Jokowi oleh sejarah nasibnya justru sangat menentukan membesarnya partai politik tempat dari mana dia berasal. Bukan sebaliknya.
Oleh Pius Rengka
Dua fenomena menarik. Pertama, terkait sirkulasi elite birokrasi eksekutif pada pemerintahan Jokowi. Sirkulasi birokrasi atau placement anggota kabinet dapat dipastikan tersebab imajinasi power sharing.
Kekuasaan politik dan otoritas dibagi di antara berbagai kelompok yang berbeda dalam suatu sistem politik. Power sharing memang diperlukan. Mengapa? Power sharing berfungsi antara lain untuk menciptakan stabilitas politik, mengatasi friksi dan konflik, serta mempromosikan partisipasi politik yang inklusif.
Power sharing juga mencegah dominasi pihak tertentu, sehingga para pihak yang terlibat memiliki akses setara dalam proses pengambilan keputusan politik. Arend Lijphart (1969), mengembangkan konsep konsosionalisme. Konsep ini dipakai sebagai salah satu bentuk resolusi politik dalam konteks negara yang terdiri dari kelompok multikultural. Konsep Lijphart jelas dipakai melalui skema penempatan (placement) anggota kabinet rezim Jokowi.
Penempatan anggota kabinet memoderasi unsur-unsur koalisi besar pemerintahan Jokowi. Tentu saja, power sharing jenis ini, sekali lagi, tidak akan pernah bebas dari imajinasi kekuatan partai koalisi. Padahal, kekuatan politik koalisi dan memilih partai untuk berkoalisi sejatinya tidak bebas dari spektrum kesamaan kepentingan. Meskipun mungkin, ideologi partai koalisi, satu dengan lainnya bertolak belakang (berbeda).
Politik penempatan (placement) elite birokrasi, sesungguhnya dapat menjelaskan sifat utama koalisi partai. Partai-partai pengusung Jokowi ditampung dengan semangat moderasi. Konfigurasi penempatan para menteri merepresentasi kepentingan partai koalisi, tetapi serentak dengan itu mengapresiasi proporsionalitas partai berpengaruh di dalamnya. Tujuannya agar visi misi dan program pemerintahan Jokowi berlangsung damai, bebas dari gangguan politik. Hal itu, sangatlah wajar.
Sedangkan partai politik yang tidak diajak masuk koalisi, “dibiarkan” fungsional sebagai pseudo-oposisi hanya untuk menegaskan pesan rezim demokratik di tanah air hadir. Pseudo-oposisi sedikit terwujudkan melalui sikap kritis partai nonkoalisi terhadap kebijakan pembangunan, walaupun kadang terkesan agak membanci. Misalnya, untuk kepentingan kesejahteraan legislatif, mereka tidak kritis. Besaran dana reses anggota legislatif tidak dibuka ke publik. Jadi, sikap kritis tetap membanci.
Baca juga:
Para Calon Bupati dan Wali Kota dalam Status Gosip di NTT
Volatilitas Politik Pembangunan di Awal Tahun Krisis Multidimensi
Namun, variabel kelembagaan politik memiliki pengaruh paling konsisten terhadap volatilitas. Sementara pengaruh kinerja ekonomi sangat bergantung pada jenis pemilihan dan apakah variabel dependen dioperasionalkan sebagai perubahan dukungan politik atau volatilitas elektoral agregat. Hasilnya menunjukkan, volatilitas pemilu adalah fungsi gangguan ekonomi jangka pendek, sedangkan kerapuhan institusional rezim demokratis dan sistem partai, menimbulkan struktur pembelahan relatif cair (Roberts, K.M. and Wibbels, E., 1999).
Kedua, terkait dinamika pencalonan presiden. Hingga kini, tiga bakal calon presiden beredar di lembaga-lembaga survei. Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Rasyid Baswedan. Data lembaga survei (diasumsikan kredibel) dengan jelas memperlihatkan bahwa fluktuasi dukungan publik meluas. Tampaknya, fluktuasi dukungan, ditentukan oleh sikap politik Jokowi sebagai presiden. Artinya, posisi politik Jokowi signifikan. Posisi politik Jokowi sebagai center of gravity politik amat sangat signifikan terhadap pola dan arus dukungan politik terhadap tiga kandidat.
