Spiral Kekerasan dalam Peradaban

Konflik ideologis terkait kepemilikan atas tanah, perlu diselesaikan dengan tetap memperhatikan aspek ekonomi tanah, pola produksi, ritus dan kosmologi di tanah setempat, dan spektrum modernitas.

IMG 20250317 WA0001
Dokpri

Oleh: Dominggus Elcid Li

Konflik dan kekerasan sebaiknya tak cukup dibaca secara faktual, tetapi juga turut dibaca dalam teropong perspektif sosiologi sejarah. Dengan cara ini spektrum konflik bisa dikaji agar cara pandang lain dapat dihadirkan. Ini memungkinkan kita untuk paham bahwa kebenaran dalam satu era sangat dipengaruhi oleh hubungan relasional antar lembaga dalam negara _(state)_ dan wacana yang berkembang di masing-masing era. Kebenaran yang telah disepakati dituangkan dalam hukum positif oleh para cendekia, dan aparat negara berhak menggunakan elemen koersif untuk penegakan hukum _(rule of law)_ dalam wilayah politiknya.

Persoalannya menjadi lebih pelik ketika persoalan keadilan dipercakapkan dalam satuan abad. Contohnya, dalam konteks Republik Indonesia, pergantian elemen kolonial negara hanya menyentuh stratifikasi rasial di dalamnya dan tidak seluruhnya membuka produk peninggalan kolonialisme yang kuat dipengaruhi logika ekonomi liberal.

Misalnya _Agarische Wet (Staatsblad 1870 No.55)_ ditetapkan bersamaan dengan _Suiker Wet_ atau Undang-Undang Gula (S.1870), yang menandai era _free enterprise_ sekian perusahaan perkebunan, dari sebelumnya yang lebih mengandalkan ‘tanam paksa’ dan rodi. Kedua undang-undang dikeluarkan dalam tempo yang sama, menunjukkan keterkaitan erat antara tanah dan produksi.

Hingga kini, Republik Indonesia belum mampu menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Masyarakat (Hukum) Adat, sejak pertama kali dibawa ke DPR tahun 2012. Di tahun 2024, peluang pengesahan RUU ini di ujung akhir periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi juga pupus. Dalam catatan Maria Sumardjono (2020, xv), terdapat tiga versi RUU ‘yang berasal dari (insiatif): Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), DPR RI, dan DPD RI’. Bahkan seorang rekan menyebut, ada lagi satu versi menurut KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan). Keberadaan beberapa versi RUU, selain menunjukan kontestasi antar kelembagaan, juga memperlihatkan kepentingan _(interest)_ yang berbeda.

DETAK PASIFIK GUBERNUR NTT 1

Ditundanya pembahasan masalah RUU Masyarakat (Hukum) Adat juga menunjukan kesulitan dan kompleksitas persoalan, dan butuh kecakapan tersendiri, agar kompleksitas yang sudah dibayangkan bisa diturunkan dalam undang-undang yang berwibawa. Kehadiran UU masyarakat adat, meskipun sangat dibutuhkan, namun implikasinya akan luas karena bergesekan langsung dengan dasar ekonomi liberal, dan keberadaan negara itu sendiri, dalam posisinya berhadapan dengan masyarakat adat, dan entitas sosial lain.

Sulitnya, tanpa UU masyarakat hukum adat, konflik langsung terkait persoalan ‘tanah ulayat’ pecah dimana-mana. Dalam pandangan orang awam, anarki hanya dibaca sebagai praktek subversif, tanpa ada kemampuan aparat negara untuk memahami perspektif _legal pluralism_ antar abad.

Sedangkan dalam perspektif yang lain, negara sebagai institusi modern, merupakan kelanjutan dari kolonialisme (Eropa) dalam wajah yang lain. Dalam langgam ini, kekosongan pembahasan terkait hak ulayat, dianggap sebagai kelanjutan dari kolonialisme (internal). Konflik terjadi dalam spektrum modernitas.

Waktu dan Lipatan Kekerasan

Pasifikasi Jawa terekam dalam perang Diponegoro yang ditandai dengan pematokan tanah makam. Perang Diponegoro berakhir, dan ia ditawan dengan tipu muslihat. Perlahan tapi pasti kedaulatan setempat beralih. Meski demikian ungkapan patriotik _‘sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi pati’_ menolak takluk masih tertinggal dalam ungkapan kolektif.

Setiap ada perubahan struktural dalam satu kawasan, hal mendasar yang biasa menjadi titik api konflik adalah sengketa kepemilikan lahan. Entah pada saat penaklukan Jawa (1825), penaklukan Flores (1870-1914), peralihan Republik (1945), nasionalisasi (1957), dan pergantian rezim (1965, 1998, 2024).

Di berbagai pelosok di Jawa, daerah-daerah eks perkebunan tebu perusahaan Belanda menjadi sasaran pengambilalihan lahan, juga menjadi alasan pembunuhan di tahun 1965. Di tahun 2025 patok-patok di pinggir laut Pulau Jawa menjadi bagian dari fenomena ini yang menegaskan bahwa pergantian rezim beriringan dengan tafsir atas kepemilikan (property) lahan.

Negara, Ulayat, Redistribusi Lahan

Meskipun disebut dalam UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 3) di era Republik, penetapan ‘masyarakat hukum adat’ hingga kini masih belum mampu dirumuskan oleh para pembuat undang-undang. Kepemilikan tanah kolektif (suku) yang khas pribumi belum mampu diturunkan secara tertulis dalam hukum positif Indonesia. Tantangan ini harus dijawab oleh para cerdik cendekia untuk merumuskan konsep keadilan tanah yang mengakomodiri perspektif lokal.

