Kupang, detak-pasifik.com- Sebagai bagian dari upaya memperkuat komitmen dalam memerangi Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), STIPAS Keuskupan Agung Kupang telah menjalin kerjasama dengan sejumlah organisasi penting. Dalam kolaborasi dengan JPIC Keuskupan Agung Kupang, Zero Human Trafficking Indonesia (ZHTI), Keluarga Buruh Migran Indonesia (KBMI), dan Rifca Anisa Crisis Center Yogyakarta, mereka sukses menyelenggarakan Pelatihan Modul Pencegahan TPPO Berbasis Gender Transformatif yang diadakan di Kampus STIPAS Keuskupan Agung Kupang pada tanggal 22 hingga 27 Januari 2025.
Pelatihan ini melibatkan mahasiswa semester akhir yang sedang mempersiapkan diri untuk melaksanakan Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) dan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Tujuan utama program ini adalah untuk membekali para calon guru agama Katolik dengan pengetahuan dan keterampilan penting dalam mencegah TPPO serta menangani isu-isu kekerasan berbasis gender, yang kerap mengancam kelompok rentan di masyarakat.
Membangun Karakter Pendidik dan Agen Pastoral
Ketua STIPAS Keuskupan Agung Kupang, Dr. Florens Maxi Un Bria, S.Ag., M.Sos., dalam sambutannya menegaskan betapa pentingnya pelatihan ini dalam rangka membentuk karakter mahasiswa yang kelak akan menjadi pendidik serta agen pastoral yang peka terhadap masalah sosial.
“Pelatihan ini adalah bagian dari pembekalan mereka untuk pelayanan di masa depan. Ini juga merupakan bentuk nyata dari implementasi seruan Paus Fransiskus terkait pencegahan perdagangan manusia, sekaligus sebagai tindak lanjut dari Rekomendasi Munas UNIO Indonesia dan hasil RUA PERPETAKI 2024,” ungkap Dr. Maxi.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa pelatihan ini tidak hanya berfokus pada pengetahuan tentang TPPO, namun juga mengarahkan mahasiswa untuk menjadi fasilitator yang siap mendukung kerja Komisi Justice and Peace di tingkat paroki. Dengan demikian, mereka akan menjadi relawan yang berperan aktif dalam pencegahan dan penanganan TPPO di komunitas mereka.
Koordinator Zero Human Trafficking Network (ZHTN), Pater Agus Duka, mengungkapkan keprihatinannya terhadap tingginya angka migrasi tidak aman dan kekerasan berbasis gender di Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia menjelaskan bahwa banyak pekerja migran asal NTT yang berangkat tanpa dokumen resmi, yang membuat mereka rentan menjadi korban eksploitasi dan perlakuan tidak manusiawi.
“Kekerasan berbasis gender, terutama terhadap perempuan, menjadi masalah yang serius di sini. Hal ini sering kali disebabkan oleh kurangnya pendidikan dan pelatihan yang memadai. Oleh karena itu, pendekatan berbasis gender transformatif sangat penting untuk menghadapi tantangan ini,” ujar Pater Agus.
Menurutnya, mahasiswa STIPAS yang telah mengikuti pelatihan ini diharapkan dapat menjadi narasumber, pendamping, serta penggerak perubahan di masyarakat. Mereka diharapkan mampu mengedukasi masyarakat tentang bahaya perdagangan manusia dan pentingnya migrasi yang aman bagi para pekerja migran.
Dukungan dari Pemuda Katolik
Keberhasilan pelatihan ini juga mendapat apresiasi dari berbagai pihak, termasuk dari Ketua Pemuda Katolik Komisariat Cabang Kota Kupang, Valentinus Kopong Masan. Ia menyatakan bahwa pelatihan ini merupakan langkah strategis dalam menciptakan generasi calon guru agama Katolik yang tidak hanya memiliki kompetensi akademis, tetapi juga memiliki kepekaan sosial terhadap berbagai isu sosial yang ada.
“Korban perdagangan manusia di NTT tidak hanya orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Ini adalah masalah yang sangat mendesak dan membutuhkan perhatian serius,” kata Valentinus.
Ia berharap agar mahasiswa STIPAS yang telah dibekali dengan pengetahuan ini dapat berperan aktif di masyarakat. Salah satunya dengan menyosialisasikan prosedur migrasi yang aman dan memberikan bantuan kepada korban kekerasan berbasis gender.
Pelatihan ini tidak hanya menjadi sarana untuk menambah wawasan, tetapi juga sebagai langkah penting dalam membangun generasi pemimpin agama yang memiliki empati terhadap permasalahan sosial di masyarakat. Dengan keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh, para mahasiswa diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata dalam pencegahan TPPO dan kekerasan berbasis gender, khususnya di wilayah NTT. (Arsen Setiawan)