Sastra  

Siapa Pembunuh, Deodatus?

Suasana di sekitar warung menjadi kacau balau. Beberapa pemuda lainnya mulai menyerbu Deodatus, memukulnya dengan tangan kosong. Namun, di tengah kekacauan itu, sebagian besar dari mereka malah mulai mengangkat suara serentak menyanyikan Bayar Polisi dengan keras. Lagu yang tadi hanya mereka nyanyikan dengan santai, kini terdengar semakin menggema di tengah kerumunan.

IMG 20250406 WA0001

Oleh Marselus Natar

Sabtu sore itu, udara di kampung sebelah terasa lebih panas dari biasanya. Matahari yang hampir tenggelam di balik gunung tampak seperti mengintip dari sela-sela pepohonan, memancarkan cahaya oranye yang hangat. Di sebuah warung kopi sederhana, sekumpulan pemuda berkumpul, duduk bersila di atas tikar yang sudah mulai kusut. Mereka adalah anak-anak tongkrongan yang tak pernah lepas dari obrolan penuh tawa, canda, dan mimpi-mimpi besar tentang negeri ini.

“Menegakkan hukum di negeri ini itu penting banget, Bro,” kata Jaka, sambil menyeruput kopi hitamnya yang sudah mulai dingin. “Kalau enggak, negara ini bakal hancur. Lihat saja banyaknya koruptor yang masih bebas berkeliaran, bahkan keluarganya pun ikut menikmati uang haram itu.”

“Betul, betul,” tambah Rudi, sahabat dekat Jaka, sambil melemparkan pandangannya ke arah temannya yang lain. “Mereka harus diasingkan, biar enggak menularin sifat busuk mereka ke orang lain. Bahkan istri dan anak-anak mereka pun harus diasingkan.”

Obrolan itu terus berlanjut, mereka berbicara tentang sistem hukum yang seharusnya tegas dan adil, agar tak ada lagi penyalahgunaan kekuasaan. Di tengah percakapan yang semakin serius, tiba-tiba mereka teringat tentang lagu yang sedang viral dan kontroversial. Lagu itu, yang berjudul Bayar Polisi, bercerita tentang betapa mudahnya orang untuk lolos dari hukuman asal punya uang. Lagu yang penuh sindiran itu seolah menggambarkan kekacauan sistem hukum yang mereka bicarakan.

“Eh, gimana kalau kita nyanyiin lagu itu? Biar seru, sekalian kita tunjukin kalau kita enggak takut sama hukum yang salah!” kata Agung, si penggila musik, yang dengan cepat mengambil gitar dari sudut warung.

Mereka pun mulai bersenandung dengan suara yang pelan namun penuh semangat. Lagu itu mengalun pelan, namun lama kelamaan semakin keras. Tanpa mereka sadari, di luar warung, seorang polisi lalu lintas, Deodatus, sedang melintas di jalanan kampung tersebut. Dengan seragamnya yang lengkap, dia melaju dengan motor patroli, namun mendengar suara mereka, ia pun berhenti.

Deodatus bukan orang sembarangan. Sebagai seorang polantas, ia merasa memiliki kewajiban untuk menjaga ketertiban dan keamanan. Ketika ia mendengar lirik lagu yang menyinggung profesinya, ia merasa tersinggung. Dengan kesal, ia berhenti dan menepi ke depan warung. “Hei, kalian kenapa? Menyanyikan lagu itu di sini?” teriak Deodatus, suara kerasnya memecah suasana riuh itu. “Kalian tahu enggak apa yang kalian lakukan? Lagu itu menghina kami para polisi!”

Anak-anak tongkrongan terkejut, namun sebagian besar malah tertawa. Mereka merasa tak ada yang salah dengan lagu itu. Jaka, yang paling vokal di tongkrongan, bangkit berdiri. “Apa yang kau bilang, Pak Polisi? Kalau kau merasa tersinggung, kenapa enggak lihat sendiri aja kalau memang ada yang salah di sistem kita? Kau tahu kan, kami hanya meluapkan apa yang ada di hati,” jawab Jaka dengan nada tinggi.

