Uskup yang Sederhana Itu Telah Tiada

Mgr. Emeritus Michael Cosmas Angkur, OFM saat bercerita dengan Rio Nanto, Juli 2017. Dok. Ist

Kesederhanaan ini menjadi spiritualitas pribadi yang terpancar dari penghayatan hidup Yesus dan Fransiskus Asisi.

Oleh Rio Nanto

Panggilan menjadi imam semata-mata karena rahmat Allah. Rahmat itu diberikan secara cuma-cuma kepada orang-orang sederhana. Maka kesederhanaan adalah tanda kepasrahan kepada Allah. Demikian refleksi Mgr. Emeritus Michael Cosmas Angkur, OFM ketika merayakan lima puluh tahun imamat 14 Juli 2017 lalu. Kesadaran akan kehadiran Tuhan membuat dia setia melayani Tuhan dalam diri sesama.

Mgr. Emeritus Michael Cosmas Angkur, OFM lahir di Lewur, Kuwus, Manggarai Barat 4 Januari 1937 sebagai anak ke 5 dari 8 bersaudara. Pada masa itu masyarakat di kampung belum memiliki tradisi untuk menuliskan tanggal lahir seorang anak. Menurut catatan perjalanan Pastor Wibring, SVD, imam yang berkarya di Manggarai Barat pada waktu itu, tertulis tanggal baptis Cosmas 11 Januari 1937. Dengan perkiraan bahwa Cosmas lahir seminggu sebelum dibaptis maka disepakati tanggal lahirnya 4 Januari 1937. Kedua orang tuanya (alm) Yosef Djadu dan (almh) Odilia Djadu  adalah petani miskin dan sederhana. Sehari-hari kedua orang tuanya bekerja di ladang untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

“Saya dibesarkan dalam keluarga yang miskin dan sederhana. Setiap hari saya ke kebun membantu orang tua. Saya sudah menghidupi kerja tangan sejak kecil,” kenang Mgr. Emeritus Michael Cosmas Angkur, OFM dalam perbincangan kami di Lewur, tempat kelahirannya Juli 2017.

Keadaan ekonomi yang sulit adalah tantangan nyata bagi Cosmas. Tetapi karena cinta, kedua orang tuanya mendukung dia bersekolah. Cosmas lalu masuk Sekolah Rakyat (volkschool) tiga tahun ketika Jepang menduduki Pulau Flores, 1 Agustus 1945. Waktu itu usianya 8 tahun. Pada masa itu belum ada taman kanak-kanak. Sebagai penyesuaian siswa harus mengikuti sekolah 3 bulan sebelum waktu masuk sekolah.

“Biasanya untuk menentukan anak sudah layak bersekolah atau belum dilakukan dengan cara sederhana. Anak-anak diminta untuk menyilangkan tangan kanannya melewati batas kepala. Bila jari-jari tangan menyentuh daun telinga maka anak tersebut layak untuk bersekolah,” jelas beliau mengenang masa kecilnya 80 tahun yang lalu.

Kampung Lewur pada awal tahun 1940-an hanya memiliki sekolah rakyat (dorps-school) tiga tahun. Bagi anak-anak yang ingin melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi terpaksa sekolah jauh dari kampung. Untuk itu masyarakat meminta pemerintah membuka Sekolah Standar (vervolgschool) enam tahun di Ranggu. Jaraknya dari Lewur –seharian perjalanan dengan berjalan kaki. Cosmas dan teman-temannya melanjutkan sekolah di sana.

Selama masa pendidikan di Ranggu, Cosmas dan teman-temanya mendapat bimbingan dari Pater Nico Bot, SVD, Pastor Paroki Ranggu. Pada tahun 1948 Pater Donatus Djagom, SVD ditahbiskan di Ranggu sebagai imam pertama Manggarai. Pater Nico mengajak anak didiknya untuk mengikuti jejak Pater Donatus. Sejak saat itulah Cosmas mendengar tentang imam dan misionaris.

Berdasarkan informasi dari Pater Yosef da Silva tentang Seminari Mataloko, Cosmas bersama temannya Gabriel Babu mendaftarkan diri untuk masuk Seminari Menengah Mataloko. ”Ketika mengutarakan maksud ini kepada orang tua, mereka sangat keberatan. Biaya sekolah di seminari sangat mahal dan kakaknya yang lain juga ingin bersekolah. Sementara kedua orang tua hanya petani sederhana. Untunglah Ande Apul, kakak sepupu yang telah lama menjadi guru di Ruteng bersedia membantu biaya pendidikan saya.”

