Seputar Hukuman di Sekolah

Emmanuelle RA Wibowo. Dok. Ist

Hukuman itu bertujuan untuk menyadarkan anak kembali kepada hal-hal yang benar dan/atau yang tertib.

Oleh Emmanuelle RA Wibowo, Mahasiswa Program Studi BK FKIP di UKSW Salatiga

Pendidikan adalah tempat membentuk dan mengembangkan kepribadian seseorang secara menyeluruh. Dalam prosesnya pendidikan harus menekankan pada pengembangan pengetahuan (kognitif), juga mengembangkan kemampuan untuk berbuat sesuatu (psikomotor), serta mengembangkan sikap mental dan kepribadian sesuai dengan nilai-nilai di masyarakat (afektif). Salah satu persyaratan agar proses penyelenggaran pendidikan dapat berlangsung secara efektif maka penegakan kedisiplinan siswa, baik dalam kehadiran maupun keikutsertaannya di dalam proses pendidikan harus diutamakan.

Sebagai seorang pendidik tentunya sudah terbiasa menemui para siswa yang melanggar tata tertib, berperilaku menyimpang, dan mengganggu kegiatan pembelajaran. Tentunya terhadap siswa yang berperilaku demikian sebagai seorang pendidik tidak akan tinggal diam. Perlu adanya punishment atau hukuman bagi siswa yang berperilaku negatif. Sering dalam menerapkan hukuman guru terprovokasi menerapkan beberapa hukuman guna menghentikan perilaku negatif siswa. Tidak jarang dalam menerapkan hukuman yang dilakukan guru cenderung berlebihan, bahkan dalam kasus tertentu hukuman badaniah yang di lakukan oleh guru berakhir di meja hijau.

Hukuman sebagai salah satu teknik pengelolaan kelas, sebenarnya masih terus menjadi bahan perdebatan. Akan tetapi, apa pun alasannya, hukuman sebenarnya tetap diperlukan dalam keadaan sangat terpaksa, katakanlah semacam pintu darurat yang suatu saat mungkin diperlukan. Hukuman itu bertujuan untuk menyadarkan anak kembali kepada hal-hal yang benar dan/atau yang tertib.

Penguatan negatif dan penghapusan sebenarnya bernilai hukuman juga. Menyajikan stimulus tidak menyenangkan dalam pemakaian teknik penguatan negatif maupun tidak memberikan penguatan yang diharapkan siswa dalam teknik penghapusan, pada dasarnya adalah hukuman walaupun tidak langsung. Kalau penguatan negatif dan penghapusan dapat dikatakan hukuman tidak langsung, maka yang dimaksud dengan hukuman di sini adalah hukuman langsung. Hukuman langsung lebih efektif dalam menghentikan perilaku siswa yang menyimpang. Dengan kata lain, hukuman adalah penyajian stimulus tidak menyenangkan untuk menghilangkan dengan segera tingkah laku siswa yang tidak diharapkan. Yang termasuk alat pendidikan di antaranya ialah berupa hukuman dan/atau ganjaran.

Beberapa bulan yang lalu terjadi suatu kejadian di mana guru menampar siswa. Belakangan diketahui, peristiwa itu terjadi di SMK Kesatrian Purwokerto. Guru yang menampar siswanya itu mengakui perbuatannya dan menjadikan sebagian bagian dari pendidikan. Guru penampar siswa juga sempat menelepon wali kelas untuk menghukum siswa yang terlambat. Dengan alasan apa pun tamparan yang dilakukan oleh guru kepada siswa sama sekali tidak dibenarkan. Apa pun alasannya guru menampar siswa adalah perbuatan menyimpang dari tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) seorang pendidik.

