Oleh Pius Rengka
Tahun 2022, tampaknya, bakal menjadi momentum strategis ketika udara politik di tanah air disaput kabut padat politik. Tak terkecuali dengan udara politik di NTT. Blocking politik dapat saja muncul di kalangan birokrat. Mereka membuahkan pembilahan problem politik sendiri.
Banyak di antaranya mencari jalan terbaik bagi kepentingan mereka sendiri. Di kalangan masyarakat sipil pun, tampaknya, rona politik di kalangan ini mengikuti alur sejarah politik serupa. Apalagi di partai politik. Dinamika isu di partai politik mencuatkan kecenderungan kompetisi.
Para aktor politik berkompetisi. Kompetisi kian pekat dan ketat karena setiap partai politik berusaha memberi pengaruh terbaik bagi konstituen menuju Pemilu 2024. Partai politik, berusaha sekuat tenaga memenangkan kompetisi elektoral di semua level (kabupaten, kota, provinsi dan pusat). Parpol juga merekrut aktor-aktor terbaik dengan harapan dapat mendulang suara pemilih. Kondisi itu didorong sampai mentok. Parpol berusaha memenangkan kompetisi elektoral pilkada hingga presiden.
Maka sejak dini, banyak partai politik mulai menimbang kandidat politik mumpuni untuk kemenangan politik dimaksud. Karena itu, saya tidak terkejut ketika belakangan ini sudah mulai muncul sejumlah nama calon dari partai politik. Mereka ditawarkan dan didorong masuk ke dalam pasar politik untuk merebut kursi bupati, wali kota dan gubernur.
Gejala ini, dapat dipantau melalui dinamika politik di Kota Kupang belum lama berselang, kisruh politik pemilihan Wakil Bupati di Kabupaten Ende, dan sirkulasi elit birokrasi di Kabupaten Malaka, Lembata dan Manggarai. Sedangkan di level provinsi, tampaknya mulai tersembul sedikit problem politik.
Problem politik itu tidak hanya muncul di kalangan internal elit birokrasi, tetapi juga terlihat dari bangunan sekat-sekat isu politik campur berbaur di selimut guntingan dalam lipatan dengan lapisan politik yang berbasis kepentingan individual atau kino politik pertemanan para birokrat. Juga dapat berupa selongsongan masalah yang ditimbulkan oleh “permainan” atau aksi politik kalangan birokrat sendiri. Di dinas pendidikan provinsi, sebagai misal. Tampak sudah mulai banyak problem yang membutuhkan solusi serius.
Masalah timbul di lapisan bawah di dinas itu karena para agensi politik birokrat di lapisan atas, belum sanggup mengurus tuntas diskursus dan problematika di dunia pendidikan. Seharusnya, dimengerti bahwa manajemen dinas pendidikan adalah sejenis manajemen resolusi konflik untuk melakukan kanalisasi semua dinamika problem sosial di bawah kendalinya.
Akibatnya, kelemahan internal, maka bukan saja agensi di dinas bersangkutan yang dihujani buah keributan (bahkan menerbitkan masalah hukum), tetapi keributan di dinas pendidikan itu dipakai oleh para politisi sebagai isu politik yang mengarah dan berbelok arah kepada posisi politik gubernur dan wakil gubernur.
Hal serupa pun terjadi di beberapa kabupaten dan kota. Maka, dapatlah saya pastikan bahwa isu seputar pendidikan, kesehatan, dan isu-isu lain di dinas kemakmuran akan segera membuncah dalam tema isu politik tahun 2022. Isu-isu itu disebarkan dan difabrikasi serta diamplifikasi oleh media-media konvensional dan media on-line.
Sayangnya, elit birokrat yang saya pantau agak kurang sensitif. Para ahli politik memandang fenomena ini dengan ragam rupa perspektif. Jika pemilih yang memiliki informasi lebih baik menerima kebijakan yang menguntungkan, maka media massa akan mempengaruhi kebijakan tersebut karena media massa menyediakan sebagian besar informasi yang digunakan orang dalam memilih. Insentif media untuk menyampaikan berita ke berbagai kelompok akan menjadi model untuk dinamisasi politik kontemporer.
Teknologi dan pembiayaan semakin meningkat dari perusahaan media yang mendorong mereka memberikan lebih banyak berita kepada kelompok besar masyarakat. Bias berita ini mengubah trade-off dalam persaingan politik. Karenanya trade-off menimbulkan bias dalam kebijakan publik. Pengaruh media penyiaran (juga on-line) menggantikan surat kabar sebagai sumber informasi utama tentang politik.
Model tersebut memperkirakan bahwa perubahan akan meningkatkan pengeluaran untuk program pemerintah yang digunakan pemilih miskin dan pedesaan (Strömberg D., 2004). Atau sebagaimana abstraksi tulisan Osborne, M. J. and Slivinski, A., (1996). Mereka menyebutkan, model kompetisi elektoral di mana warga memilih untuk mencalonkan diri atau tidak.
Seorang pemenang menerapkan kebijakan favoritnya. Jumlah ekuilibrium kandidat bergantung secara negatif pada biaya pencalonan dan secara positif pada manfaat kemenangan. Untuk beberapa parameter, semua keseimbangan di bawah aturan pluralitas memiliki dua kandidat yang tepat, yang posisinya berbeda. Pemilihan dua kandidat lebih mungkin dilakukan di bawah aturan pluralitas daripada di bawah sistem run–off (vide: Hukum Duverger).
Posisi kandidat kurang dibedakan di bawah sistem run–off. Ada keseimbangan di bawah kedua sistem karena beberapa kandidat tidak memiliki peluang untuk menang. Lalu, apa yang harus dilakukan. Di level provinsi perlu koreksi dan evaluasi serius internal. Evaluasi kritis, cermat dan serius. Sedangkan di level kabupaten, para bupati dan anggota legislatif tentu sedang berpikir tentang re-election.
Sedangkan para anggota partai politik, pastilah berpikir untuk terpilih dalam election. Para anggota legislatif yang sedang duduk di kursi legislatif pasti akan menggunakan semua jenis momentum untuk meyakinkan konstituen bahwa dirinya sangat pantas dan patut dipilih kembali. Demi terpilih kembali itulah kelompok ini melemparkan kritik (termasuk yang sangat naif) terhadap kebijakan atau progres pembangunan.
Bagi saya, apa yang dilakukannya sangat masuk akal karena dia ingin mendapatkan pesona elektoral dengan harapan terpilih kembali. Sedangkan para calon lain yang hendak running politik election, mereka harus menyebarkan informasi akurat berbasis data demi mendapatkan trust rakyat.
Satu-satunya modal politik yang bakal dipakai kelompok ini ialah modal sosial individual yang terkait dengan bangunan relasi sosial karena hanya dengan demikian mereka mendapatkan kepedulian para konstituen. Karena itulah tahun 2022 adalah tahun padat politik dan mungkin pula tahun friksi politik.
Sekian.