Tradisi SPK: Sirih-Pinang-Kapur dan Kisah Politik pada Sore Minggu

Artikel ini ditulis untuk menceritakan pertemuan sore Minggu yang hangat dengan topik diskusi politik NTT dan budaya lokal. Fokus utamanya adalah tradisi SPK (Sirih-Pinang-Kapur), yang memicu momen lucu dan memperkaya pemahaman tentang adat istiadat Timor.

Oleh Juan Pesau

Di sebuah sore Minggu yang tenang, kedatangan tamu membuat suasana menjadi lebih hidup. Seperti yang saya duga, yang datang adalah senior saya, Hendra Jasmin bersama Kaka Nona, Mama Arka. Arka, adalah anak sulung dari Abang Hendra.

Kami segera duduk bersama. Suasana hangat pun menyelimuti obrolan kami. Topik yang kami bicarakan cukup beragam, mulai dari politik Amerika, membahas siapa yang lebih berpengaruh antara Kamala Harris dan Donald Trump, hingga perbincangan mengenai politik lokal di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Tiba-tiba, diskusi kami beralih pada isu politik NTT, khususnya mengenai paket pemilihan gubernur yang sedang ramai diperbincangkan, yakni SIAGA. Bukan sekadar istilah siaga dari BMKG, tetapi SIAGA adalah nama salah satu paket dalam pemilihan gubernur NTT 2024.

Saya bertanya kepada Abang Hendra mengenai kekuatan para kandidat gubernur di sekitar tempat tinggalnya. Ia menjelaskan bahwa meskipun banyak angka yang beredar tentang dukungan di tingkat kabupaten, ia lebih memilih untuk melihat situasi dari perspektif yang lebih lokal, yaitu di sekitar rumahnya di Kupang.

Klik dan baca juga:  Paket SIAGA Disambut Meriah dengan Tradisi Adat Manggarai di Bandara Frans Sales Lega

Hendra menceritakan pengalaman barunya beberapa hari lalu, ketika ia berkunjung ke rumah tetangganya. Sebagai pendukung berat paket SIAGA, Hendra berusaha mempromosikan jagoannya, Pak Simon Petrus Kamlasi dan Pak Andry Garu. Dengan penuh semangat, Hendra menjelaskan pentingnya memilih SIAGA kepada tuan rumah tersebut.

Namun, reaksi yang ia terima sangat mengejutkan. Bapak tua yang ditemuinya dengan tegas menyatakan, “Adik, SPK itu selalu bersama kami setiap saat,” lalu menambahkan dengan serius, “Setiap saat kami bersama SPK.”

Hendra yang merasa bingung lalu bertanya, “Bapak, jika bapak selalu bersama Pak SPK, apakah bapak memiliki hubungan keluarga dengan beliau?”

Klik dan baca juga:  Eks Relawan Prabowo-Gibran Maumere Arahkan Dukungan ke Paket SIAGA di Pilgub NTT

Jawaban si bapak tua justru membuat kami semua tertawa. “Bukan begitu,” katanya sambil tersenyum. “SPK itu selalu bersama kami karena SPK adalah Sirih-Pinang-Kapur untuk kami, orang di Timor ini,” jelasnya sambil menambahkan, “Kami tidak mungkin meninggalkan Pak Simon Petrus Kamlasi,”.

Kejadian ini membuat semua orang di ruangan tertawa terbahak-bahak, namun sekaligus memperjelas makna SPK dalam konteks budaya setempat.

Kebiasaan ini memang memiliki makna mendalam dalam budaya Timor. Sirih-Pinang-Kapur adalah warisan budaya yang telah terjaga sejak ribuan tahun lalu. Tradisi mengunyah sirih, pinang, daun sirih, dan kapur ini menjadi simbol penting bagi masyarakat Timor. Ketika Anda mengunjungi pulau Timor, Anda akan sering melihat masyarakatnya, baik anak-anak maupun dewasa, dengan mulut merah karena kebiasaan ini.

Klik dan baca juga:  Paket SIAGA Berikan Bantuan Keramik Lantai ke SDK Ngoranale

Tradisi bersirih ini sudah ada sejak zaman neolitik, sekitar 3000 tahun lalu, atau bahkan lebih awal lagi menurut catatan musafir Tiongkok yang menyebutkan bahwa sirih dan pinang telah dikonsumsi sejak dua abad sebelum masehi.

Sirih dan pinang tidak hanya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, tetapi juga memiliki tempat khusus dalam adat istiadat pulau Timor. Ketika bertamu atau menghadiri acara penting seperti pernikahan, kelahiran, atau upacara adat, sirih dan pinang menjadi simbol penghargaan tertinggi bagi tamu. Tradisi ini mencerminkan nilai-nilai kemasyarakatan dan tata pergaulan yang sangat dihargai oleh masyarakat Timor.

Hendra menutup ceritanya dengan penuh kebahagiaan, merasa bahwa pengalaman tersebut memperkaya pemahamannya tentang kekayaan budaya lokal. Begitulah, sore Minggu itu berakhir dengan diskusi yang penuh warna, menghubungkan politik dan budaya dalam satu pertemuan yang menyenangkan.