Serentak Bergerak Mewujudkan Merdeka Belajar

Fr. M. Yohanes Berchmans, Bhk, M.Pd.

Oleh: Fr. M. Yohanes Berchmans, Bhk, M.Pd, Kepala SMPK Frateran Ndao

“Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan.” – Tan Malaka.

“Apapun yang dilakukan oleh seseorang itu, hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsanya, dan bermanfaat bagi manusia di dunia pada umumnya.” – Ki Hadjar Dewantara.

Demikianlah tema peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang digelar tanggal 2 Mei tahun 2021, di tengah situasi pandemik Covid-19.

Peringatan Hardiknas 2 Mei tidak terlepas dari hari kelahiran seorang tokoh pelopor pendidikan Indonesia, yakni Ki Hadjar Dewantara, yang lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889 dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berasal dari keturunan Keraton Yogyakarta. Beliau adalah bapak pendidikan Indonesia dan untuk menghormati jasanya di bidang pendidikan, maka pemerintah Indonesia menetapkan tanggal kelahirannya yakni 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional. Hari Pendidikan Nasional ini ditetapkan melalui Keppres No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959.

Sebagai menteri pendidikan, beliau memiliki semboyan yang luar biasa, yakni “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”, yang artinya “di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat dan di belakang memberikan dorongan.” Semboyan ini, masih sangat relevan di tengah bangsa kita Indonesia dilanda krisis keteladanan hingga saat ini di tengah pandemik Covid-19.

Oleh karena adanya krisis keteladanan ini, di mana banyak para pemimpin, para elit, para tokoh yang kerap kali melakukan tindakan korupsi, melakukan tindakan kriminal baik verbal maupun non verbal, melakukan kritik yang tidak mencerminkan seorang terdidik dan terpelajar atau cendikia, menganggap diri paling pintar dan benar, serta mengalami degradasi moral dengan banyaknya aksi teror bom. Dan sayangnya perilaku yang dipertontonkan demikian, selalu yang disalahkan adalah lembaga pendidikan. Padahal orang banyak lupa, bahwa tempat pendidikan itu, tidak hanya di sekolah, tetapi juga di keluarga dan di masyarakat.

Dengan tidak bermaksud untuk membela diri, bahwa waktu lebih banyak anak untuk belajar sesungguhnya bukan di sekolah, melainkan di keluarga dan atau di masyarakat. Waktu untuk seorang anak atau peserta didik berada di sekolah ± 8 jam, sedangkan ± 16 jam dari 24 jam sehari berada di keluarga dan atau di masyarakat.

Hal ini tertuang dalam Permendikbud No. 23 tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Permendikbud ini, merupakan turunan dari Perpres No. 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Itu artinya bahwa tidak benar kalau semua perilaku penyimpangan yang terjadi saat ini disalahkan semata mata kepada sekolah, padahal masih ada keluarga dan masyarakat. Terlebih keluarga yang merupakan sekolah mini bahkan tempat ibadah mini, di mana anak atau peserta didik belajar untuk pertama kalinya bahkan tempat pertama penumbuhan nilai karakter baik nan positif kepada anak atau peserta didik, dengan orangtua sebagai guru pertama dan utama bagi si anak.

Oleh karena itu, menurut hemat penulis key person atau orang kunci keberhasilan anak di sekolah dan di masyarakat adalah orangtua. Kualitas dan keteladanan hidup setiap orangtua menjadi sangat penting. Sebab, setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, tetapi pohon yang buruk menghasilkan buah yang buruk (Matius 7: 17).

Demikianlah orangtua ibarat pohon, dan anak-anak adalah ibarat buahnya. Buah tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya, kecuali tanahnya miring. Demikian juga dengan lingkungan masyarakat, merupakan tempat seorang anak atau peserta didik belajar, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Klik dan baca juga:  SMPN 7 Satarmese Gelar P5, Penguatan Nilai Demokrasi di Kalangan Siswa

Ada ungkapan yang mengatakan, “seorang anak adalah seorang pengamat yang hebat, namun penafsir yang keliru. Semua peristiwa yang terjadi, pasti diamati, direkam dialam bawah sadarnya dan itu akan terbawa selama hidupnya dan hal itu juga akan membentuk kepribadannya.”

