Sastra  

Setelah Ayah Tiada

Hari itu, setelah pengadilan menjatuhkan hukuman penjara yang cukup lama bagi ayahnya, Abigail duduk diam di meja tulis, merenung. Tangannya gemetar saat ia membuka akun media sosialnya, menatap layar ponsel yang kini menjadi dunia baginya—dunia yang penuh dengan pembicaraan tentang ayahnya, tentang keluarganya. Tak ada lagi yang bisa ia sembunyikan. Semua orang sudah tahu. Semua orang sudah melihat.

IMG 20250403 WA0002
Pixabay

Oleh Marselus Natar

Hujan malam itu jatuh begitu deras, seperti tangis yang tak kunjung berhenti. Setiap tetes yang membentur kaca jendela kamar Abigail terdengar seperti bisikan kesedihan yang tak mampu ia tahan. Kota Jakarta yang berkilau dengan lampu jalanan, kini tampak buram, menyatu dengan suasana hatinya yang gelap dan penuh kabut.

Hujan ini, seperti pengingat yang tak henti-hentinya membangkitkan ingatan pada masa yang sudah lama berlalu—masa ketika rumah mereka penuh dengan tawa dan kehangatan. Ketika ayahnya, pria yang dahulu dipuja banyak orang, masih bisa menjadi pelindung yang tak tergoyahkan.

Namun kini, semuanya lenyap, tak ada lagi yang tersisa selain reruntuhan kenangan yang sulit untuk dikenang tanpa rasa sakit. Ayahnya yang dulu begitu kuat, yang sering bercerita tentang masa depan mereka, kini terjebak dalam penjara, terbelenggu oleh hukum yang tak lagi memandangnya sebagai pahlawan, melainkan sebagai pelaku kejahatan besar yang menghancurkan segalanya. Abigail menatap ruang kosong di sekitarnya, merasakan betapa rapuhnya dunia yang dulu mereka bangun bersama.

Setahun sudah sejak semuanya berubah. Ketika KPK datang dan menyita seluruh harta mereka—rumah besar yang pernah mereka banggakan, mobil-mobil mewah yang dulu menjadi simbol kemakmuran, bahkan tabungan yang mereka kumpulkan bertahun-tahun—semuanya menghilang dalam sekejap. Mereka dipaksa memulai kembali dari titik nol, tanpa dasar yang kuat. Namun yang lebih sulit adalah kenyataan bahwa mereka harus menghadapinya dengan nama yang tercemar, dengan pandangan orang-orang yang dulu mengagumi mereka, kini berubah menjadi ejekan.

Abigail masih ingat dengan jelas bagaimana ia berusaha untuk menenangkan ibunya yang menangis, memeluknya dengan tubuh yang lelah. Namun ia pun merasa kosong, seolah ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Ayahnya, yang dulu begitu ia percayai, kini bukan lagi sosok yang bisa ia banggakan. Dalam hati, ia bertanya-tanya, bagaimana bisa pria yang begitu penuh dengan janji-janji besar itu justru terjerat dalam dunia kegelapan yang tak terduga? Bagaimana bisa orang yang pernah ia sebut pahlawan kini berakhir dengan kehancuran seperti ini?Pikirannya sering kali berputar-putar, berusaha mencari jawaban yang tak kunjung datang.

Di media sosial, komentar-komentar tentang kasus ayahnya mengalir deras, dan Abigail merasakan setiap kata yang ditulis seakan menyayat hatinya lebih dalam. Banyak yang memuji, banyak juga yang mencaci, namun tak ada satu pun yang benar-benar mengerti apa yang ia rasakan.

Hari itu, setelah pengadilan menjatuhkan hukuman penjara yang cukup lama bagi ayahnya, Abigail duduk diam di meja tulis, merenung. Tangannya gemetar saat ia membuka akun media sosialnya, menatap layar ponsel yang kini menjadi dunia baginya—dunia yang penuh dengan pembicaraan tentang ayahnya, tentang keluarganya. Tak ada lagi yang bisa ia sembunyikan. Semua orang sudah tahu. Semua orang sudah melihat.

Abigail tahu, dia tak akan bisa lagi menyembunyikan perasaan kecewa yang menggebu-gebu dalam dadanya.“Ayah harus dihukum setimpal dengan perbuatannya,” tulisnya di status media sosialnya, “Tidak ada tempat bagi orang sepertinya di dunia ini. Dia telah merusak segala yang kami punya, dan sekarang kami harus membayar harganya. Bahkan kuasa hukum yang berjuang mati-matian untuk membebaskannya pun tak layak untuk dihargai. Mereka semua adalah bagian dari kebohongan ini.”

Setelah tombol kirim ditekan, Abigail merasakan sesuatu yang asing. Sejenak, ia merasa lega, seolah semua yang terpendam dalam hatinya bisa keluar begitu saja.