Cosmas menempuh pendidikan di Seminari Menengah Mataloko selama sembilan tahun (1951-1960). Lima tahun di tingkat SMP dan empat tahun di tingkat SMA. Menjelang pendidikan selesai, Cosmas memilih untuk melanjutkan panggilan dengan bergabung ke dalam Ordo Saudara-Saudara Dina (Ordo Fratrum Minorum, OFM).

Klik dan baca juga:  Fulan Fehan, Pariwisata dan Cakrawala Gagasan Agus Taolin

“Alasan saya memilih Fransiskan karena di paroki saya bekerja Pastor Fransiskan seperti Patrisio, OFM. Mereka sering makan di rumah orang tua saya karena kakak saya seorang guru agama.”

Bagai mimpi yang indah, pada 2 Agustus 1964 bersama Alex Lanur mengucapkan Kaul Agung. Tiga tahun kemudian, 18 Maret 1967 keduanya ditahbiskan menjadi diakon di Katedral Bogor oleh Uskup Mgr. N Geise, OFM. Tahbisan imam bertepatan dengan pesta St. Bonafantura: Uskup dan Pujangga Gereja pada tanggal 14 Juli 1967. “Saya menyadari semua ini karena rahmat Tuhan. Saya keluarga miskin tetapi karena cinta dan rahmat Tuhan saya mendapat begitu banyak bantuan dari Tuhan melalui orang lain.”

Pada bulan Oktober 1967, Cosmas mendapat tugas baru sebagai Pastor Paroki St. Kristoforus, Waning, yang berjarak 20 km dari Lewur. Kehadirannya tidak mudah diterima oleh umat. “Dalam injil tertulis tidak ada seorang nabi yang dihargai di daerah asalnya. Meskipun saya bukan nabi, tetapi kehadiran saya ditolak oleh umat. Mereka berharap pastor paroki adalah orang Barat yang selalu memberi pakaian dan makanan kepada mereka. Sedangkan saya hanyalah anak orang miskin dari kampung tetangga.”

“Dalam keadaan seperti ini saya tidak kecewa. Sebagai imam saya tidak memberi barang tetapi memberi diri bagi umat.” Mgr. Cosmas tampak sedih mengingat perjuangannya ‘mengambil hati’ umat.

Sebagai bagian dari Kaul Ketaatan, pada tahun 1969, Mgr. Cosmas kemudian pindah tugas sebagai Pastor Paroki Sentani, Irian Barat. Di bumi Cendrawasih ini selain membimbing iman umat untuk mencintai Tuhan, aktif memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang politik dan budaya. Mgr. Cosmas masih dibilang menjadi gembala utama dalam kehidupan orang Papua yang masih terbelakang waktu itu.

Pada tahun 1968, pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri  No. 12 yang menyatakan bahwa jabatan ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tidak lagi dirangkap oleh bupati sebagai kepala daerah. Jabatan itu dipegang oleh orang lain. ”Tokoh-tokoh politik Papua mendatangi saya dan menanyakan kesediaan saya menjadi Ketua DPRD Kabupaten Jayawijaya. Hal ini karena sumber daya manusia yang mampu mengisi jabatan itu masih terbatas. Akhirnya saya menyuruh mereka meminta persetujuan Uskup Jayapura, Mgr. HFM Munnihoff, OFM.”

Dengan tugas itu dia memiliki kesibukan baru meskipun dia tidak melupakan tugasnya sebagai imam. “Selama duduk di DPRD I dari tahun 1971-1977 saya membidangi komisi pendidikan, sosial dan agama. Kesempatan itu saya gunakan untuk menjalankan amanah rakyat.” Kesibukan di kantor DPRD tidak mengurangi pelayanannya sebagai imam Tuhan.

Oleh karena perkembangan misi OFM di Indonesia sangat maju, Cosmas berjuang mengubah status Vicaria Missionaria Indonesia menjadi provinsi. Berdasarkan sidang pleno vicaria, anggota Fransiskan Indonesia memilih Cosmas sebagai Provinsial OFM pertama di Indonesia. Tugas baru ini tidak membuat dia tinggi hati. Dia tetap sederhana.”Saya menerima tugas ini sebagai hadiah dari Tuhan. Saya tetap menghayati St. Fransiskus yang saya kagumi karena sederhana, miskin, cinta lingkungan dan orang miskin. Saya pun belajar menjadi pemimpin yang sederhana.”

