Tuntutan Turunkan Upah Jasa Pemandu Wisata di Sidang Pastoral

Foto: Edi Danggur.

Tetapi kini ada yang janggal. Dalam sebuah sidang pastoral Jumat, 21 April 2023 di Labuan Bajo, 67 orang pastor justru menuntut turunkan upah jasa pemandu wisata alam yang diterapkan oleh PT Flobamor di TNK.

Oleh Edi Danggur

Di masa-masa awal kemerdekaan, nasib pekerja sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar. Silakan pekerja dan pemberi kerja menyepakati syarat-syarat kerja di antara mereka. Pemerintah tidak perlu campur tangan.

Jika pekerja mempunyai posisi tawar yang kuat di hadapan pemberi kerja, maka pekerja bisa tersenyum lebar. Sebaliknya, jika posisi pemberi kerja kuat atau dominan maka nasib pekerja akan semakin terpuruk.

Kehadiran gereja sebagai penjaga moral keagamaan di sini tentu sangat dibutuhkan. Gereja harus menampakkan dirinya di hadapan para pekerja sebagai pembawa solusi.

Jika gereja dapat membawa solusi maka masyarakat pasti dengan bangga mengatakan semua usaha memecahkan masalah akan sia-sia, bila masyarakat tidak mengikutsertakan gereja.

Tetapi kini ada yang janggal. Dalam sebuah sidang pastoral Jumat, 21 April 2023 di Labuan Bajo, 67 orang pastor justru menuntut turunkan upah jasa pemandu wisata alam yang diterapkan oleh PT Flobamor di TNK.

Sejak 24 Maret 2023 PT Flobamor memang telah menaikkan upah jasa pemandu untuk wisatawan WNI Rp 250.000 s/d Rp 500.000 per orang. Sedangkan untuk wisatawan WNA ditetapkan Rp 400.000 s/d Rp 1.200.000 per orang sesuai aktivitas yang dilakukan oleh wisatawan (Vide SK No.01/SK-FLB/III/2023).

Apakah rekomendasi para pastor untuk menurunkan upah jasa pemandu wisata di TNK dapat dibenarkan secara hukum?

Mempertanyakan kompetensi gereja

Sungguh, sebuah kejanggalan. Gereja menuntut turunkan upah jasa pemandu wisata yang ditetapkan PT Flobamor di TNK. Kejanggalan ini seharusnya menjadi momen introspeksi bagi gereja.

Fokus introspeksinya adalah mendefinisikan kembali keterlibatan gereja di ruang publik. Redefinisi itu setidaknya meliputi dua hal, tidak hanya soal kompetensi, tetapi gereja harus benar-benar menguasai masalah.

Dalam berbagai dokumen gerejawi, yang menjadi buku saku kode etik para pelayan pastoral, memang dikatakan: apa yang menjadi kegembiraan, harapan, duka dan kecemasan umat adalah kegembiraan, harapan, duka dan kecemasan gereja juga.

Tetapi, keterlibatan itu tentu saja harus mempertimbangkan kompetensi. Gereja tidak mempunyai kompetensi dalam urusan yang menyangkut tata teknis bisnis, tata teknis politik, tata teknis sosial, tata teknis budaya. Oleh karena itu, berikan hal-hal tata teknis dalam bidang-bidang tersebut kepada awam yang menguasainya.

Klik dan baca juga:  Uskup Sipri Hormat Alami Gejala Ini Sebelum Dinyatakan Positif Covid-19

Sebuah buku tua berjudul Kedatangan Allah di Dunia Ini, yang ditulis kembali oleh para murid Romo R.P.H. Ruding SJ di Sekolah Tinggi Teologi Kentungan, Yogyakarta, ikut dikutip pandangan Paus Pius XII mengenai pembagian tugas antara paus, uskup, imam dan kaum awam.

