NTT  

Senjakala Pupuk di Pota: Ketika Petani Menunggu Musim

IMG 20250425 211547
Faalu Ja'far

Di Pota, ladang telah siap, benih telah dipilih, dan cangkul telah diasah. Namun, satu elemen penting hilang: pupuk. Ketika tanah memanggil dan musim mengetuk, para petani justru terjebak dalam labirin birokrasi dan beban distribusi yang membungkam harapan. Di negeri yang selalu digadang sebagai lumbung pangan, mengapa pupuk—sebuah kebutuhan dasar—masih menjadi kemewahan?

Catatan Pius Rengka

Di pesisir utara Flores, ketika musim mulai menggeliat dari balik awan April, ladang-ladang di Pota, Nanga Mbaur, dan Nanga Mbaling telah bersolek menyambut musim tanam yang baru.

Tanah telah digembur, gulma disiangi, dan keringat petani menetes membasahi harapan: bawang dan jagung akan segera ditanam setelah padi dipanen tuntas pada bulan Mei.

Namun, harapan itu kini bagai kabut pagi yang sirna perlahan di hadapan matahari realitas. Pupuk menghilang dari peredaran. Kelangkaan ini bukan semata karena alam yang lalai, melainkan rumitnya jalur birokrasi dan beban logistik yang menghimpit para pengecer.

Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk ditetapkan pemerintah sebesar Rp112.500 per karung, tetapi di balik angka yang tampak sederhana itu, tersembunyi jerat administratif yang membuat para pengecer kelimpungan. Mereka diharuskan melengkapi berlembar-lembar formulir, mengatur distribusi, membayar buruh bongkar muat, hingga menanggung ongkos angkut yang tak sedikit. Maka, pupuk pun menghilang, bukan karena tak tersedia, tetapi karena tak mungkin dijual tanpa kerugian.

Pak Husen Adam, salah satu pengecer di Pota, akhirnya memilih mundur. Sebuah keputusan sunyi yang menggema keras di telinga para petani. Sebab mundurnya dia bukan hanya soal bisnis, tetapi isyarat akan sistem yang tak berpihak. Di tengah keruwetan itu, petani kecil terjepit, menggenggam cangkul dan harapan dalam waktu yang sama.

Faalu Jafar, petani yang sudah puluhan tahun menaklukkan kerasnya tanah Pota, mengisahkan getirnya musim yang terganggu ini. Ia bicara kepada redaksi detakpasifik.com dengan suara yang penuh desah panjang.

Bagi Jafar dan petani lainnya, ketiga komoditas yaitu padi, jagung, dan bawang, bukan sekadar hasil tani, tetapi simbol perubahan sejak hadirnya program TJPS (Tanam Jagung Panen Sapi) yang pernah digelorakan oleh Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat.

“Dulu kami ragu bahkan sindir pesimis, tapi TJPS membuka mata kami,” ujar Jafar. Tanah-tanah yang dulu dibiarkan tidur di perbukitan kini dibangunkan. Semangat menanam muncul seiring adanya kepastian: hasil akan dibeli, panen tak akan sia-sia. Pemerintah, Bank NTT, dan pembeli berdiri dalam satu barisan bersama petani. Tapi hari ini, barisan itu seperti longgar, bahkan retak. Pupuk, elemen kunci dari seluruh rantai produksi, justru hilang saat musim hendak dimulai.

Andi Hamid, Lurah Pota, mengakui hal serupa. Begitu pun Ema, pengecer dari Nanga Mbaling. Masalahnya satu: administrasi yang ruwet, ongkos yang tinggi, dan harga pupuk yang dipatok terlalu rendah. Negara menetapkan harga, tapi tak memberi ruang bagi mereka yang menggerakkan distribusi untuk tetap hidup.

Saat ini, lebih dari 13 kelompok tani di Pota saja telah bersiap menanam, mengelola lahan ratusan hektare. Tetapi, semuanya kini terancam sia-sia karena pupuk tak kunjung datang. Harga jagung yang telah mencapai Rp4.000/kg pun tak lagi menggairahkan bila musim tanam tak berjalan sebagaimana mestinya.

“Bulan Mei kami panen padi,” ucap Jafar.

“Setelah itu, bawang dan jagung harus ditanam. Tapi pupuk masih tidak ada. Kami sudah menyiapkan ladang, tetapi dengan apa kami akan menyemai benih?”

Pertanyaan Jafar adalah pertanyaan banyak petani lain di negeri yang kerap disebut miskin tetapi kaya semangat ini. Di balik semangat pertanian yang terus digelorakan, selalu ada kerentanan yang menghantui bahwa pupuk bisa hilang, bahwa birokrasi bisa menjerat, dan bahwa harapan bisa pupus.

Kini, para petani di Pota menanti. Bukan hanya pupuk, tetapi kehadiran nyata negara. Bukan hanya formulir dan angka, tetapi keputusan yang menyentuh akar masalah. Sebab musim tidak pernah menunggu. Dan tanah, meski sabar, tak akan selamanya diam. Para petani tak harus selalu sabar dalam masa adventus yang tidak menentu, tetapi perjalanan nasib tidak boleh terus berulang hanya karena kegagalan birokrasi dan birokratisasi ekosistem pertanian. Selamat berkolaborasi.