IMG 20250219 WA0020

Tanpa adanya upaya untuk mengakomodir perspektif lokal soal tanah, hukum positif yang melanjutkan hukum tanah era kolonial, juga asing terhadap persoalan kaum pribumi, khususnya terkait tanah suku. Contohnya, jika tanah suku diperjualbelikan oleh seorang raja di masa lampau di era kolonial, apakah seorang raja atau kepala suku dapat dianggap mewakili pihak penjual. Elemen liberal yang menjadi substansi dari _Agrarische Wet_ atau undang-undang agraria di era Belanda memungkinkan kepemilikan tanah oleh individu, dan tanah diperlakukan sebagai komoditas (penjualan atau penyewaan), dan menjadi basis produksi (perkebunan). Hal ini berbeda dengan kebanyakan tanah suku yang diatur berdasarkan nalar kolektif, dan tidak didominasi oleh elemen produksi, karena kebanyakan masih ada dalam skema subsisten. Tanah sebagai komoditas diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Belanda mengganti sistem tanam paksa dan rodi. Dalam kepentingan Belanda, kedua undang-undang ini menyelesaikan persoalan rendahnya produktivitas di Hindia Belanda. Di sisi lain pengertian tanah oleh warga setempat yang bukan sebagai komoditas tidak dikenal (hingga saat ini) di aras negara.

Mencari jalan keluar bersama

Upaya mencari jalan tengah perlu dihadirkan untuk memecah kebuntuan. Dalam spiral waktu dalam hitungan abad, struktur masyarakat tidak bersifat statis atau tetap. Struktur rasial, feodal, dan kolonial berubah. Kompleksitas ini perlu diterima oleh siapa pun, baik penggiat hukum progresif atau yang bersandar pada hukum positif yang mempertahankan _status quo_.

Tekanan demografi penduduk yang mengisyaratkan pertambahan penduduk tidak diikuti dengan perluasan lahan, membuat beragam skenario perlu dihadirkan untuk membuka ruang hidup bagi semua. Sama halnya dengan tantangan lembaga yang telah mengelola tanah selama satu abad, dan dihadapkan dengan ‘persoalan hak ulayat’.

Jika persoalan ini tidak mampu diselesaikan di tingkat nasional dalam bentuk undang-undang, maka butuh ‘kearifan lokal’ untuk menyelesaikan redistribusi tanah dalam kerangka hukum positif yang ada dengan tetap menjaga ‘persatuan’. Sambil mengingat irisan antara suku, komunitas (agama), korporasi, dan negara. Bernegosiasi dalam beberapa irisan ini lah yang perlu dikerjakan bersama, dengan mengingat makna bhineka tunggal ika, atau tubuh _(corpus)_ yang satu.

Konflik ideologis terkait kepemilikan atas tanah, perlu diselesaikan dengan tetap memperhatikan aspek ekonomi tanah, pola produksi, ritus dan kosmologi di tanah setempat, dan spektrum modernitas. Elemen-elemen ini perlu diurai, untuk mendapatkan pengertian adil, dan masing-masing mendapatkan ruang hidup.

Dalam kontestasi hukum, entah hukum adat di aras suku, atau hukum positif di aras negara, masing-masing mempunyai garis ideologi. Tanpa keinginan untuk melampaui garis ideologi dan bertemu dalam konteks ruang waktu saat ini, amat tidak mungkin spiral kekerasan ini bisa diurai oleh para pihak yang bertikai.

Neraka di Bumi (Hell on Earth)

Jika elemen koersif oleh masing-masing pihak hanya didasarkan pada hukum positif atau hukum adat, dan diterapkkan secara absolut, tanpa mampu mendengar suara yang lain, maka ‘hak’ _(right)_ dan ‘kuasa’ menjadi satu. Dalam tafsir ini ruang hidup bagi yang lain atau liyan _(the others)_ tidak ada. Dengan sendirinya logika perang menjadi elemen dominan, dan spiral kekerasan tidak mungkin dihindari.

Konsep ‘neraka di Bumi’ di Timur Tengah yang disebut Donald Trump, adalah bentuk dari kebuntuan berpikir dalam konflik tanah. Untuk menghindari kebuntuan semacam ini, upaya membuka sekian lapisan kisah narasi sejarah, dengan membedakan antara _res gestae_, dan _(historia) rerum gestarum_ (Trouillot, 1995) dalam sekian ‘elemen sosial’ perlu dilakukan untuk melihat perbedaan mendasar di tingkat epistemologi, maupun ontologi. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari tragedi.

Negara _(staat)_ adalah bagian dari institusi modern yang diperkenalkan di Indonesia di paruh kedua abad 18. Hukum positif hanya mencatat kebiasaan yang diwariskan sejak era (negara) kolonial. Sedangkan pengakuan terhadap hukum adat maupun masyarakat hukum adat, juga masih amat terbatas. Bagi kaum ulayat pengetahuan diwariskan lewat tutur lisan dan ritus adat. Sejarah mereka tidak dikenal dalam hukum positif negara. Dalam pandangan yang lain, modernitas/kolonialitas ada dalam satu keping yang sama.

Penulis adalah Peneliti di Lembaga Riset IRGSC _(Institute of Resource Governance and Social Change), Research fellow di Universiteit van Amsterdam_ (2025).