Namun, detik berikutnya, hatinya dipenuhi kegelisahan. Bagaimana jika ia salah? Bagaimana jika orang-orang yang membaca itu tidak mengerti? Tapi kemudian, ketika komentar-komentar mulai bermunculan, semuanya terasa seperti hujan badai yang menghantam tanpa ampun. Beberapa teman mendukungnya, berkomentar bahwa ia benar, bahwa ayahnya memang pantas mendapat hukuman yang setimpal. Namun, ada juga yang mengecamnya, mengatakan bahwa ia terlalu terbawa emosi, bahwa ia tidak tahu apa-apa tentang betapa beratnya situasi yang dihadapi ayahnya.

Tapi bagi Abigail, semua itu tak berarti. Tak ada kata yang bisa mengurangi kekecewaannya. Setiap detik, ia merasa semakin terasing dari dunia yang pernah dikenalnya. Di sekolah, teman-temannya mulai menjauh. Tatapan mereka penuh dengan keingintahuan yang terpendam, dicampur dengan rasa jijik yang tak bisa disembunyikan. Bahkan guru-gurunya, yang dulu penuh perhatian, kini tampak enggan mendekat, seakan takut terkontaminasi oleh noda yang menempel pada dirinya.

Abigail tak tahu harus bagaimana lagi. Setiap langkah yang diambilnya terasa seperti beban yang lebih berat, dan ia tak tahu harus menghadapinya bagaimana.

Suatu sore, ketika hujan kembali turun dan matahari perlahan menghilang di balik awan, ibunya datang duduk di samping Abigail, yang saat itu tengah menatap kosong ke luar jendela. “Nak, kamu tahu bahwa hidup ini lebih dari sekadar apa yang tampak di permukaan. Kita tidak bisa mengubah masa lalu, kita tidak bisa mengubah kenyataan bahwa ayahmu melakukan kesalahan besar. Tapi kita bisa memilih untuk tetap hidup dengan kasih sayang, untuk saling mendukung, dan untuk melangkah maju.” Abigail menoleh pada ibunya, matanya yang lelah bertemu dengan mata ibunya yang penuh ketulusan.

“Bagaimana kita bisa maju, Bu? Bagaimana aku bisa menerima semua ini, setelah semua yang telah dia lakukan?” Ibunya menggenggam tangan Abigail dengan lembut, “Abigail, ayahmu adalah ayahmu, dan meskipun perbuatannya salah, kita tak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa dia juga manusia. Manusia yang bisa jatuh, yang bisa membuat kesalahan. Kita tak bisa mengubah masa lalu, tapi kita bisa memilih bagaimana kita menjalani hari-hari ke depan. Jangan biarkan kebencian ini menguasai hidupmu. Jangan biarkan hatimu terkunci dalam kenangan yang penuh amarah. Hidup ini bukan tentang membalas dendam atau mencari siapa yang paling benar. Hidup ini tentang belajar untuk memaafkan, untuk menerima, dan untuk terus berjalan.”

Saat mendengar kata-kata itu, ada sesuatu yang bergerak di dalam hati Abigail, sesuatu yang lembut dan penuh kesadaran. Mungkin memang benar, tidak ada yang bisa mengembalikan masa lalu. Tidak ada yang bisa menghapus rasa kecewa yang begitu dalam. Namun, hidup tetap harus berjalan. Dan mungkin, dalam perjalanan itu, ia bisa menemukan kedamaian dalam diri, meskipun tidak ada jaminan bahwa luka itu akan sepenuhnya hilang.

Pagi berikutnya, dengan tangan yang sedikit gemetar, Abigail membuka akun media sosialnya lagi. Kali ini, ia menghapus status yang penuh kebencian itu. Tak ada yang perlu dibenarkan. Tak ada yang perlu dipertahankan. Hanya ada satu hal yang perlu ia ingat: bahwa meskipun ayahnya telah tiada di hatinya dalam bentuk yang dulu ia kenal, ia masih bisa melanjutkan hidup. Ia masih bisa memilih untuk memberi ruang bagi pengampunan dan untuk mencari cara baru agar hidupnya kembali bermakna.

Hujan di luar sudah reda, dan langit mulai cerah. Abigail menatap langit yang terbuka, merasa sedikit lebih lega, meskipun beban itu masih ada. Mungkin tidak semua pertanyaan akan terjawab, dan mungkin tidak semua luka bisa sembuh dalam sekejap. Tapi Abigail tahu, ia tidak akan pernah sendirian dalam perjalanan ini. Ibu, meskipun lelah dan rapuh, selalu ada di sisinya. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Abigail merasa bahwa mungkin, setelah ayah tiada, ia masih bisa menemukan arah yang benar dalam hidupnya.

Tentang Penulis;
Marselus Natar merupakan rohaniawan Katolik pada Kongregasi Frater-Frater Bunda Hati Kudus atau yang kerap dikenal Frater-Frater BHK. Ia lahir di Manggarai Timur pada 21 Mei 1992.

Belajar menulis -yang kemudian menjadi hobinya – sejak masuk biara. Buku kumpulan cerpen dengan judul USAHA MEMBUNUH TUHAN merupakan buku perdananya. Beberapa karya tulis, baik fiksi maupun non-fiksi tersebar di beberapa platform media online.

Sekarang tinggal dan menetap di Ende, Flores NTT sebagai pembina asrama putra SMAK Frateran Ndao Ende.