Karenanya, relevansi kecenderungan pilihan politik Jokowi sangat jelas berpengaruh terhadap fluktuasi dukungan politik kepada masing-masing calon presiden. Pada kondisi seperti inilah, Jokowi, baik sebagai pribadi (mempesona) maupun sebagai representasi lembaga politik, tidak lagi dapat dipandang rendah hanya “petugas” partai politik, melainkan Jokowi sebagai justru game maker permainan politik (political game). Beliau melampaui pengaruh ketua partai politik mana pun di Indonesia.
Karena itulah, menjadi amat sangat wajar ketika Jokowi berhubungan dengan semua ketua partai politik sambil menitipkan kecenderungan ideologis preferensi individualnya. Jokowi oleh sejarah nasibnya justru sangat menentukan membesarnya partai politik tempat dari mana dia berasal. Bukan sebaliknya. Artinya, bukan partai politiklah yang membesarkan Jokowi, melainkan partai politik menjadi besar karena variabel utama Jokowi atau karena Jokowilah partai politik menjadi besar. Karenanya dia tak pantas ditempatkan hanya sebagai “petugas” partai.
Politik kontemporer
Konsep volatilitas diadopsi para teoritisi politik untuk menganalisis situasi politik kontemporer pada setiap konteks. Tujuannya, mengukur fluktuasi friksi dukungan dan political game. Dukungan dan political game amat sangat berisiko terhadap kepentingan investasi dan industri (vide: Boutchkova, M., Doshi, H., Durnev, A. and Molchanov, A., 2012).
Fenomena politik aktual di tanah air belakangan, menampakkan volatilitas politik cenderung amat sangat fluktuatif. Fenomena ini dipicu oleh beberapa varian politik antara lain konflik kepentingan antarpartai politik (bandingkan: gerakan politik Moeldoko versus Partai Demokrat), munculnya barisan koalisi aristokrasi (lebih tepat koalisi oligarki), friksi kelompok etnis yang dipertajam dengan masifikasi sentimen kelompok berbasis etnik dan agama, dan mempertegas faksi politik berbasis kepentingan kino politik di dalam tubuh negara.
Gejala ini beroperasi dalam ruang multivalensi preferensi. Situasi ini berpotensi besar menyulut konflik lebih luas, antara lain konflik massa, kerusuhan, atau pergolakan sosial. Jika gejala ini tidak segera dikendalikan, maka akumulasi konflik dan krisis politik menyemburkan ketidakpastian politik. Jika ketidakpastian politik kian liar meluas, maka kerisauan rakyat kian mendidih bahkan (mungkin) terjadi krisis serius terhadap nasib penyelenggaraan Pemilu 2024.
Baca juga:
Polarisasi Politik Kian Meluas Menuju Tahun 2024
Wali Kota Kupang Menurut Status Terdengar
Sementara itu, pada konteks permainan politik (political game), kondisi ekonomi telah ikut menyumbangkan volatilitas politik yang amat serius ketika ekonomi Indonesia dan dunia mengalami goncangan signifikan menyusul resesi ekonomi dunia. Krisis global ini niscaya menggiring hadirnya krisis sosial baru di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Perang Rusia versus Ukraina, sebagai contoh. Begitu pun ulah para aktor kunci partai politik. Pada gejala ini, partai politik bukannya berfungsi mengendalikan krisis atau konflik, malah partai politik berubah fungsi menjadi pemicu bahkan penyebab utama konflik sosial. Sejatinya, sebagai pemilik saham politik, partai politik seharusnya berperan aktif mengendalikan friksi, menjinakkan konflik politik dengan tepat. Tetapi tampaknya, saham politik justru fungsional dipakai sebagai agregasi kepentingan elite partai politik semata. Sembari berharap arus dukungan politik massa meluas. Tarik ulurnya penentuan calon wakil presiden sebagai contoh menarik untuk kasus ini.
Saham politik ialah tentang cara tatakelola birokrasi agar pemerintahan dikelola transparan, bersih, akuntabel dan sensitif terhadap kepentingan hak-hak asasi manusia. Mengapa demikian? Asumsi utama pemilihan pemimpin negara ialah bahwa rakyat memilih pemimpin karena dia (mereka) diduga sanggup memecahkan masalah rakyat (bandingkan: Downs, A., 1957).
Namun, volatilitas politik justru kian meluas ketika korupsi dan kejahatan politik “dikerjakan” oleh para aktor partai politik. Tambahan pula penegakan hukum kian runyam karena penegakan hukum tebang pilih. Penegakan hukum tebang pilih sejatinya digerakkan oleh mesin para penegak hukum itu sendiri. “Diduga” penegakan hukum dikerjakan seturut imajinasi kepentingan politik faksional di rezim politik. Maka yang terjadi ialah bahwa koalisi politik juga berfungsi sebagai kolusi politik.