Lingkungan masyarakat adalah tempat seorang anak atau peserta didik belajar hidup sosial atau hidup bersama dengan yang lain. Oleh karena itu, kualitas hasil belajar di rumah atau di keluarga dan di sekolah akan diuji di laboratorium atau di panggung kehidupan masyarakat. Sebab, lingkungan masyarakat merupakan ujian kehidupan yang sesungguhnya.

Lingkungan masyarakat memiliki pengaruh yang sangat dominan dalam membentuk kepribadian seorang anak atau peserta didik. Namun, jika tanahnya baik, maka benih-benih kebaikan akan tetap tumbuh subur, walau ada iblis yang berusaha menaburkan benih kejahatan.

Namun, sekali lagi kualitas dan keteladanan hidup para orangtua dan masyarakat umumnya lewat kata dan perbuatannya harus sinkron atau sejalan sangat diperlukan demi membentuk karakter yang baik nan positif bagi si anak atau peserta didik.

Demikianlah karakter seorang anak atau peserta didik dapat ditumbuhkan mulai dari keluarga, masyarakat dan di sekolah. Dan pendidikan di keluarga (informal), pendidikan di masyarakat (non formal), dan pendidikan di sekolah (formal), telah digagas oleh Ki Hadjar Dewantara yang disebut dengan Tripusat pendidikan.

Jika ini dipahami dengan baik dan benar, maka sekali lagi, ketika terjadi distorsi dalam kehidupan, janganlah terlalu cepat menyalahkan institusi sekolah, sebab masih ada keluarga dan masyarakat. Dan sesungguhnya melalui Permendikbud No.23 tahun 2017 itu, setiap komponen diberi ruang untuk menumbuhkan nilai karakter itu, yakni religius, nasionalis, mandiri, gotong royong dan integritas. Dari 5 nilai karakter utama ini, dijabarkan menjadi 18 nilai karakter dalam pendidikan menurut diknas, yakni: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab.

Dan dalam konteks sekolah atau satuan pendidikan, nilai-nilai karakter ini diimplementasikan, ada yang berbasis sekolah dan berbasis kelas yang terintegrasi melalui pembelajaran dan tertulis dalam silabus dan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) tiap mata pelajaran. Dengan demikian, setiap silabus dan RPP, bermuatan PPK (Penguatan Pendidikan Karakter). Apalagi memasuki pembelajaran abad 21 ini, yang dicirikan dengan Communication, Collaboration, Critical thinking, Creativity, Compassion and Computational thinking (6C), maka setiap pendidik atau guru harus bisa mengimplementasinya dalam membelajarkan peserta didik.

Ditambah lagi dengan gagasan merdeka belajar oleh Mendikbud Nadiem, maka dibutuhkan seorang pendidik atau guru penggerak pada satuan pendidikan yang profesional dan berkompeten.

Ada empat pokok kebijakan merdeka belajar yang digagas oleh Mendikbud Nadiem, yakni: pertama, USBN (Ujian Sekolah berstandar Nasional ) akan berubah, yakni akan diselenggarakan oleh sekolah. Dengan demikian, para pendidik dan sekolah lebih merdeka dalam penilaian hasil belajar peserta didik.

Kedua, UN (Ujian Nasonal) akan diubah menjadi AN (Asesmen Nasional), yang meliputi AKM (Asesmen Kompetensi Minimum), survei karakter dan survei lingkungan belajar. AKM berkaitan dengan kognitif, yakni literasi, numerasi dan literasi teks informasi. Sedangkan survei karakter merupakan salah satu upaya untuk mengetahui apakah peserta didik di sekolah benar-benar mengetahui, memahami dan mengaplikasikan asas pancasila dalam interaksi di sekolah, serta sebagai upaya untuk mengetahui apakah para peserta didik dapat melaksanakan pembelajaran dengan baik di sekolah? Apakah terdapat kasus bullying yang terjadi antar peserta didik dalam pergaulan mereka? Demikian juga dengan survei lingkungan belajar tujuannya untuk mengetahui kualitas proses belajar mengajar serta suasana yang mendukung atau menunjang pembelajaran di sekolah.