Peraturan Kekerasan Terhadap Anak di Sekolah

Pemerintah telah secara tegas melarang adanya kekerasan yang terjadi terhadap anak di sekolah dengan membuat peraturan di antaranya:

  • Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 20 d yang menyatakan: “Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode  etik  guru serta nilai-nilai agama dan etika”.
  • Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 6 ayat (1) yang menyatakan: hubungan guru dengan peserta didik “Guru menjalin hubungan dengan peserta didik yang dilandasi rasa kasih sayang dan menghindarkan diri dari tindak kekerasan fisik yang di luar batas kaidah pendidikan”.
  • Undang Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 13 ayat 1 menyatakan bahwa “Setiap anak dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab, atas pengasuhan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, penelentaran, kekerasan, ketidakadilan atau perlakuan salah lainnya”.
  • Undang Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 54 yang menyatakan “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya”.
  • Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 80 ayat 1 juga sudah secara khusus mengatur tentang penganiayaan terhadap anak, dengan menyatakan: “Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah)”.
  • Kitab Undang Undang Hukum Pidana pasal 170 ayat 1 yang menya akan “Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan”.
Klik dan baca juga:  Makna di Balik Good Governance

Hukuman 

Apa yang dimaksud hukuman? Hukuman adalah suatu sanksi yang diterima oleh seseorang sebagai akibat dari pelanggaran atau aturan-aturan yang telah ditetapkan. Sanksi demikian, dapat berupa material dan dapat pula berupa nonmaterial. Hukuman mulai dahulu dianggap sebagai suatu alat pendidikan yang istimewa kedudukannya. Barnadib (1976) menyatakan menghukum ialah suatu perbuatan yang dengan sadar menyebabkan penderitaan pada seseorang. Dan memang hukuman itu dimaksudkan agar peserta didik benar-benar merasakan.

Kartini Kartono (1992) mengemukakan hukuman adalah perbuatan secara intersional diberikan sehingga mengakibatkan penderitaan lahir batin, diarahkan untuk menggugah hati nurani dan penyadaran hati si penderita akan kesalahannya.

Indrakusuma, A.D (1973) mengemukakan hukuman adalah tindakan yang dijatuhkan kepada anak secara sadar dan sengaja sehingga menimbulkan nestapa, dan dengan adanya nestapa itu anak akan menjadi sadar akan perbuatannya dan berjanji di dalam hatinya untuk tidak mengulanginya.

Tujuan hukuman sendiri sebagai alat pendidikan di mana hukuman yang diberikan justru harus dapat mendidik dan menyadarkan peserta didik. Apabila setelah mendapatkan hukuman, peserta didik tetap tidak sadar, sebaiknya tidak diberikan hukuman.

Langveld,1955 (Imron, 2011) memeberikan pedoman hukuman sebagai:

  1. punitur, qunnia no peccatum, yang berarti dihukum karena memang bersalah.
  2. Punitur no peccatum, yang berarti dihukum agar peserta didik tidak lagi berbuat kesalahan.

Berikut adalah beberapa hukuman yang sering dilakukan di sekolah:

  1. Pengurangan skor atau penurunan peringkat

Hukuman untuk jenis ini merupakan hukuman yang paling banyak dipraktikkan di sekolah, terutama untuk kesalahan siswa yang berupa: terlambat datang, tidak atau terlambat mengumpulkan tugas, atau bekerja dengan ceroboh. Apabila guru menentukan kriteria penilaian maka pemberian hukuman dalam bentuk pengurangan angka ini juga harus dipikirkan masak-masak, disesuaikan dengan jenis kesalahan siswa.

Strategi yang dapat diambil oleh guru adalah memberikan nilai secara rinci untuk masing-masing penilaian, misalnya: untuk nilai ujian semester dipisahkan dari nilai ujian tengah semester, untuk nilai tugas dibuatkan kolom sendiri, untuk kehadiran perlu diadakan pencacatan secara khusus agar guru dapat mempertimbangkan dengan cermat nilai untuk setiap aspek dan reratanya. Jika siswa membuat kesalahan untuk tugas, nilai yang dikurangi hanyalah nilai yang berhubungan dengas tugas saja, meskipun sebagai konsekuensinya memang akan mempengaruhi nilai akhir.

