Politik menjanjikan status, kedudukan, jabatan. Di dalamnya terdapat kuasa, hak dan wewenang. Tetapi, untuk meraihnya? Mesti diraup suara mayoritas. Maka di situlah publik mesti disiasati lewat strategi, yang seringkali lihai, licik dan penuh kotornya.
Oleh P. Kons Beo, SVD
Pamer-pamer diri di ritual kesalehan. Itu yang dikritik keras oleh Yesus. Katanya, Yesus itu tak pernah membenci. Memang demikian adanya. Namun, yang dapat umpatan keras dari Yesus, ya itu tadi, soal menyangkut “pamer-pamer kesalehan”.
Pakai jubah suci dengan tali sembahyang yang panjang-panjang, tampak terlihat di depan publik sambil tempati kursi terdepan di rumah-rumah ibadat sebenarnya adalah cerminan kegalauan batin. Dan itu butuh pengakuan publik untuk kekuatan jiwa. Pada saatnya pencitraan jadi tak terhindarkan. Virus kemunafikan pun segera menebal. Apa yang sebenarnya terjadi?
“Yang Ilahi” dan segala yang berpautan dengannya sudah tak jadi kiblat batin dan orientasi keteduhan jiwa sepenuhnya. Semuanya telah dilindas oleh ego yang licik dan penuh pura-puranya.
Hati penuh rindu pada rumah Tuhan dan menghadap wajah-Nya penuh teduh telah berbelok arah pada diri sendiri. Ego dan segala kepentingannya jadi muara atensi. Ritus keagamaan tak ubah jadi instrumen yang dibajak. Sebab di situ narsisisme dalam ritual keagamaan sudah tak dapat disembunyikan. Merasa diri sendiri ‘saleh, benar, terhormat dan mulia’ harus dibenarkan dalam ritual. Juga butuh pengakuan publik.
Baca juga:
- Keyakinan Keras Kepala dan Konsekuensi Kesalingan dalam Sikap
- Biarlah Kita Seperti Apa Adanya
- Yusuf ke Mesir: Skenario Perdagangan Manusia?
Sepantasnya, biarkan semuanya berlangsung dalam kesenyapan. Diri yang rindu pada Tuhan mesti diheningkan dari segala ingar bingar pencitraan. Sayangnya, itu yang tak terjadi belakangan ini.
Di pusat-pusat ritual kesalehan dan spiritual mesti diluncurkan publikasi sengit. Postingan mesti diguyur sejadinya. Bila itu adalah info demi nilai spiritual-religius itu bisa dimaklumi. Sebab manusia sepantasnya dipacu untuk merawat jiwa pribadi dan jadi lebih salihah dalam iman. Dan juga agar menjadi lebih santun tingkah dan beradab laku pada sesama.
Namun, yang mesti jadi awasan serius adalah saat ritual keagamaan dan segala ulah kesalehan yang sudah dipolitisasi. Sejak sedia kala politik jadi domain dan sentra kehidupan. Politik bisa meracik dan ‘mengatur-atur’ bidang-bidang kehidupan lainnya sesuai selera, kepentingan dan intensinya.
Politik menjanjikan status, kedudukan, jabatan. Di dalamnya terdapat kuasa, hak dan wewenang. Tetapi, untuk meraihnya? Mesti diraup suara mayoritas. Maka di situlah publik mesti disiasati lewat strategi, yang seringkali lihai, licik dan penuh kotornya.
Kompetisi sengit demi kuasa dan jabatan sering tak peduli lagi pada ‘kerja kotor’. Perancang strategi sudah hafal pada ‘rasa publik sudah menang dan mengalahkan saingannya’ lewat pemujaan calon sendiri sambil membabat karakter pesaingnya.
Sebab itulah calon punya kita mesti dibikin “serasa pasti menang”. Publikasi, itu tadi, mesti dikaroseri sejadi-jadinya. “Calon kita” benar-benar adalah tamu kehormatan di ritual kesalehan. Punya tempat terdepan dan terbilang undangan istimewa. Perlakuan luar biasa atas “calon kita” memang punya intensi khusus.
Maka tak cukup saling mencakar penuh tikung hanya tergenjot di ‘rumah negeri sendiri’. Sinisme akan lawan dan pencitraan ‘punya kita’ mesti digemakan di ‘luar negeri’. Datang ke rumah Tuhan jadi terpolusi oleh debu-debu letusan vulkanis politik. Aneh dan penuh ironia, namun itu yang telah terjadi.
Seharusnya “calon kita” ke rumah Tuhan untuk ‘berbenah dan merendah’ untuk kemudian ‘dibenarkan’ sendiri oleh Yang Maharahim.
Sayangnya, “sebelum ke dan di rumah Tuhan”, ya itu tadi, “calon kita” digaung sudah suci lahir dan di dalam batin. Dan karena itulah privilese tak mungkin jauh, tetapi bahkan jadi satu keharusan. Tapi, kita ternyata sudah terlanjur ramaikan Tanah Air dengan berita palsu dan gambar editan yang mengecoh.
Baca juga:
Mari kita kembali ke Yesus dari Nazaret. Ajaran-Nya: Di sebuah perhelatan, tak usah incar atau berselera tinggi untuk ditempatkan di bangku terdepan penuh kehormatan. Dan tentang ibadah (doa) itu tak usahlah heboh dengan banyaknya kata-kata. Jangan demo agar orang tahu kita sedang berdoa, bersedekah ataupun berpuasa.
Yang mau dikatakan Yesus adalah tak boleh “show of force” dalam ibadah, sedekah dan puasa hanya agar dunia tahu kita tengah beramal-ibadah. Tak usah kotorkan kekariban dengan Yang Maha Pengasih dan Penyayang dengan maksud politis agar khalayak tahu. Biarlah hanya Tuhan yang sunyi mengetahui semuanya dari tempat-Nya yang tersembunyi….
Tidak kah demikian?
Verbo Dei Amorem Spiranti