Klik dan baca juga:  Kepemimpinan yang Demokratik

Jadi, survei ini dilaksanakan dalam rangka mengukur iklim belajar dan iklim satuan pendidikan. Perlu juga diketahui bahwa materi dalam AKM adalah materi non mata pelajaran dan peserta AKM adalah kelas tengah dan bukan kelas akhir, yakni kelas 4 SD, kelas 8 SMP dan kelas 11 SMA/SMK atau sederajatnya, dan tidak semua peserta didik ikut, melainkan diambil secara acak yang jumlahnya untuk SD: 30 orang peserta utama dan 5 orang peserta cadangan, untuk SMPK: 45 orang peserta utama dan 5 orang peserta cadangan, dan untuk SMA/SMK: 45 orang peserta utama dan 5 orang peserta cadangan.

Jika peserta didik kurang atau sama dengan jumlah yang ditentukan (30/45), maka seluruh peserta didik yang didaftarkan akan diikutkan semua tanpa cadangan. Dan yang perlu digarisbawahi pula, bahwa AN (Asesmen Nasional) bukan untuk menentukan peserta didik lulus atau tidak secara individu, melainkan untuk pemetaan mutu sekolah, mutu guru melalui hasil asesmen peserta didik.

Ketiga, menyederhanakan penyusunan RPP dari 13 komponen menjadi 3 komponen saja, yakni tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran dan asesmen (penilaian). Dengan demikian nama RPP tersebut adalah RPP inspiratif, artinya RPP itu harus benar benar menginspirasi peserta didik. Penyederhanaan RPP tertuang melalui Surat Edaran (SE) mendikbud bernomor 14 tahun 2019 tentang penyederhanaan RPP.

Namun, penyederhanaan RPP memang menjadikan para guru atau pendidik lebih efektif dan efisien dalam hal administrasi, namun dalam pelaksanaan pembelajaran menuntut para guru atau pendidik harus lebih kreatif dan inovatif dalam pembelajaran.

Oleh karenanya, sekolah, para guru atau pendidik dan para peserta didiknya punya kebebasan dalam koridor yang positif. Atau dengan kata lain, sekolah, para pendidik dan peserta didik diberi “ruang atau panggung” yang seluas luasnya untuk berkreatif dan berinovatif. Maka, dalam arti inilah makna dari merdeka belajar, yakni adanya perubahan dari metode pembelajaran yang terjadi selama ini, yang berpusat pada guru, tetapi sekarang berpusat pada peserta dididik dan atau bahkan bersama sama belajar dan belajar bersama sama, dengan para pendidik atau guru sebagai dirigen, fasilitator, dinamisator dan motivator.

Dengan demikian roh dari merdeka belajar sesungguhnya adalah menjadikan suasana atmosfer pembelajaran lebih bersemangat, efektif, menyenangkan, menggembirakan, kreatif dan inovatif, bagi peserta didik, para guru atau pendidik dan para orang tua peserta didik.

Untuk mendukung merdeka belajar, maka diperlukan pendidik atau guru penggerak. Guru penggerak adalah pemimpin pembelajaran yang mendorong tumbuh kembang peserta didik secara holistik, aktif dan proaktif dalam mengembangkan pendidik lainnya untuk mengimplementasikan pembelajaran yang berpusat kepada peserta didik, serta menjadi teladan dan agen transformasi ekosistem pendidikan untuk mewujudkan profil Pelajar Pancasila. Karena itu, seorang pendidik atau guru penggerak harus bisa tampil beda, dari guru yang lain dalam arti yang positif dalam membelajarkan peserta didik.

Pendidik atau guru penggerak harus bisa menginspirasi bagi peserta didik dan rekan sejawat. Maka peran guru penggerak menurut Kemendikbud, sebagai berikut: pertama, menggerakkan komunitas belajar untuk rekan guru di sekolah dan di wilayahnya, kedua, menjadi Pengajar Praktik bagi rekan guru lain terkait pengembangan pembelajaran di sekolah, ketiga, mendorong peningkatan kepemimpinan murid di sekolah, keempat, membuka ruang diskusi positif dan ruang kolaborasi antara guru dan pemangku kepentingan di dalam dan luar sekolah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, kelima, menjadi pemimpin pembelajaran yang mendorong well-being ekosistem pendidikan di sekolah.

