita bebas dari yang ‘sekadar’ komando yang terkesan dadakan, mengejutkan dan mendulang tafsiran yang melebar sana-sini.

Terdengar logik-kalkulasi numerik-matematik bahwa pada jam sekian bangun tidur, berapa menit siap ke sekolah, dan jam berapa tiba di sekolah. Namun, riil dan berdamaikah ‘alam-situasi atau juga mental masyarakat dengan perhitungan itu?’ Ini lagi ramai diperdebatkan.

Bagaimanapun, sudah siapkan segala sesuatu demi jam 5 pagi di sekolah, mesti ditafsirkan selanjutnya sebagai sebuah narasi kedisiplinan.

“Di hari-hari mendatang, jika sudah jadi orang, jadi pegawai, jadi apa yang saja yang pantas, mungkin tetap terkenang bahwa ada kisah mulai sekolah jam 5 pagi.”

Untuk sementara mari kita tatap dulu NTT yang lagi didera cuaca ekstrem. Hujan, angin, banjir di mana-mana. Ruas jalan banyak yang rusak, jembatan-jembatan yang ambruk serta longsoran di mana-mana. Dan belum lagi beberapa korban yang belum ditemukan!

 

Verbo Dei Amorem Spiranti