  1. Pengurangan hak

Hukuman jenis ini merupakan jenis yang dapat dipandang efektif karena dapat disesuaikan dengan selera siswa. Dengan demikian dari guru memang dituntut pengamatan yang teliti supaya dapat dengan tepat memilihkan pengurangan hak yang tepat bagi setiap siswa. Sebagai contoh: jika ada siswa yang selalu bicara di kelas tanpa ada izin sebelumnya dari guru maka anak tersebut diisolasikan tempat duduknya agar tidak memiliki hak sama sekali untuk berbicara dengan kawan-kawannya. Siswa yang senang sekali dengan buku, untuk sementara tidak diizinkan mengunjungi perpustakaan.

  1. Hukuman berupa denda

Jenis hukuman yang berupa denda ini di Indonesia merupakan sesuatu yang masih kurang atau tidak lazim. Yang dimaksud dengan “denda” dalam hal ini memang tidak berupa uang, tetapi banyak mempunyai makna ”pembayaran-payment”. Contoh: siswa yang melanggar peraturan lebih dari dua kali, maka hukuman denda ini diberikan baik berupa menghafal pelajaran esok atau menulis sebanyak 2 lembar.

  1. Pemberian celaan

Pemberian hukuman jenis ini kepada siswa biasanya digabungkan dengan jenis hukuman yang lain. Siswa yang melanggar peraturan penting yang diperuntukkan bagi siswa oleh sekolah, akan mendapat celaan. Guru menuliskan jenis kasus kesalahan siswa dalam buku catatan khusus, buku catatan nilai atau buku catatan yang lain. Umumnya pemberian buku catatan ini hanya untuk siswa yang melanggar peraturan kelas beberapa kali, bukan untuk jenis pelanggaran berat seperti melakukan “baku hantam“ seperti siswa yang lain.

Klik dan baca juga:  Tubuh dan Darah Kristus dan Ironi Sambut Baru

 

  1. Penahanan sesudah sekolah

Hukuman ini dapat diberikan hanya apabila siswa yang disuruh tinggal di sekolah setelah jam usai ditemani oleh guru sendiri atau oleh orang dewasa lain. Hukuman jenis ini biasanya diberikan kepada siswa yang terlambat datang, absen yang tidak dimaafkan atau melanggar peraturan sekolah yang dianggap penting atau tata tertib kelas.

  1. Penskoran

Hukuman jenis ini merupakan hukuman yang “berat”, terutama karena menyangkut aspek administratif siswa. Penskoran merupakan pencabutan hak sebagai siswa untuk sementara kepada siswa sehingga ia tidak mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana siswa yang mempunyai hak penuh sebagai siswa di suatu sekolah (skors: dikeluarkan sementara dari sekolah).

Penskorsan ini sifatnya berat. Oleh karena itu jenis hukuman ini hanya dilakukan apabila memang ada kesalahan yang sifatnya berat (infraction), ibarat tidak dapat diampuni lagi kesalahannya. Oleh karena sifatnya yang berat ini maka untuk menjatuhkannya perlu pertimbangan masak-masak. Dalam hal ini guru tidak dapat memutuskan sendiri tetapi harus berunding dengan sekolah. Di sekolah menengah, guru wali kelas perlu diajak bicara juga karena dialah yang mengetahui data yang lengkap untuk anak yang bersangkutan.

  1. Referal (refer: menunjuk)

Istilah “referal” ini terkenal dalam bidang bimbingan dan penyuluhan. Apabila bimbingan anak tidak mampu, atau merasa bahwa ia memerlukan bantuan dari pihak lain untuk menangani kliennya, maka pembimbing tersebut dapat “mengirim” klien yang sedang ditangani kepada orang lain, misalnya dokter (untuk masalah kesehatan), psikolog (untuk masalah kejiwaan), polisi (untuk masalah kriminil) dan sebagainya. Untuk referal yang berhubungan dengan masalah hukuman ini guru dapat mengirim siswa kepada kepala sekolah, guru pembimbing di sekolah, dokter sekolah atau petugas administrator pengelola yang lain dalam lingkungan sekolah.