Perdebatan semakin memanas, dan tanpa diduga, terjadi perkelahian kecil. Deodatus yang tidak terima, maju untuk menyerang Jaka. Namun, dalam kegaduhan itu, tanpa disangka, sebuah balok kayu terlempar dan mengenai belakang kepala Deodatus. Kepalanya langsung jatuh ke tanah dengan keras.

Suasana di sekitar warung menjadi kacau balau. Beberapa pemuda lainnya mulai menyerbu Deodatus, memukulnya dengan tangan kosong. Namun, di tengah kekacauan itu, sebagian besar dari mereka malah mulai mengangkat suara serentak menyanyikan Bayar Polisi dengan keras. Lagu yang tadi hanya mereka nyanyikan dengan santai, kini terdengar semakin menggema di tengah kerumunan.

Warga sekitar pun berdatangan, tak ada yang mau ketinggalan. Beberapa dari mereka membawa botol sopi, yang mereka tuangkan ke tubuh Deodatus yang tergeletak di tanah. Deodatus sudah tak bergerak, dan dalam kebingungannya, warga kampung mulai beraksi dengan cara mereka masing-masing.

Polisi yang tiba belakangan, melihat kerumunan dan situasi yang sudah tak terkendali. Mereka terkejut melihat kondisi Deodatus yang terbaring tak berdaya, tubuhnya tercampur dengan darah dan sopi. Ada yang berbisik bahwa Deodatus mungkin sedang mabuk dan tak mengendalikan emosi. “Mungkin itu yang membuatnya begitu cepat tersulut,” ujar salah satu petugas yang mulai meraba-raba situasi.

Namun, kebenaran tak bisa disembunyikan. Beberapa warga kampung saling menyaksikan kejadian tersebut, tapi tak ada yang bersedia menjadi saksi. Semua mengatakan bahwa mereka hanya terlibat dalam suasana keramaian dan tak tahu menahu soal siapa yang memulai. Mereka mengakui dengan tegas bahwa seluruh kampung terlibat dalam peristiwa itu, namun tak ada yang bisa menunjukkan siapa yang sebenarnya bertanggung jawab.

Warga merasa bahwa apa yang terjadi itu adalah bentuk pembalasan atas ketidakadilan yang selama ini mereka rasakan. Mereka sudah terlalu lama dibohongi oleh sistem yang hanya melayani kepentingan segelintir orang. Lagu Bayar Polisi yang mereka nyanyikan dengan penuh semangat, menjadi simbol bahwa suara mereka, meskipun keras dan penuh amarah, tak pernah didengar.

Seiring waktu, berita tentang peristiwa itu menyebar luas. Banyak pihak mulai mencibir, ada yang membela polisi, ada yang menuduh warga kampung sebagai pemberontak. Namun, bagi anak-anak tongkrongan itu, peristiwa itu bukan tentang siapa yang benar atau salah. Bagi mereka, itu adalah sebuah kenyataan pahit tentang betapa buruknya penegakan hukum di negeri ini. Dan seperti yang mereka katakan di tongkrongan, mimpi-mimpi mereka tentang sebuah negeri yang adil dan bermartabat tetap hidup, meskipun harus menghadapi kenyataan keras yang mereka alami.

Di malam yang gelap itu, mereka kembali berkumpul di warung kopi. Meski peristiwa sore tadi mengusik pikiran mereka, namun semangat mereka untuk berjuang demi perubahan tetap menyala. Dengan segelas kopi hitam, mereka melanjutkan mimpi-mimpi mereka tentang negeri yang lebih baik.**

Tentang penulis: Marselus Natar merupakan rohaniawan Katolik pada kongregasi Frater-Frater Bunda Hati Kudus atau yang kerap dikenal Frater-Frater BHK. Ia lahir di Manggarai Timur pada 21 Mei 1992. Belajar menulis -yang kemudian menjadi hobinya – sejak masuk biara.

Buku kumpulan cerpen dengan judul USAHA MEMBUNUH TUHAN merupakan buku perdananya. Beberapa karya tulis, baik fiksi maupun non-fiksi tersebar di beberapa platform media online. Sekarang tinggal dan menetap di Ende, Flores NTT sebagai pembina asrama putra SMAK Frateran Ndao Ende.