Klik dan baca juga:  SMP Serayon Ruteng Raya Launching Perpustakaan Digital

Dengan demikian, guru penggerak diharapkan menjadi pemimpin-pemimpin pendidikan di masa depan guna mewujudkan generasi unggul Indonesia.

Oleh karena itu, di hari Pendidikan Nasional tahun ini, dengan tema “Serentak Bergerak Mewujudkan Merdeka Belajar,” kiranya semua pendidik atau guru di seluruh pelosok tanah air, serentak bergerak dan tergerak hati bersama sama terpanggil untuk mewujudkan merdeka belajar.

Esensi dari merdeka belajar adalah para pendidik atau guru harus menjadi agen perubahan dalam pembelajaran. Oleh karena itu, cara lama, metode lama harus ditinggalkan, para pendidik atau guru harus bisa menggunakan “ruang atau panggung” merdeka belajar.

Dengan merdeka belajar, para pendidik atau guru dan peserta didik bisa bereksplorasi, bisa berkreasi dan berinovasi, dan itulah yang namanya pendidik atau guru penggerak. Untuk itu mari semua pendidik atau guru ditanah air, maknai Hardiknas dengan kita bersama-sama bergerak dan bergerak bersama sama guna mewujudkan merdeka belajar, dari para pendidik atau guru untuk Indonesia.

Ajakan yang sama juga semua para orangtua peserta didik yang merupakan guru pertama dan utama bagi anak atau peserta didik di keluarga, jadilah orangtua peserta didik penggerak. Maka mari bersinergi dan berkolaborasi dengan para pendidik atau guru di sekolah dengan sama sama bergerak dan bergerak bersama sama.

Demikian pula dengan pemerhati pendidikan, juga dengan ajakan yang sama guna mewujudkan merdeka belajar, sebagai penanda babak baru pendidikan di tanah air kita. Sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) esensi sesungguhnya dari sistem zonasi adalah demi pemerataan mutu ditiap satuan pendidikan. Dimana selama ini, sekolah-sekolah unggulan khususnya sekolah pemerintah, PPDB melalui seleksi, sekolah-sekolah pemerintah lainnya, prinsipnya yang penting ada peserta didik. Demikian juga sekolah swasta, yang kebanyakan tidak melalui seleksi tetapi justru kualitas lebih bagus atau sama dengan sekolah pemerintah yang melalui proses seleksi PPDB.

Pertanyaannya adalah andai sekolah unggul milik pemerintah tidak melalui seleksi, apa masih disebut unggul? Sekolah unggul yang sesungguhnya adalah sekolah yang mampu memproses input yang biasa menjadi luar biasa, atau dari kurang unggul menjadi unggul. Jika demikian, yang unggul peserta didiknya atau pendidiknya? Dan di sekolah menerima input yang biasa atau kurang unggul, siapa yang unggul pendidiknya atau peserta didiknya?

Akhirnya, mari kita refleksikan di Hari Pendidikan Nasional ini, melihat dengan jujur peran serta saya, anda dan kita sebagai pendidik atau guru selama ini, apa kita sungguh sebagai guru yang menghantar peserta didik dari kegelapan, kebodohan, menuju terang, kepandaian? Belum ada kata terlambat untuk menjadi pendidik atau guru penggerak, yang penuh kreasi dan inovasi demi mewujudkan merdeka belajar, sehingga lahirlah semboyan “merdeka belajar-guru penggerak,” yang mana merdeka belajar sesungguhnya terinspirasi dari konsep filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara, yaitu kemerdekaan dan kemandirian.

Dalam hal ini adalah kemerdekaan berpikir kepala sekolah, guru, peserta didik dan orangtua. Demikian juga dengan kemandirian, mengajar dan belajar, kreatif dan inovatif tanpa disuruh atau dikomando.

Semoga demikian.*