Sungguh, kasih Tuhan selalu mengalir dalam diri Cosmas. Pelbagai tugas dia terima dan dijalankan dengan penuh rasa tanggung jawab. Tepat berumur 40 tahun menjadi biarawan Fransiskan, pada tahun 17 Juli 1994 Pastor Julio memberikan surat kepada Cosmas dari Takhta Suci untuk menjadi Uskup Bogor. “Ini suatu pencapaian yang tidak layak saya terima dari Tuhan. Saya ini orang miskin dan sederhana,” kenang beliau dalam kata-katanya yang teduh. Pada 21 Oktober 1994, Cosmas ditahbiskan menjadi Uskup Bogor. Dia mengambil moto tahbisan “In Verbo Tuo”.

Klik dan baca juga:  Ino Assa: Menjadi Kaya Itu Gampang, Tetapi Banyak Orang Lebih Suka Menghayal

Emas untuk Tuhan

Pada tanggal 14 Juli 2017, Mgr. Emeritus Michael Cosmas Angkur, OFM merayakan emas dalam imamat. Usia 50 tahun menjadi usia yang sangat tua dan langka. Dengan kesehatan yang prima, Cosmas masih aktif memimpin ekaristi dan menekuni bakatnya bekerja di kebun. “Dalam kitab suci umur manusia sampai 70 tahun. 80 jika kuat. Sekarang saya sudah berumur 80 tahun. Saya sudah melebihi perkiraan kitab suci. Pada tahun ini juga saya merayakan pesta emas imamat. Dalam refleksi saya semua ini karena kehendak dan rencana Tuhan.”

Dalam pelayanan sebagai imam dan Uskup, sesungguhnya bukan soal tua atau muda tetapi kesadaran yang penuh untuk melayani Tuhan. Kehadiran seorang gembala mesti membawa berkat bagi sesama. “Sesama di sini adalah orang-orang kecil dan sederhana. Dalam kitab suci, Yesus selalu hadir dalam diri mereka. Ketika aku melayani mereka, aku melayani Tuhan yang tinggal dalam diri orang kecil.”

“Kunci utama dalam pelayanan adalah doa, ekaristi dan devosi pribadi yang rutin dan teratur. Spiritualitas ini menguatkan saya untuk berkarya dalam pelbagai tugas dan kepercayaan yang diberikan oleh pimpinan.Tugas dan jabatan saya baik dalam bidang politik maupun hierarkis menjadi jalan pelayanan kepada Tuhan.” Ungkap beliau yang memiliki hobi bermain bola kaki dan voli ini.

Dalam bidang politik, Cosmas hampir tiga periode menjadi Ketua DPRD II Irian Jaya. Selain itu, di KWI, dia pernah menjadi ketua komisi keluarga, komisi pendidikan dan menjadi Episcopal Advisor Badan Pengurus Nasional Karismatik Katolik Indonesia. Oleh karena itu, dia dikenal oleh banyak orang di Indonesia.

“Merayakan pesta emas ini bukanlah perayaan syukur atas kehebatan dan kekuatan saya, tetapi merayakan kebaikan Tuhan yang setia menuntun dan menjaga saya setiap waktu. Perayaan syukur ini saya persembahkan untuk Tuhan. Perayaan emas ini kupersembahkan untuk kemuliaan Tuhan. Dalam perkembangan sekarang, banyak imam dan uskup kurang mengikutsertakan Tuhan dalam pelayanan. Ada egoisme yang meminggirkan Tuhan. Ini menjadi tantangan dan persoalan hidup kaum religius,” pesannya teduh bagi gembala gereja masa depan.

Pemimpin yang Sederhana

Mgr. Cosmas tetap menjadi pribadi yang sederhana kendati mendapat jabatan yang tinggi. Baik dalam bidang pemerintahan maupun dalam gereja. Kesederhanaan ini tampak dalam cara berpakaian, tutur kata dan kedekatannya kepada semua orang yang dia layani. Kesederhanaan ini menjadi spiritualitas pribadi yang terpancar dari penghayatan hidup Yesus dan Fransiskus Asisi.