Hukuman jika terpaksa diberikan harus mempertimbangkan syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Dasarnya tindakan harus kasih sayang dan rasa tanggung jawab, bukan karena alasan balas dendam atau pembalasan. Karena itu, jangan menghukum peserta didik ketika seorang pendidik sedang marah atau emosi.
  2. Tujuan hukuman untuk perbaikan tingkah laku atau sifat-sifat yang kurang baik dan terutama untuk kepentingan peserta didik di masa yang akan datang.
  3. Hukuman yang edukatif akan menimbulkan rasa menyesal atas diri sendiri dibarengi dengan kesadaran peserta didik.
  4. Hukuman diakhiri dengan pemberian maaf oleh pendidik kepada peserta didik. Setelah peserta didik menunjukan penyesalannya, dan berniat untuk memperbaiki kesalahannya segera hubungan edukatif antara pendidik dan peserta didik harus segera dipulihkan, dengan berbagai sikap dan kata-kata pendidik yang menunjukan bahwa menerima kembali peserta didik ini seperti sedia kala.

Teknik-teknik Punishment

Pelaksanaan hukuman sebagai salah satu metode pendidikan boleh dilakukan sebagai jalan terakhir dan harus dilakukan secara terbatas dan tidak menyakiti anak.

Tujuan utama dari pendekatan ini adalah untuk menyadarkan anak dari kesalahan-kesalahan yang ia lakukan. Pemberian hukuman harus dimulai dari tindakan sebelumnya yang dimulai dari teguran langsung, melalui sindiran, melalui celaan, dan melalui pukulan.

Oleh karena itu agar pendekatan ini tidak terjalankan dengan leluasa, maka setiap pendidik hendaknya memperhatikan syarat-syarat dalam pemberian hukuman yaitu:

  1. Pemberian hukuman harus tetap dalam jalinan cinta, dan kasih sayang.
  2. Harus didasarkan pada alasan keharusan.
  3. Harus menimbulkan kesan di hati anak.
  4. Harus menimbulkan keinsafan dan penyesalan kepada anak didik.
  5. Harus diikuti dengan pemberian maaf dan harapan serta kepercayaan.

Solusi

Guru memang diperbolehkan memberikan hukuman yang ringan, seimbang dengan kesalahan peserta didik dan tidak menyakiti fisik atau psikis peserta didik. Jadi, sebelum menentukan hukuman apa yang tepat sehingga bertujuan peserta didik merasa jera dan termotivasi memperbaiki diri sebaiknya guru memperhatikan terlebih dahulu faktor-faktornya.

Klik dan baca juga:  Melihat, Mencermati dan Memahami Kunjungan Kerja Gubernur

Pertama memberikan hukuman sesuai dengan jenis pelanggaran dan diberikan secepatnya. Hal ini bertujuan agar anak-anak mengingat ‘rasa’ dari hukuman tersebut, sehingga ketika mereka melakukan kesalahan yang sama mereka jera terhadap ‘rasa’ hukumannya. Kedua bersifat konsisten dalam menerapkan hukuman, misalnya apabila kemarin guru sudah menghukum peserta didik karena kesalahan A, dan di hari berikutnya peserta didik masih melakukan kesalahan yang sama, maka berlakukan hukuman yang sama pula.

Ketiga tidak melukai fisik dan psikis peserta didik. Keempat membangun diri anak. Tujuan dari pemberian hukuman adalah untuk menghalangi anak melakukan kesalahan yang sama dan mendorong atau memotivasi untuk hal yang lebih tepat. Kelima alasan mengenai hukuman yang diberlakukan karena bertujuan membuat peserta didik mengerti bahwa guru ingin menjadikan peserta didik sebagai pribadi yang lebih baik.

