Semua “Menyembah” Trump & AS

Trump Tak Butuh Perang, Dunia yang Takut Duluan" Ketika Presiden Donald Trump mengetukkan palu perang tarif pada awal April 2025, dunia mendadak gelisah. Nilai tukar rontok, bursa saham limbung, dan para menteri dari berbagai negara pun berbondong-bondong menuju Washington—bukan untuk bernegosiasi, tapi, seperti yang dikatakan penulis, “menyembah” AS.

images 2
Dr. Thomas Ola Langoday, SE.,M.Si.

Oleh: Dr. Thomas Ola Langoday, SE.,M.Si.
Dosen Global Economic Instritut STIE OEmathonis Kupang

Semenjak Presiden AS. Donald Trump mengumumkan perang tarif pada tanggal 2 April 2025 di mana kenaikan tarif universal berlaku tanggal 5 April 2025 dan tarif khusus timbal balik (reciprocal) tanggal 9 April 2025, sampai dengan hari ini gejolak nilai tukar mata uang dan indeks harga saham gabungan (IHSG) negara-negara yang terkena tarif reciprocal terus mengalami dinamika pelemahan.

Menurut hemat penulis, perang tarif impor yang dinyanyikan Presiden AS Donal Trump dengan nada dasar tinggi, sesungguhnya bukan saja soal perang tarif dan atau perang ekonomi, tetapi juga perang psikologi, perang harga diri sebagai negara adidaya. Beberapa kelompok negara yang membentuk persekutuan ekonomi untuk lepas dari dominasi dollar AS dan tidak menghiraukan peran AS sebagai negara adidaya merupakan pertimbangan utama presiden AS Donald Trump dan para menterinya. Setelah penetapan tarif universal dan tarif reciprocal, 59 negara yang terkena tarif ini berada pada posisi gelisah.

Mengapa Gelisah?

Semua gelisah karena tidak ada satupun yang mendapatkan keuntungan ekonomi dari perang tarif ini, termasuk AS sendiri pada tahap awal. Semua gelisah karena nilai mata uang masing-masing negara merosot, kalau tidak dibilang merosot tajam. IHSG merosot, ini adalah kegelisahan paling mendalam bagi para investor di bursa efek dan supply chain manajemennya. Semua gelisah karena inflasi ada di depan mata. Semua gelisah karena penumpukkan produk akan terjadi di dalam negeri. Semua gelisah karena banyak Perusahaan yang berorientasi ekspor (terutama ke AS) akan bangkrut.

Ancaman kebangkrutan memberi efek pengganda berantai; bakal terjadi PHK besar-besaran; bakal terjadi penurunan kesejahteraan dan daya beli; oleh banyak pengamat dikabarkan bakal terjadi resesi, yang oleh penulis resesi terjadi manakala didahului dengan krisis ekonomi. Hari ini, kalau terjadi penurunan aktivitas ekonomi maka krisis ekonomi sedang menghantui kita. Manakala penurunan aktivitas ekonomi itu sudah negative (decreasing return to scale), maka resesi ekonomi telah melanda dunia. Bersiaplah untuk depresi jika kebijakan yang diambil salah alamat.

Hipotesis Trump

Keputusan perang tarif ini dianalisis secara matang oleh Donald Trump dan tim ekonominya. Menurut penulis, Keputusan ini bukan saja soal ekonomi, soal defisisit neraca perdagangan AS, tetapi soal memudarnya penghormatan kepada AS dan juga presidennya (Donald Trump) sebagai negara adidaya, negara adikuasa. Sebagai contoh, beberapa negara yang tergabung dalam BRICS (Brasil, Rusia, India, Iran, Tiongkok, Afrika Selatan, Mesir, Etiopia) dan terakhir Indonesia juga menyatakan keinginannya untuk bergabung, mempunyai misi yang sama yaitu meminimalisir dominasi Dollar AS sebagai alat pembayaran Internasional. Memudarnya dominasi Dollar AS adalah gengsi besar AS. Ini soal harga diri negara. Ini soal Nasionalisme AS.

Pertanyaannya, bagaimana mengembalikan dominasi AS? Jika boleh, tidak hanya soal dollar, tetapi juga soal “penghormatan”, soal pengakuan, bagaimana semua yang merasa berkepentingan untuk “menyembah” AS, “menyembah” presidennya, “menyembah” menterinya. Langkah yang diambil adalah dimulai dengan “perang tarif impor”. Alasannya sederhana, deficit neraca perdagangan AS sudah menahun; dan ini logis. Kini, hipotesisnya terbukti. Dengan perang tarif impor, semua negara panik, semua negara gelisah. Kegelisahan inilah yang didambakan Donald Trump. Dia menginginkan semua kembali “menyembah” AS.

Mengapa hipotesis ini dikatakan terbukti? Bayangkan, hanya dalam waktu lebih kurang 13 jam pemberlakuan tarif impor reciprocal, presiden AS Donald Trump mengumumkan penundaan pemberlakukan tarif reciprocal selama 90 hari ke depan. Apa maksudnya? Supaya semua negara berlomba-lomba untuk “menyembah” AS; “menyembah” Donald Trump sebagai presiden AS, “menyembah” para Menteri dan pimpinan Lembaga yang terkait dengan tarif impor. Waktu 90 hari diberikan kepada semua negara untuk membangun komunikasi dengan AS. Dan hampir semua negara menyambutnya dengan sukacita. Betapa tidak, nilai mata uang masing-masing negara terhadap dollar AS mulai menunjukkan kesegarannya setelah beberapa saat agak layu; nilai IHSG yang terperosok cukup jauh, telah Kembali ke jalan yang agak mulus walau masih tertatih-tatih.

Indonesia merupakan salah satu negara yang terkena tarif reciprocal 32%. Belakangan, Indonesia juga gelisah dan mengutus beberapa menterinya untuk “menyembah” AS. Kabarnya ada 10 produk yang disepakati untuk direvisi tarif impornya. Namun berita itu tidak mempan untuk mengembalikan stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, dan belum mempan mengembalikan kepercayaan investor di pasar surat-surat berharga. Buktinya, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS masih terus melemah dan IHSG masih terus merosot (tidak stabil) sampai hari ini.

“Menyembah” AS, membangun komunikasi dengan Trump dan koleganya, inilah yang diharapkan oleh Donald Trump dan para menterinya. Tidak ada yang lain, kalau ada, itu di posisi minor. AS butuh dihormati dalam banyak aspek, ekonomi, Pendidikan, Kesehatan, politik, pertahanan dan keamanan. Mereka butuh dihormati sebagai negara adidaya. Mereka menginginkan semua negara berdamai dengan mereka. Mereka telah mengawalinya dengan perang dan kini semua mau berdamai dengan mereka (si vis pacem para bellum).*