“Saya tetap menjadi pribadi yang sederhana. Jabatan-jabatan saya tidak membuat saya sombong dan angkuh. Jabatan itu membuat saya menjadi pelayan bagi orang lain. Kesederhanaan saya dilatarbelakangi oleh keadaan orang tua yang sederhana. Kemudian ketika saya masuk Fransiskan, saya mempelajari spiritualitas hidup St. Fransiskus Asisi.”

Pernah suatu waktu, ketika Cosmas masih seminaris, ayahnya meminta dia untuk berhenti sekolah menjadi imam, “Cosmas lebih baik engkau membantu kami membajak sawah. Tidak ada gunanya engkau hidup sendiri,” sambil meniru ucapan ayahnya. Hal ini karena Cosmas adalah anak laki-laki ketiga. Kakak lelakinya yang pertama sudah meninggal. Tetapi dia meyakinkan ayahnya untuk melanjutkan pilihan hidupnya.

Klik dan baca juga:  Bank NTT Tegaskan Tidak Ada Akuisisi dalam Skema Kerjasama dengan Bank DKI

Kesederhanaan Mgr. Cosmas bukan berarti hidup miskin dan tidak melakukan apa-apa. Beliau dikenal sebagai seorang Uskup yang ramah, pandai, rajin dan banyak membuat terobosan-terobosan pastoral. Selama hampir 20 tahun memimpin Keuskupan Bogor, ada begitu banyak perkembangan dalam pelbagai bidang. Dia membenahi keuskupan dengan membentuk dewan kuria, dewan imam, mengadakan pertemuan imam, membentuk dewan konstitusi, dewan keuangan, dewan pastoral keuskupan, termasuk membuat statuta keuskupan, statuta seminari, dan harta benda gereja.

Cara pastoral Mgr. Cosmas juga merangkul semua orang dan tidak dendam. Kesederhanaan dan kesahajaan membuat dia dicintai oleh semua umat, imam, biarawan/biarawati. Dia juga diterima oleh tokoh-tokoh dari agama lain dan para pejabat pemerintahan.

Pembawa Obor Kehidupan

Di tengah-tengah kesibukannya, Mgr. Cosmas menyempatkan waktu untuk membaca. Salah satu buku hasil karyanya adalah “Menatap Masa Depan”. Suatu buku petunjuk Sinode Keuskupan Bogor 2002. Buku ini masih dipakai sampai sekarang dalam sinode di Keuskupan Bogor.

“Salah satu misi dalam tugas pelayanan sebagai uskup adalah membawa cahaya bagi umat. Ketika masih kecil sebagai anak lelaki saya ditugaskan untuk memegang obor waktu makan malam. Pada tahun 1963 ketika Ganefo saya dipercayakan untuk membawa obor Olimpiade Asia di Jakarta.” Pengalaman itu dalam refleksi Mgr. Cosmas adalah suatu penegasan untuk menjadi cahaya dalam tugas. ”Hal ini saya refleksikan dalam tugas pelayanan saya sebagai Uskup. Saya berusaha menjadi obor bagi sesama dalam tutur kata dan kesaksian hidup.”

Ketika umurnya semakin tua, pada tanggal 4 Januari 2012, Mgr. Cosmas meminta surat pengunduran diri sebagai Uskup Bogor. Pada tahun itu juga dia memilih untuk menyepi dan kontemplasi di Gorontalo, Labuan Bajo, Manggarai Barat. “Saya memilih Labuan Bajo karena tenang untuk menyepi dari pelbagai kesibukan di ibu kota.”

Saat ini di tanah yang berukuran 1 hektare, beliau menikmati masa tua dalam kesepian. Selain berefleksi dan kontemplasi, Mgr. Cosmas menanam pelbagai buah di kebunnya. Pada akhir pekan banyak orang datang mengunjunginya untuk berdoa dan mendapat berkat.

“Dalam kesunyian Gorontalo, saya tetap bekerja dalam doa agar misi gereja dan panggilan menjadi imam tetap bertumbuh di bumi Nuca Lale. Menjadi imam bukan soal jabatan tetapi pelayanan dengan semangat kerendahan hati dan kesederhanaan dalam Tuhan,” pesannya merendah.

Dia Telah Tiada

Pada 18 Desember 2024, Uskup yang sederhana itu telah tiada. Dia pergi untuk selamanya. Dia telah meninggalkan satu warisan yang luar biasa untuk gereja universal.

Selamat jalan Yang Mulia.