Keenam mengarah untuk memperbaiki moral anak, sehingga apabila muncul kondisi tertentu, moralnya akan tergerak untuk menahannya melakukan kesalahan yang sama. Ketujuh tidak boleh menimbulkan rasa terhina atau permusuhan.

Hukuman yang bersifat edukatif itu jelas akan menumbuhkan keinsafan pada peserta didik bahwa dia pernah berbuat salah. Selanjutnya ia bersedia memperbaiki tingkah lakunya. Karena itu nilai pedagogis dari hukuman ialah: apabila hukuman itu membantu peserta didik untuk bisa bertanggung jawab dan mandiri secara susila, sehingga peserta didik mampu melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan perkembangan moral. Perkembangan moral yang dimaksud ialah keinsafan terhadap moralita dan kerelaan untuk berbuat sesuatu sesuai dengan moralita.

Gunning, Kohnstamm dan Scheler (dalam Kartini Kartono, 1992) berkata “Hukuman dalam pendidikan harus mengandung tujuan membangunkan keinsafan batin, atau menumbuhkan dan mempertajam hati nurani”. Jadi, hukuman harus bisa melontarkan peserta didik pada diri sendiri, yaitu pada aku-morilnya; di samping dialami oleh anak sebagai sebagai satu nestapa disebabkan oleh kekeliruan tingkah laku, perilaku yang buruk, atau tindak-tanduk yang tidak patut. Dan di kemudian hari bisa memunculkan penyesalan pada anak atau individu yang bersangkutan.

Harus ditekankan pula bahwa hukuman itu sifatnya tidak menghina anak, dan tak merendahkan martabat dirinya. Sebaliknya, hukuman tersebut supaya bisa membangkitkan rasa rendah hati, dan kesediaan untuk mengakui kesalahan dan kelemahan sendiri, lalu bersedia memperbaiki tingkah lakunya karena itu hukuman harus menghormati bahkan membangunkan nilai-nilai moril/etis peserta didik.

Hukuman diberikan agar individu menyadari kekeliruannya, lalu ikut merasakan apa yang dirasakan sebagai akibat dari perbuatan anak/orang. Jadi, dalam pemberian hukuman itu terkandung tujuan etis (moril, susila, baik, benar).

Hukuman diberikan karena memang ada peserta didik berbuat kesalahan dan dimaksudkan agar pelaku menghentikan atau meninggalkan perbuatan yang tercela, kemudian tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Dengan demikian, peserta didik yang bersangkutan menjadi jera.

Penutup

Seorang guru haruslah memperhatikan peserta didik dan memberikan hukuman yang sifatnya tidak melukai secara fisik maupun psikisnya. Dengan kata lain tidak boleh seenaknya memberikan hukuman demi perubahan terhadap perilaku peserta didiknya.

Hukuman akan bersifat positif apabila pelaksanaannya berlangsung bijaksana, dan mengandung tujuan: Pertama, untuk memperbaiki individu yang bersangkutan agar menyadari kekeliruannya, dan tidak akan mengulanginya lagi. Kedua, melindungi pelakunya agar dia tidak melanjutkan pola tingkah laku yang menyimpang, buruk dan tercela. Ketiga, sekaligus juga melindungi masyarakat luar dari perbuatan-perbuatan salah (nakal, jahat, a-susila, kriminal, abnormal, dan lain-lain) yang dilakukan oleh peserta didik atau orang dewasa.

Sebaliknya hukuman akan memberikan dampak negatif apabila hukuman itu dipakai sebagai: Pertama, alat untuk membalas dendam. Kedua, sebagai alat untuk menakut-nakuti dan mengancam– hanya sebentar saja, dan tidak menimbulkan rasa jera pada pelakunya. Ketiga, dipakai sebagai alat untuk menindas anak tanpa membukakan pengertian akan kekeliruannya. Hukuman demikian ini mirip dengan tindak kekejaman atau kekerasan.