Paus yang namanya diabadikan sebagai pelindung Seminari Kisol itu mengatakan: “Saya dapat menulis berbagai ensiklik. Saya bisa berpidato di berbagai radio. Saya bisa menulis berbagai ajaran sosial gereja. Tetapi saya tidak bisa masuk ke berbagai pabrik, toko-toko, kantor-kantor dan lokasi pertambangan.”

Lebih lanjut beliau mengatakan: “Begitu pula uskup-uskup dan imam-imam saya tidak bisa masuk ke tempat-tempat tersebut. Oleh karena itu, gereja membutuhkan beribu-ribu misionaris awam yang militan, yang bisa mewakili gereja di lingkungan kerja mereka masing-masing” (1960:4).

Gereja seyogyanya hanya mengambil peran memberikan pertimbangan moral keagamaan dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan budaya tersebut. Tepat apa yang dikatakan oleh Uskup Ruteng Mgr. Siprianus Hormat: “Tugas saya sebagai uskup sifatnya himbauan umum, bukan hal teknis. Jika Keuskupan Ruteng tidak mengikuti cara pihak tertentu, kiranya gereja jangan dilihat seolah-olah diam dan tidak berpendapat, tidak membela kebenaran dan keadilan” (UCANews, 26 Juli 2022).

Pernyataan tersebut adalah jawaban Uskup Ruteng ketika ditanya wartawan tentang tanggapan atas demo tanggal 18 Juli 2022. Demo di Labuan Bajo tersebut memang dimotori aktivis dan pelaku usaha wisata yang menolak kenaikan upah jasa pemandu wisata alam di TNK.

Bisa jadi, aktivis dan pelaku usaha wisata di Mabar (Manggarai Barat) berharap gereja seharusnya terlibat secara nyata. Misalnya, pastor-pastor hadir secara fisik untuk ikut demo menolak kenaikan upah para pemandu wisata di TNK. Tidak sekadar teken press release, tidak sekadar teken rekomendasi sidang pastoral dan lain-lain.

Mengapa rekomendasi sidang pastoral tanggal 21 April 2023 di Labuan Bajo itu terasa sangat janggal? Sebab, di berbagai tempat, para pekerja, organisasi pekerja dan LSM-LSM memperjuangkan kenaikan upah atas jasa yang diberikan kepada pemberi kerja. Tetapi di Mabar justru kebalikannya.

Baca juga:

Klik dan baca juga:  Anton Ali Bebas dari Tuntutan Hukum Kasus Tanah Labuan Bajo

Tuntutan yang demikian tidak dapat dibenarkan, sekalipun hal itu dilakukan demi kemajuan pariwisata dan demi meringankan wisatawan dan pelaku wisata. Apalagi demi alasan yang sifatnya sangat provokatif, seolah-olah kalau PT Flobamor menaikkan upah pemandu wisata maka hal itu menimbulkan konflik sosial.

Kalau demikian, upah yang layak dan adil menurut para pastor peserta sidang pastoral di Labuan Bajo itu seperti apa? Apakah upah yang layak dan adil itu tidak boleh naik? Apakah ada kenaikan upah yang menimbulkan konflik sosial?

Upah layak adalah hak universal dan konstitusional

Upah yang layak dan adil adalah hak universal setiap manusia di bawah kolong langit ini. Deklarasi Universal HAM maupun kovenan-kovenan di bidang ekonomi, sosial dan politik pun menjaminnya.

Semua sadar, setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh sesuatu dari pekerjaannya agar dapat hidup layak. Bahkan tidak ada orang yang dapat mempertahankan hidupnya, kecuali melalui kerja dan upah.

Di Indonesia, bekerja dan mendapatkan upah yang layak dan adil adalah hak konstitusional setiap warga negara. Sebab hak-hak yang demikian diatur dalam konstitusi, UU HAM dan UU Cipta Kerja (UUCK). Tujuan pengaturan demikian agar kemakmuran perorangan dan kesejahteraan umum bisa tercapai.