Kondisi dan situasi seperti dilukiskan di depan memperparah tingkat kepercayaan rakyat pada partai politik. Pada gilirannya volatilitas politik berdampak signifikan terhadap perekonomian, investasi asing, perdagangan internasional, dan stabilitas sosial.
Negara dengan tingkat volatilitas politik yang tinggi seperti ini cenderung menghadapi tantangan dalam penciptaan kestabilan politik. Kegagalan mempertahankan kestabilan politik diperparah oleh penegakan hukum tebang pilih tadi. Maka ruang tafsir publik kian meluas bahwa hukum dan aparat penegak hukum kita cenderung kurang profesional karena mereka ikut membela kepentingan faksi politik. Mereka merawat jejaring kepentingan politik yang memperkuat faksi partai sembari “memperburuk” rezim kekuasaan negara.
Politik penempatan elite
Para pengamat menggunakan perspektif tertentu untuk mencermati politik penempatan elite di Kabinet Jokowi. Kaum Neomarxian, misalnya, beranggapan bahwa volatilitas politik adalah akibat dari kontradiksi dan unbalance hubungan sosial ekonomi. Ketidakadilan ekonomi menyebabkan ketegangan antara kelompok sosial. Ketegangan kepentingan memicu perubahan politik. Negara terbimbing hanya sebagai alat untuk menjaga kepentingan kelompok elite dominan, yang memicu meluasnya resistensi dan perlawanan kelompok terpinggirkan.
Apalagi, presiden diposisikan hanya sebagai “petugas” partai. Bukan kepala negara. Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, presiden berfungsi melampaui kepentingan faksional partai.
Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (2014), teoritisi politik Argentina dan Belgia, menekankan bahwa perubahan sosial dan politik dipicu oleh konflik politik perjuangan radikal. Penempatan presiden sebagai underbow partai politik, justru bertolak belakang secara radikal dengan paham publik dan perintah konstitusi. Presiden bukan petugas partai. Presiden adalah kepala pemerintahan dan kepala negara yang melampaui penugasan faksi partai politik.
Baca juga:
Kepemimpinan Politik dan Kegelisahan Transisional
Partai NasDem, Anies Baswedan dan Keriuhan Politik Itu
Situasi ini kian diperumit, ketika para “jurnalis” (baca: para buzzer) mempertajam jejaring faksional. Mereka membakar massa dengan isu sentimen etnik berbasis agama demi kepentingan elektoral. Akibatnya, glorifikasi politik identitas menguat dan mengental. Politik identitas tidak hanya terarah kepada figur calon presiden, juga mempertegas pembilahan sosial. Tulisan para buzzer bearoma blocking politik perkauman.
Volatilitas politik pun tak terhindarkan. Ekses ikutannya ialah stabilitas politik negara terancam, stabilitas ekonomi terganggu cukup serius. Maka investor dan pelaku bisnis enggan melakukan investasi jangka panjang. Atau mereka tidak mau mengambil risiko dalam situasi yang tidak pasti. Fenomena ini, tentu saja, menghambat pertumbuhan ekonomi, yang mengakibatkan penurunan lapangan kerja, inflasi atau resesi ekonomi.
Sebagai bandingan, sebaiknya kita belajar pengalaman dan perkembangan partai politik Polandia. Rezim pemerintahan Polandia gagal memenuhi harapan sebagai rezim stabil. Partai-partai gagal bersatu. Pembelotan elite silih berganti. Akibatnya, partai politik runtuh. Kekuatan partai baru muncul. Pola interaksi politik seharusnya dapat diprediksi melalui sistem kepartaian yang kohesif (Millard, F., 2009).
Tingginya tingkat volatilitas politik berarti kekuatan relatif partai kian dramatis. Dan, kekalahan pemerintah mengatasi dominasi elite infrastruktur politik justru mendorongnya ke titik nadir paling memilukan. Meskipun pembentukan pemerintah mencerminkan persaingan “tertutup” antara solidaritas dan faksionalitas partai-partai, tetapi koalisi tidak mengembangkan kelanggengan hubungan kerja sama melalui kompromi politik. Volatilitas politik pun berujung pada ketidakpastian berkelanjutan.
Akhirnya, saya mengajak semua pihak untuk menurunkan tensi volatilitas politik di tanah air demi masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tanpa kita, lalu siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi.
Salam.