Untuk menjamin kelayakan dan keadilan dalam pengupahan, pemerintah justru telah mengatur kewajiban pemberi kerja untuk memberikan upah serendah-rendah sesuai ketentuan Upah Minimum Provinsi (UMP).

UMP itu adalah jaring pengaman yang ditetapkan oleh gubernur setempat agar penghasilan berupa upah pokok dan tunjangan tetap tidak lebih rendah dari Kebutuhan Hidup Layak (KHL) seorang pekerja.

Dengan adanya ketentuan mengenai UMP ini, pemerintah hendak menerapkan hukum keadilan, yaitu hukum yang tidak membenarkan pemberi kerja berkuasa mutlak untuk menggilas hak-hak pekerja dan keluarganya untuk hidup layak.

Dengan kata lain, keadilan harus dihormati, dan bahwa tidak seorang pun yang merugikan orang lain, dibiarkan tak terhukum. Itu sebabnya Pasal 88 E ayat (2) UUCK menegaskan: Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.

Pengaturan dalam Pasal 88 E ayat (2) UUCK itu sifatnya imperatif. Artinya, suka atau tidak suka, ketentuan mengenai UMP itu harus dilakukan. Bahkan UUCK yang berlaku saat ini tidak mengenal mekanisme penangguhan pembayaran UMP bagi pemberi kerja yang merasa tidak mampu menggaji pekerja sebesar UMP.

Klik dan baca juga:  Melindungi TNK dan Pariwisata Labuan Bajo

Jika ketentuan UMP tidak dilaksanakan, sudah tersedia sanksi hukumnya dalam Pasal 185 ayat (1) UUCK, yaitu pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 400 juta.

Kerja sama gereja dan pemerintah

Gereja justru harus bekerja sama dengan lembaga-lembaga lain, terutama dengan pemerintah, untuk memastikan pekerja diberi upah yang layak dan adil. Semakin tinggi upah seorang pekerja, maka kehidupan pekerja dan keluarganya semakin berkualitas.

Tugas gereja adalah mendekatkan perbedaan kepentingan antara pengusaha dan pekerja. Secara kodrati, perbedaan kepentingan antara pengusaha dan pekerja sulit dihindari.

Sebab, pemberi kerja ingin untung sebesar-besarnya dengan cara memberi upah yang rendah kepada pekerja. Sebaliknya, dengan jam kerja sedikit, pekerja ingin mendapatkan upah yang tinggi.

Gereja harus mampu mendekatkan pekerja dan pemberi kerja agar pekerja mendapatkan upah yang layak dan adil. Syukur kalau dari upah yang diterimanya si pekerja mampu membeli tanah atau aset tetap lainnya yang bisa diwariskan kepada anak dan cucunya.

Baca juga:

Ini semua adalah rangsangan yang mampu membina pekerja dan pemberi kerja hidup dalam persaudaraan dan cinta kasih. Sangat berlebihan kekhawatiran para pastor bahwa kenaikan upah jasa pemandu wisata di TNK menimbulkan konflik sosial.

Dalam rangka menghindari kemungkinan timbulnya konflik sosial, gereja justru seharusnya melakukan serangkaian tindakan antisipatif, misalnya:

Pertama, membentuk dan membina perkumpulan pekerja dan pemberi kerja. Gereja menjadi mediator di antara perbedaan kepentingan antara keduanya.

Kedua, gereja mengorganisir pekerja dan memastikan nilai-nilai injil menjiwai organisasi-organisasi itu. Setidak-tidaknya memastikan organisasi-organisasi pekerja itu menyediakan cara-cara yang terbaik dan paling tepat untuk mencapai tujuan.

Hak atas upah yang adil tidak boleh diperjuangkan melalui kekerasan. Sebab kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru, yang tidak akan pernah berakhir. Jangan sampai terjadi konflik sosial hanya karena kenaikan upah.

 

Penulis adalah praktisi hukum, tinggal di Jakarta.